PALANGKA RAYA-Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendorong para pemangku kepentingan untuk memberi perhatian terhadap masyarakat adat di Bumi Tambun Bungai. Pasalnya, selama ini hak masyarakat adat disinyalir belum terpenuhi dan terakomodasi dengan baik. Perlu peran pemerintah untuk bisa memenuhi hak-hak masyarkat adat.
“Hak-hak masyarakat adat di Kalteng ini belum sepenuhnya terakomodasi melalui kebijakan pemerintah, seperti hutan adat, wilayah-wilayah adat, kalau mengacu secara administrasi atau legal formal, hal-hal seperti itu harus ditetapkan oleh pemerintah melalui kebijakan daerah seperti perda atau SK kepala daerah,” ucap Ketua AMAN Kalteng Ferdi Kurnianto kepada Kalteng Pos saat ditemui di kantornya, Minggu (12/3).
Salah satu yang begitu disoroti pihaknya terkait pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Bumi Tambun Bungai ini adalah pengakuan terhadap hutan adat.
Berdasarkan pengamatan AMAN Kalteng, sejauh ini hanya ada satu hutan adat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
“Hutan adat yang sudah ditetapkan ada satu, letaknya di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau.
Baru satu itu yang ditetapkan oleh pemerintah, padahal di Kalteng ini ada banyak hutan adat,” bebernya.
Ferdi mengatakan, ada banyak hutan adat di Kalteng yang belum atau tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi dapat dikenali sebagai hutan adat berdasarkan jejak historisnya. “Kalau bicara dalam satu bingkai NKRI, penting adanya pengakuan dari pemerintah terhadap hutan adat,” tuturnya.
Berdasarkan catatan AMAN Kalteng, ada 342 hutan adat yang belum diakui pemerintah. Angka tersebut merupakan jumlah keseluruhan komunitas adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalteng.
“Itu hanya komunitas adat yang tergabung dalam keanggotaan AMAN Kalteng, belum lagi yang tidak tergabung, artinya masih ada banyak lagi,” bebernya.
Untuk mendapat pengakuan dari pemerintah atas eksistensi wilayah hutan adat, sebagian besar dari 342 komunitas adat itu telah berproses untuk melakukan penataan wilayah adat secara mandiri dan melengkapi dokumen-dokumen historis, meliputi asal-usul masyarakat adat serta pengelolaan wilayahnya.
“Kemudian mereka juga merevitalisasi lagi hukum-hukum adat, karena kebanyakan hukum adat Dayak itu kan lisan, tidak tertulis, mereka coba revitalisasi itu menyesuaikan konteks kampung dan komunitas mereka,” jelasnya.
Nantinya, lanjut Ferdi, ketika semua syarat untuk mendapat pengakuan eksistensi hutan adat dari pemerintah terpenuhi, mencakup pengukuran dan kodifikasi dokumen-dokumen historis, selanjutnya akan dimohonkan ke pemerintah kabupaten/kota untuk legalisasi dokumen melalui perantaraan Panitia Masyarakat Hukum Adat (PMHA).
“Sudah menjadi tugas dari PMHA di tiap kabupaten/kota untuk melakukan identifikasi, verifikasi, dan validasi terhadap usulan itu, tetapi prosesnya panjang.
Ambil contoh kasus Desa Pilang, untuk mendapat pengakuan, menghabiskan waktu tiga hingga empat tahun,” bebernya.
Pengakuan pemerintah terhadap hutan adat harus menjadi perhatian serius. Dipicu oleh hal itu, posisi masyarakat adat di Bumi Tambun Bungai masih sangat rawan. Dikatakan Ferdi, dalam situasi aktual yang terjadi saat ini, posisi masyarakat adat di Kalteng masih sangat rawan, bahkan genting.
Selama ini masyarakat adat kerap bergesekan dengan berbagai pihak luar.
“Masyarakat adat kerap bergesekan dengan pihak luar, antara masyarakat adat dengan perusahaan, masyarakat adat dengan aparat, dan ada juga antarmasyarakat adat, konsep pembangunan dari negara yang mengganggu tanah tinggal mereka, ketika tidak ada penetapan pengakuan bagi tempat mereka, dalam hal ini hutan adat, tidak ada jaminan bagi mereka untuk selamat dari berbagai potensi ancaman yang masuk,” jelasnya.
Lain halnya ketika ada ketetapan pemerintah atas hutan adat. Ada kekuatan bagi masyarakat adat untuk mempertahan tempat tinggal.
Dari total 342 komunitas adat yang tergabung dalam AMAN Kalteng, tutur Ferdi, ada ratusan komunitas yang kerap bergesekan dengan pihak luar.
“Rata-rata di Kalteng seperti itu, apalagi sebagian besar hutan yang terdapat hutan adat sudah dibebani dengan berbagai konsesi, entah itu konsesi hutan, konsesi tambang, ataupun konsesi perkebunan.
Dari 342 komunitas adat itu kebanyakan bersinggungan dengan korporasi dan izin-izin konsesi yang dikeluarkan pemerintah,” bebernya.
Ada banyak hak masyarakat adat.
Selain memperhatikan isu pengakuan terhadap hutan adat yang belum terpenuhi, AMAN Kalteng juga menyoroti bagaimana masyarakat adat dapat diakui oleh pemerintah.
Menurut Ferdi, di Bumi Tambun Bungai masih minim kebijakan daerah yang mengakomodasi pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat.
“Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat baru satu daerah yang punya, dari semua kabupaten/kota di Kalteng, hanya Gunung Mas yang sudah mengeluarkan perda terkait pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat, kabupaten lain tidak ada, mungkin juga masih berproses,” ungkapnya.
Di tingkat provinsi, lanjut Ferdi, draf raperda terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat masih belum disahkan. Padahal pengesahan raperda itu penting sebagai payung hukum yang bisa melindungi wilayah, hak-hak, dan ruang hidup masyarakat adat.
“Sejauh ini belum juga disahkan draf raperda terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, padahal itu penting bagi masyarakat adat,” tegasnya.
Menurut Ferdi, upaya yang dilakukan pemerintah saat ini untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat memang terus berprogres, meskipun terbilang kecil. Karena itu, pemerintah harus lebih memahami konteks masyarakat adat secara komprehensif.
“Pemerintah masih menilai masyarakat adat adalah warga yang menggunakan pakaian tradisional sepenuhnya serta atribut-atribut kesukuan lain, padahal tidak demikian, masyarakat adat di Kalteng juga sudah modern, sebaiknya pemerintah tidak gunakan indikator demikian untuk mengidentifikasi masyarakat adat di suatu wilayah,” jelasnya.
Menurutnya pemerintah cukup memahami masyarakat adat berdasar pengertian subjek, harus lebih dipahami berdasarkan jejak geneologis dan historis. Tidak bisa diidentifikasi dari tampilan permukaan. “Karena di Kalteng ini masyarakat adat tidak hanya suku Dayak,” tambahnya.
Ferdi berharap pemerintah bersikap netral terhadap konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat adat dengan pihak tertentu.
“Kami berharap pemerintah menurunkan ego, lalu melihat dengan cara pandang masyarakat adat, baik itu berbicara hutan adat, wilayah adat, dan hak-hak. Karena enggak bakalan ketemu ketika pemerintah melihat masyarakat adat dari sudut pandang negara, karena masyarakat adat itu sudah ada sejak dahulu kala, butuh pendekatan khusus yang kontekstual terhadap kebutuhan mereka,” tandansya.
Sementara itu, wakil rakyat sedang perjuangankan hak masyarakat adat. Kini sudah masuk dalam penyusunan rancangan peraturan daerah (raperda). Ketua Bapemperda DPRD Kalteng Duwel Rawing mengatakan, dalam raperda itu ada hak atas tanah, hak pengakuan atas tanah, dan hak-hak lain yang harus didapatkan oleh masyarakat di sekitar perkebunan dan pertambangan, dengan kewajiban pihak perusahaan untuk membina masyarakat di sekitar.
“Raperda itu perlu diselesaikan dahulu, karena itu inisiatif dewan, kami selesaikan dahulu di kalangan DPRD, nantinya akan kami bahas dengan pemerintah daerah,” ungkap Duwel Rawing, Minggu (12/3).
Ia menjelaskan, raperda tersebut telah diajukan beberapa tahun lalu. Karena pansus belum menyelesaikan raperda tersebut, maka sesuai aturan akan diserahkan ke Bapemperda.
Duwel menyebut pihaknya akan memperjuangkan agar raperda itu untuk disahkan awal tahun ini.
Hari ini, Senin (13/3) pihaknya akan menggelar rapat terkait itu, akan segera mungkin dibahas dengan pemerintah daerah.
Mantan Bupati Katingan ini menjelaskan, raperda yang diperjuangkan itu sesuai amanat undang-undang terkait hak tradisional.
Selanjutnya ada kewajiban perusahaan besar swasta untuk memenuhi hak masyarakat sekitar.
Selama ini ada banyak hak masyarakat yang belum dipenuhi.
“Sesuai amanat undangundang, harus menyiapkan 20 persen plasma dari luas lahan mereka (perusahaan swasta, red), dan itu masih banyak yang belum terpenuhi,” tutur Duwel.
Kader PDIP ini menambahkan, perusahaan bisa saja membina perkebunan masyarakat sekitar sebagai penggganti plasma. Dari segi sumber bibit, pemupukan, hingga perawatan kebun bisa dilakukan perusahaan untuk membina masyarakat.
Kalaupun itu tidak bisa, paling tidak perusahaan harus bisa menampung hasil perkebunan masyarakat.
“Mudah-mudahan itu bisa terlaksana, karena ada undangundangnya, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri pertanian, raperda itu hany sebagai penegasan. (dan/irj/ce/ala/ko)