PALANGKA RAYA-Sejarah mencatat, agama Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-13 atau tahun 1300 Masehi (M). Proses penyebaran agama Islam di Nusantara cukup panjang, termasuk di Kalimantan Tengah (Kalteng). Butuh waktu yang lama dan berbagai strategi untuk penyebaran agama Islam atau islamisasi.
Berdasarkan beberapa literatur, agama Islam mulai menyebar di wilayah Kalteng sekitar abad 14 dan 15 (data masuknya agama Islam dan cara penyebaran bisa dilihat pada grafis).
Dalam buku berjudul Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai, Prof Khairil Anwar menerangkan bahwa masuknya agama Islam di Kalteng tidak lepas dari peranan Kerajaan Banjar.
Sekalipun agama Islam sudah mulai masuk ke Kalteng melalui perorangan, tetapi secara masif terjadi ketika datangnya Pangeran Anta Kusuma, putra dari Raja Mustain Billah dari Kerajaan Banjar.
“Anta Kusuma dikirim ke Kotawaringin untuk menyebarluaskan agama Islam, di sana juga ada sosok Kiai Gede, sehingga Anta Kusuma dan Kiai Gede bersama-sama menyebarkan Islam,” terang Prof KH Khairil Anwar saat berbincang-bincang dengan Kalteng Pos, Jumat (14/7).
Islamisasi di Kotawaringin, lanjut Khairil, memang merupakan sumber yang bisa dipegang. “Kiai Gede sudah ada di Kotawaringin sebelum Pangeran Anta Kusuma datang ke sana, diperkirakan sekitar tahun 1620,” ungkapnya.
Menurutnya, Kiai Gede merupakan orang pertama yang membawa masuk agama Islam ke wilayah Kotawaringin, sehingga ia sangat dihormati oleh penduduk setempat.
“Sumber-sumber lokal mengatakan bahwa Kiai Gede merupakan orang sakti, mampu mengalahkan penduduk setempat, kemudian banyak yang tertarik untuk memeluk Islam karena melihat kesaktiannya itu,” jelas Khairil.
Sehingga dapat disimpulkan Islamisasi terjadi secara besar-besaran saat Kiai Gede dan Anta Kusuma masuk ke Kotawaringin. Banyak peninggalan bersejarah yang menjadi bukti penyebaran agama Islam di wilayah Kotawaringin. Hingga kini masih berdiri kokoh Masjid Kiai Gede di Kecamatan Kotawaringin Lama (Kolam).
“Diperkirakan tahun 1670-an merupakan gelombang pertama masuknya Islam di Kalteng secara besar-besaran,” lanjutnya.
Sedangkan di wilayah Barito, menurut Khairil, agama Islam dibawa oleh keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Walaupun sebelumnya sudah ada warga yang memeluk Islam, tetapi tidak banyak. Penyebarannya masih oleh perorangan dan belum begitu masif.
“Islamisasi di Kotawaringin lebih dahulu, meskipun ada yang mengatakan bertepatan dengan munculnya Islam di Kotawaringin, di daerah Marabahan juga ada penganut agama Islam,” tuturnya.
Meski demikian, menurut Khairil, itu masih dianut oleh perorangan, bukan secara besar-besaran. Islamisasi dilakukan secara masif oleh cucu dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
“Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari punya anak bernama Jamaludin yang menikah dengan orang Dayak di Marabahan. Jamaludin dikarunia anak bernama Abdul Somad, yang diketahui memiliki pengajian besar di Marabahan dan pernah belajar di Arab Saudi selama tujuh tahun. Kemudian Abdul Somad menyebarkan ajaran tarekat Syadaliyah. Pengajian besar inilah yang banyak didatangi warga dari Buntok, Muara Teweh, Muara Laung, hingga Muara Untuh,” jelasnya.
Tak sedikit murid Abdul Somad yang turut menyebarkan Islam di tengah masyarakat. “Ini terjadi di tahun 1880-an, semuanya lewat jalur sungai,” sebut Khairil.
Dibandingkan dengan daerah barat Kotawaringin, agama Islam sudah mulai masuk abad ke-17. Sehingga perkembangan di wilayah barat lebih dipengaruhi oleh kerajaan dan pendakwah dari kerajaan.
“Sedangkan dari arah Barito lewat pusatnya di Marabahan,” katanya.
Abdul Somad terus menyebarluaskan agama Islam dan memiliki banyak murid. Melalui perkawinan, makin banyak penganut, sehingga terus berkembanglah agama Islam di Marabahan.
Proses Islamisasi di Kotawaringin dibuktikan dengan adanya Masjid Kiai Gede, makam Kiai Gede, dan kerajaan. “Kalau yang di daerah Barito, ada masjid tertua di Muara Teweh,” terangnya.
Sejumlah peninggalan tersebut, menurut Khairil merupakan bukti nyata islamisasi di wilayah Kalteng. Namun jika ditinjau dari prosesnya, islamisasi di wilayah Kotawaringin cenderung melalui dakwah dan kerajaan, sedangkan di wilayah Barito melalui perdagangan dan perkawinan.
Perihal itu dibenarkan Ali Sibram, salah satu rekan Prof Khairil, sebagaimana tertera dalam buku Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai.
“Kalau dilihat dari hasil tulisan, fase islamisasi di Kalteng itu ditandai dengan adanya pedagang muslim,” terangnya.
Menurutnya, islamisasi juga ditandai dengan terbentuknya kerajaan Islam dan kelembagaan Islam.
“Di Kalteng, yang bisa kita lihat pertama di Kotawaringin, kemudian Kapuas, lalu Barito, tiga daerah itulah yang menjadi pintu masuk agama Islam,” jelasnya.
Terlebih di Kalteng hanya ada satu kerajaan, yakni yang ada di Kotawaringin. Di wilayah Barito, khususnya Muara teweh dan Puruk Cahu, ada kesultanan yang dipimpin keturunan dari Pangeran Antasari.
“Ada Muhammad Seman yang bertahan di sana sambil memperkuat barisan pertahanan bersama suku Dayak setempat. Sedangkan teori kedatangan pedagang muslim ke wilayah tertentu di Kalteng, seperti Kapuas dan Barito, lebih relevan untuk menjelaskan islamisasi di Kalteng. Menurut analisis, secara individu Islam masuk ke Marabahan hingga Mandumai, Kapuas sejak abad ke-14,” ujarnya.
“Etnis Ngaju dikenal dengan nama Bakumpai, setelah mereka menganut agama Islam, kemudian dianggap bukan Dayak Ngaju lagi, melainkan Bakumpai,” terang dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah itu.
Sejak tahun 1526, penyebaran agama Islam dilakukan oleh para pedagang. Dimulai dari Mandumai, Timpah, Kapuas, Palangka Raya, hingga Tangkiling. Sedangkan perluasannya terjadi tahun 1810.
“Yang menarik dari islamisasi di Kalteng ini bukan hanya jalur perdagangan dan perkawinan, tetapi juga tasawuf atau kebatinan, terutama sifat 20,” tutur Ali.
Tasawuf diajarkan oleh salah satu tokoh sufi bernama Kiai Hadrani Hain. Ini satu bukti bahwa islamisasi bukan hanya melalui perkawinan, tetapi juga lewat tasawuf.
“Dapat dilihat dari ulama-ulama yang ada seperti Kiai Hadrani Hain yang merupakan keturunan orang Nagara (Kalsel). Salah satu orang tuanya merupakan orang asli Nagara, yang kemudian menikah ke Muara Teweh. Itu merupakan salah satu bukti bahwa ada perkawinan yang terjadi melalui jalur perdagangan, kemudian melahirkan seorang ulama,” ujarnya.
Ali juga menyebut jika masih sulit untuk melacak bukti-bukti arkeologi. Sehingga di buku berjudul Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai, penelitiannya masih hanya mengandalkan sumber dari hasil wawancara, kesaksian-kesaksian, seminar, tetapi belum dapat melacak dari sisi bukti-bukti arkeologi.
“Sehingga buku ini belum begitu lengkap,” terangnya.
Menurutnya, sekitar 400 tahun masa-masa yang sangat sulit bagi Islam masuk ke daerah pedalaman, mengingat wilayah Kalimantan ditutupi hutan belantara.
“Abad ke-19 barulah islamisasi dilakukan secara masif ke wilayah-wilayah pelosok. Tantangan yang dihadapi adalah kondisi geografis Kalteng, dan perihal itu belum tertulis dalam buku tersebut,” tuturnya.
Jika merujuk pada buku-buku sejarah, masuknya agama Islam ke Kalteng tidak bisa lepas dari kajian sejarah masuknya Islam di Kalsel dan sejarah Kesultanan Islam Banjar. “Karena Kerajaan Kotawaringin sebenarnya adalah bagian dari Kerajaan Banjar yang kala itu memperluas wilayah ke Kotawaringin,” ungkap Ali. (ko)