PALANGKA RAYA-Kalimantan Tengah (Kalteng) masih dalam bayang-bayang stunting (tengkes). Sejumlah daerah yang sempat menurun kasus stunting justru mengalami peningkatan. Kondisi ini memaksa pemerintah daerah untuk terus mengoptimalkan peran pihak terkait dalam menurunkan jumlah kasus penyakit yang mengganggu tumbuh kembang anak ini.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalteng dr Suyuti Syamsul menyebut, saat ini persentase balita Kalteng yang mengalami stunting tahun 2022 mengalami penurunan sebesar 0,5 persen dibandingkan tahun 2021.
“Stunting kita turun 0,5 persen, terjadi peningkatan di empat kabupaten, yaitu Murung Raya, Barito Selatan, Seruyan, dan Lamandau, kasus tunting terendah di Gunung Mas dengan persentase 17 persen,” beber Suyuti kepada awak media, Selasa (7/2).
Berdasarkan data terbaru, ada beberapa perubahan yang cukup mencengangkan. Kabupaten Gunung Mas yang nerupakan kabupaten dengan angka kasus stunting tertinggi berdasarkan data sebelumnya, justru mengalami penurunan cukup signifikan dalam data terbaru.
“Gunung Mas yang dulunya tertinggi (kasus stunting) malah menjadi yang terendah untuk data 2022. Murung Raya sama Barito Selatan malah meningkat tajam. Mungkin ada beberapa pertimbangan sampai terjadi seperti itu,” tuturnya.
Secara keseluruhan, lanjut Suyuti, penyebab stunting di Kalteng masih didominasi oleh pernikahan dini yang sejauh ini juga menjadi masalah besar. Sementara faktor kedua berkaitan dengan asupan protein yang kurang baik. Selain itu, minimnya ketersediaan air bersih di masyarakat juga jadi salah satu faktor.
“Tetapi di beberapa tempat memang terkait dengan kultur masyarakat, seperti pernikahan dini dan anggapan bahwa tidak apa-apa anak pendek yang penting kuat kerja,” bebernya.
Suyuti menyebut, program Keluarga Berencana (KB) turut berperan penting dalam upaya menurunkan angka stunting. Dengan adanya program KB, para ibu dapat mengatur jarak kelahiran, sehingga ada waktu bagi para ibu untuk merawat anak.
“Dalam KB itu kita tidak melakukan pembatasan kelahiran, tapi mengatur jarak kelahiran, sehingga ada waktu bagi ibu untuk merawat bayinya, dengan demikian proses tumbuh kembang bayi akan terpantau, itulah yang juga turut berperan menekan angka stunting,” jelasnya.
Masalah stunting tidak sesederhana persoalan gizi semata. Menurut Suyuti, dalam stunting juga terjadi pengaruh faktor genetik, seperti keturunan dari orang tua yang pendek. “Di Jepang yang notabene negara maju sekalipun, ada saja stunting sebesar tujuh persen, karena ini kan persoalan yang tidak bisa kita intervensi begitu saja,” tuturnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia telah menetapkan target penurunan stunting sebesar 20 persen. Jika angka balita stunting di suatu daerah melebihi 20 persen, maka akan berpengaruh pada derajat kesehatan masyarakat di daerah bersangkutan.
Meski demikian, target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam rangka penurunan stunting sebesar 14 persen, atau 6 persen lebih besar dari yang ditetapkan WHO.
“Presiden menginginkan 14 persen pada tahun 2024, makanya kita harus berjuang keras. Wajar saja Pak Presiden memasang target 14 persen, agar kita lebih serius dalam upaya menurunkan angka penyakit ini,” tandasnya.
Sementara itu, menanggapi masalah stunting yang terjadi di Kalteng, Apt Evi Mulyani SFarm selaku pemerhati kesehatan mengatakan, masalah stunting dipicu oleh pola hidup masyarakat yang kurang sehat.
“Stunting dipicu oleh unhealthy behavior, pola hidup yang kurang baik, salah satunya pola makan yang kurang sehat,” ucap Evi kepada wartawan, Selasa (7/2).
Dikatakannya, terdapat balita yang sejak kecil alih-alih diberikan makan yang bergizi sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembangnya, malah diberikan makanan instan dan ciki-ciki.
“Baik yang tinggal di kota maupun di desa, itu tidak menjamin kesehatan, pola makan yang diterapkan itu malah tidak sehat,” jelasnya.
Akademisi dari Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes) Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR) itu menekankan pentingnya peran ibu dalam menjaga kesehatan anak.
“Harus jadi perhatian bagi ibu-ibu karier yang sibuk bekerja dan tidak bisa memantau secara intens proses tumbuh kembang anak di rumah, bagaimana agar si anak tidak mengalami stunting,” jelasnya.
Mencegah anak terhindar dari stunting harus diupayakan. Sebab, masalah kesehatan ini tidak hanya menghambat tumbuh kembang anak secara fisik, tapi juga perkembangan intelektual anak.
“Masa depan penerus bangsa ditentukan oleh seberapa baik protein yang kita berikan kepada anak-anak saat ini,” tandasnya. (dan/ce/ala/ko)