Sesampai di dermaga, kami melanjutkan perjalanan ke lokasi lahan ekstensifikasi. 15 menit perjalanan dengan menumpangi perahu kecil atau kelotok berukuran empat meter. Menyusururi sungai yang airnya berwarna cokelat susu. Semak belukar tumbuh di kiri kanan sungai. Jauh mata memandang, terlihat pohon-pohon tinggi menjulang. Itulah hutan yang ada di desa setempat. Pohon-pohon endemik Kalimantan itu tak seberuntung pohon yang ada di sekitarnya yang sudah ditumbangkan. “Itu lahan yang dijadikan sawah,” tunjuk Priska. “Dahulu itu juga hutan,” tambahnya.
Di pinggir sungai tempat kelotok bersandar, ada rumah kayu yang dijadikan tempat singgah Emek dan istrinya, Lamsiah. Petani yang coba-coba menanam padi. Ia menanam sedari Agustus 2022. Lima bulan setelah lahan tersedia. Emek kebagian 1,5 hektare.
Emek tidak tahu jenis padi yang digunakan. Memakai teknik tanam sebar langsung. Selain padi, pada sisi petak lahan juga ditanami pisang, singkong, dan sayur-sayuran.
Ketika ditanya apakah menerima bantuan bibit dari pemerintah, Emek mengiyakan. Namun tidak digunakan, karena tidak cocok dengan kondisi tanah. Dia memutuskan mencari bibit padi gunung. “Sudah kedaluwarsa (bibit bantuan, red) saat ini, enggak terpakai, sebelumnya kami sudah coba-coba tanam, tapi tidak bisa tumbuh,” ucapnya dengan aksen Dayak Ngaju yang kental.
Pria 65 tahun itu mengaku telah berladang jauh sebelum adanya program food estate. Sistem bertanam dengan membakar sedikit lahan secara terbatas. Lalu ditebar benih padi. Sebelum akhirnya tahun 2015 dilarang pemerintah. Padahal itu warisan nenek moyang.
Tak jauh dari petak sawah milik Emek, terlihat hamparan semak belukar. Dahulunya hutan, sebelum dibabat untuk dijadikan lahan sawah. Namun tidak ada yang merawat. ”Ini lahan awal yang dibuka dari lahan lainnya di desa ini,” sahut Priska.
Wanita yang juga jadi penguruk Poktan Parit Pemerintah itu mengatakan, tidak terurusnya lahan tersebut akibat kurangnya perhatian dari warga setempat yang diberi amanah untuk mengurus lahan. Sejak tahun 2021 hingga saat ini, lahan tersebut belum juga digarap. Wanita berkacamata itu menyayangkan atas kurangnya perhatian dari pengelola lahan, karena tidak sedikit warga lain yang juga ingin menggarap lahan tersebut. “Seandainya dilibatkan semua warga desa per KK, tidak harus yang pemilik tanahnya, mungkin tidak akan terbengkalai seperti ini, pasti sudah tergurus,” ujarnya.