PALANGKA RAYA-Kasus tumpang tindih sertifikat hak milik (SHM) tanah yang terjadi di Palangka Raya disinyalir akibat kelemahan dalam sistem pendataan pertanahan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Hal itu diungkapkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho Waluyo.
Pihaknya menilai terjadinya tumpang tindih SHM di suatu bidang tanah disebabkan karena kelemahan sistem pendaftaran tanah oleh BPN di masa lampau.
“Mereka (BPN, red) tidak mengikutsertakan titik koordinat yang bisa dipan- tau dan tidak bisa berubah letaknya dengan menggunakan GPS. Hal kedua, karena adanya kelemahan itu, sangat mungkin ada oknum nakal di lingkup BPN,” ujar Aryo kepada Kalteng Pos, Kamis (20/7).
Menanggapi terkait adanya kasus tumpang tindih SHM tanah di ibu kota provinsi, Aryo menyebut, berdasarkan yurisprudensi MA 5/Yur/Pdt/2018, jika terdapat sertifikat ganda atas objek tanah yang sama dan kedua sertifikat sama- sama autentik, maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat yang diterbitkan terlebih dahulu.
Aryo menambahkan, berdasarkan surat edaran (SE) yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA), pada poin rumusan hukum kamar tata usaha negara yang berkaitan dengan tumpang tindih sertifikat, tertera bahwa hakim Tata Usaha Negara (TUN) bisa membatalkan sertifikat yang terbit kemudian, dengan syarat: pemegang sertifikat yang terlebih dahulu menguasai fisik tanah dengan iktikad baik, riwayat hak penguasaanya jelas tidak terputus, atau prosedur penerbitan sertifikat yang terbit terlebih dahulu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Jika syarat sebagaimana poin a sampai b tidak terpenuhi, maka masalah kepemilikan terlebih dahulu harus diselesaikan secara perkara perdata,” ujarnya.
Dari persoalan tumpang tindih SHM tanah tersebut, terdapat sejumlah poin yang dirincinya dan dapat menjadi bahan evaluasi dari pengambil keputusan yang berhubungan dengan pertanahan, dalam hal ini BPN. Menurut Aryo, BPN dapat memperketat sistem pendaftaran tanah dengan memastikan hukum apa yang harus digunakan. Sebab, berdasarkan penilaian pihaknya, ATR/BPN merupakan lembaga negara yang paling banyak mengeluarkan aturan mengenai tanah dan selalu berubah-ubah.
“Kedua, harus dibangun sistem yang mudah bagi publik untuk mengecek SHM ataupun HGU yang telah diterbitkan oleh BPN agar masyarakat tidak mudah tertipu dengan para mafia tanah,” tandasnya. (ko)