Sempat Mempertahankan Benteng, Kemudian Melarikan Diri ke Lahei

oleh
oleh
MAKAM PEJUANG: Makam salah satu tokoh wanita suku Dayak yang ikut berperang melawan serdadu Belanda.

Ratu Zaleha begitu murka setelah mendapat kabar bahwa suami beserta pasukannya dilumpuhkan serdadu Belanda. Sang suami ditangkap, lalu diasingkan ke Bogor pada tahun 1904. Meski kehilangan sang suami, Ratu Zaleha pantang menyerah. Ia bersama pasukannya terus menggencarkan perlawanan.

ROBY CAHYADI, Muara Teweh

SELAMA masa perjuangan, Ratu Zaleha bersama Bulan Jihad, perempuan suku Dayak yang akhirnya menganut Islam, tidak ketinggalan memberikan pelajaran baca tulis Arab-Melayu dan ajaran agama Islam kepada anak-anak Banjar, serta memberikan penyuluhan kepada perempuan-perempuan Banjar tentang peranan perempuan, ajaran agama Islam, dan ilmu pengetahuan.

Ratu Zaleha mempertahankan Benteng Manawing dan Tambang Batu Bara Oranje Nassau dari gempuran serdadu Belanda yang memiliki persenjataan canggih.

Gugurnya Sultan Muhammad Seman menyebabkan benteng pertahanan Manawing sulit dipertahankan. Kemudian sekitar tahun 1905, Panglima Batur ditangkap oleh Belanda. Meski demikian, tokoh-tokoh Islam dan para pejuang tidak ingin menyerah.

Muhammad Arsyad dan istrinya Ratu Zaleha (putri dari Sultan Muhammad Seman) berjuang dengan penuh keberanian. Setelah benteng Manawing jatuh ke tangan Belanda, Ratu Zaleha tinggal sementara di Lahei, Kabupaten Barito Utara untuk bersembunyi dari kejaran serdadu Belanda. Di tepi Sungai Teweh yang dianggap mereka aman dari pengejaran Belanda.

Setahun sebelum Benteng Manawing berhasil diduduki serdadu Belanda, suami Ratu Zaleha (Muhammad Arsyad) telah menyerah terlebih dahulu. Pengepungan yang dilancarkan terus-menerus oleh pasukan Belanda menyebabkan ia tidak bisa melarikan diri lagi. Karena selalu dikejar-kejar oleh serdadu Belanda. Tahun 1904, Muhammad Arsyad diasingkan ke Bogor.

Baca Juga:  Pangeran Muasjidinsyah Tutup Usia, Kesultanan Kutaringin Berduka

Karena terus diburu pasukan Belanda, Ratu Zaleha pun mulai merasa letih. Di samping itu, kondisi fisiknya juga tidak lagi prima. Akhirnya pada awal tahun 1906, ia memutuskan untuk menyerahkan diri. “Ratu Zaleha dibawa dari rumahnya di Juking Hara, Kelurahan Jambu, Barito Utara,” ungkap Ariel Rakhmadan, dosen Politeknik Muara Teweh yang mengikuti kisah Ratu Zaleha, Jumat (7/4).

Ratu Zaleha pun meminta agar ia diasingkan juga ke Bogor agar bisa berkumpul dengan sang suami dan menghabiskan sisa-sisa hidup mereka. Selain Ratu Zaleha, Nyai Salamah (ibunya) juga turut diasingkan oleh Belanda.

Keluarga Ratu Zaleha sebagai kelompok Pagustian dianggap berbahaya oleh Belanda di wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah. Ratu Zaleha dikenal juga sebagai tokoh emansipasi wanita di Kalimantan.

Di masa tuanya, sang ratu kembali ke Kalimantan Selatan, setelah sekian tahun hidup di tempat pengasingan. Ratu Zaleha akhirnya meninggal dunia tanggal 23 September 1953, kemudian dimakamkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. (bersambung/ce/ala/ko)