PALANGKA RAYA-Bantuan pelaksanaan pendidikan (BPP) adalah sistem bantuan operasional pendidikan sekolah yang dibayarkan oleh tiap peserta didik, yang ditujukan untuk membantu pelaksanaan pendidikan di sekolah. Nominal uang bantuan biasanya disepakati bersama oleh orang tua/wali peserta didik dengan pihak komite sekolah. Bervariasi.
Mulai dari Rp30 ribu hingga Rp200 ribu. Tergantung kesepakatan orang tua peserta didik dengan pihak komite.
Namun dalam pelaksanaannya, program BPP ini cukup menuai polemik.
Tak sedikit orang tua peserta didik yang menilai BPP sebagai kewajiban yang mesti dibayarkan kepada sekolah, kendati di luar kemampuan ekonomi keluarga peserta didik.
“Ada orang tua atau wali peserta didik yang merasa BPP ini menjadi beban, walau tidak mampu secara ekonomi, tetapi harus membayar BPP,” kata Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kalteng Herson B Aden kepada wartawan, Rabu (12/7).
Herson mengatakan, regulasi terkait BPP sudah ada dalam surat edaran (SE) dinas pendidikan sejak lama, kemudian diperbarui oleh Disdik Kalteng saat dijabat oleh Slamet Winaryo, terkait peraturan pelaksanaan BPP yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan kemudian dijabarkan di Kalteng.
“Di situ tertulis bahwa sekolah bisa meminta bantuan dari orang tua peserta didik sepanjang ekonomi orang tua itu mampu, tetapi kalau tidak mampu, tidak boleh dipungut, apalagi yang punya bukti sebagai masyarakat miskin,” tuturnya.
Jika merunut peraturan tersebut, lanjut Herson, sekolah tidak dapat membebankan BPP kepada peserta didik yang ekonomi keluarganya kurang mampu. Meski demikian, lanjutnya, kadangkadang ada sekolah yang tetap membebankan BPP kepada peserta didik yang kondisi ekonomi keluarganya tidak mampu.
“Seharusnya sekolah bisa melihat mana peserta didik yang mampu (ekonomi, red) dan mana yang tidak mampu,” ucapnya.
Pada kasus lain, lanjut Herson, tetap saja ditemukan peserta didik yang ngotot membayar BPP kendati kondisi ekonomi keluarganya terbilang kurang mampu. Hal itu tak lepas dari beban psikologis peserta didik bersangkutan, yang tak ingin dianggap sebelah mata oleh temanteman sekolahnya.
“Secara psikologis, anakanak kadang tidak mau dibilang kurang mampu, akhirnya mereka masuk dalam daftar yang wajib membayar BPP, dilematis juga, tetapi kasus seperti itu jarang,” tuturnya.
Dalam upaya mengatasi persoalan tersebut, Herson mengatakan, pihaknya akan mengundang kepala sekolah SMA dan SMK untuk mencari solusi agar BPP peserta didik tidak dibebani biaya BPP.
“Solusi terbaik memang pemerintah perlu menyiapkan anggaran tambahan pendamping BOS dari pusat, karena biaya pendamping BOS itu hitungannya untuk SMA Rp1,5 juta setahun, berarti per bulannya sekitar Rp125 ribu untuk sekolah mendidik tiap anak,” jelasnya.
Lebih lanjut dikatakan Herson, sejauh ini masih ada beberapa sekolah yang tidak menuntut pembayaran BPP. Namun itu justu menyulitkan peserta didik saat kelulusan nanti, karena ijazah akan ditahan pihak sekolah jika belum melunasi tunggakan BPP.
“Kita harus cari solusi penyelesaiannya, jadi ketika ada peserta didik yang masuk kategori berekonomi tidak mampu, sekolah harus segera memutuskan bahwa peserta didik bersangkutan gratis BPP,” tandasnya. (ko)