PALANGKA RAYA-Kehadiran gadget dewasa ini bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, gadget dapat membantu mempermudah manusia dalam bekerja atau berkomunikasi dengan lebih efektif dan efisien. Namun di sisi lain, eksistensi gadget juga dapat berbahaya jika digunakan secara berlebihan.
Terutama oleh anak-anak yang notabene sedang dalam masa perkembangan fisik dan mental.
Psikolog anak Gerry Olvina Faz menjelaskan, penggunaan gadget terhadap anak perlu dibatasi. Kalau tidak ada pembatasan penggunaan gadget, tentu dapat mengganggu rutinitas harian. Namun selaku psikolog, ia belum pernah mendapatkan diagnosis adiksi terhadap anak yang kecanduan gadget.
“Yang pastinya bahwa interaksi sosial jadi berkurang karena tergantikan oleh interaksi virtual. Persoalan muncul karena pada usia SD, SMP, dan SMA keterampilan sosial anak sangat dibutuhkan. Bagaimana anak bisa terampil secara sosial jika aktivitasnya cuman di depan layar,” ungkap Gerry kepada Kalteng Pos, Selasa (11/7).
Wanita bergelar magister psikologi itu menambahkan, buruknya masalah sosial berkaitan dengan keadaan emosi sang anak. Dijelaskannya, jika dalam menggunakan teknologi, semua dalam kendali manusia.
“Bayangkan kalau anak-anak yang terbiasa mengendalikan segala sesuatu, misalnya bosan tayangan A langsung swipe, atau ganti aplikasi kapan saja, ketika berhadapan dengan situasi sosial, barulah mulai sadar bahwa ada banyak hal di luar kendalinya. Situasi seperti itu akan membuat anak-anak mudah stres yang muncul dalam wujud agresi atau menarik diri, tetapi itu juga tergantung karakter anak,” jelasnya.
Menurutnya, kemajuan teknologi memang membawa sejuta manfaat. Namun seperti pisau bermata dua, kalau tidak digunakan secara bijak atau dibatasi sebagaimana semestinya, justru bisa merugikan pengguna.
“Boleh enggak bayi pegang pisau, enggak boleh kan, karena motoriknya belum sempurna, malah rentan melukai diri sendiri, sama aja kayak gadget, banyak studi menunjukkan bahwa untuk anak usia di bawah dua tahun, tidak perlu menggunakan gadget, malah bisa memberikan efek buruk terhadap tumbuh kembang anak gara-gara overstimulated,” ungkapnya.
Namun, Gerry tidak menampik bahwa kehadiran gadget punya manfaat besar dan mempermudah manusia. Jadi, bukan berarti tidak boleh sama sekali digunakan. “Namun diberikan bertahap dengan pembatasan waktu yang tegas dari orang tua,” pintanya.
“Belum lagi berbicara soal kesehatan. Berdasarkan riset WHO, penggunaan gadget yang berlebihan membuat pola makan dan tidur buruk, belum lagi jadi malas bergerak, akhirnya bikin kondisi badan tidak prima, padahal usia anak dan remaja penting untuk tetap aktif,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat (DPPKBP3APM) Kota Palangka Raya, Sahdin Hasan mengatakan, keberadaan gadget tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat dewasa ini, termasuk anak-anak.
“Yang perlu dikhawatirkan adalah penggunaan gadget yang berlebihan, terutama oleh anakanak dan remaja, penggunaan yang tidak terkontrol bisa menimbulkan pengaruh negatif terhadap perkembangan karakter mereka,” ucap Sahdin kepada Kalteng Pos, Selasa (11/7).
Menurutnya, saat menggunakan gawai, anak-anak dan remaja biasanya asyik dengan aktivitasnya sendiri tanpa memedulikan kondisi sekitar.
“Kalau sudah bermain gawai, mereka berada dalam kesendirian, sehingga mengabaikan interaksi-interaksi sosial secara langsung dengan teman bahkan keluarga, itu sangat berbahaya,” tuturnya.
Tak hanya itu, menurut Sahdin, penggunaan gadget secara berlebihan oleh anak-anak dikhawatirkan dapat membuat mereka membuka berbagai situs terlarang dan merugikan, bahkan yang mengancam norma-norma, baik norma agama, sosial, dan adat.
“Terutama situs-situs yang berkaitan dengan pornografi. Yang kami harapkan, perlu kearifan dan kebijaksanaan dari orang tua untuk mengontrol anak masing-masing, mengingatkan anak-anaknya untuk membatasi penggunaan gawai,” jelasnya.
Hal yang juga tak luput menjadi perhatian pihaknya adalah anak-anak berusia di bawah tujuh tahun yang sudah diberikan gawai oleh orang tua.
Dikatakan Sahdin, dalam beberapa kasus ada orang tua yang memberikan gawai kepada anak sebagai mainan agar tidak tantrum.
“Orang tua dituntut untuk arif dan bijak, membatasi anakanak bermain gawai, karena gawai bukan satu-satunya solusi untuk mendiamkan anak yang tantrum, masih ada solusi lain yang lebih baik,” ujarnya.
Sahdin juga meminta kepada pihak sekolah untuk melakukan kontrol dan pengawasan penggunaan gadget di lingkungan sekolah. Sementara pihaknya terus melakukan pemantauan mengenai dampak penggunaan gadget oleh anak-anak terhadap gangguan psikologis.
Dikatakannya, hingga saat ini pihaknya belum menemukan anak-anak yang kecanduan gadget hingga mengalami sejumlah gangguan jiwa. (ko)