PANGKALAN BUN-Penambangan pasir silica diduga ilegal di pesisir Pantai Kubu, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) terus dilakukan oleh PT Silica Minsources Jaya (SMJ). Perusahaan tambang tersebut beroperasi menggunakan alat berat. Parahnya lagi, meski izin pertambangan belum keluar, PT SMJ telah melakukan eksploitasi secara besar-besaran di daerah itu.
Sampai saat ini pihak kepolisian terus mendalami perkara itu. Beberapa laporan sudah ditindaklanjuti. Sejumlah pihak sudah diminta keterangan. “Kami sudah memperoleh pengaduan masyarakat (dumas, red) dan segera menindaklanjuti. Bahkan ada laporan sudah kami tingkatkan menjadi laporan polisi,” kata Kapolres Kobar AKBP Bayu Wicaksono.
Bayu menyebut, ada dua laporan yang sudah diproses hingga tahap penyidikan. Ada juga yang sudah pada tahap pelimpahan ke Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat (Kobar). Sementara pengaduan lainnya masih dalam tahap penyelidikan. “Tahapan selanjutnya, penyidik akan meminta keterangan ahli untuk mengetahui apakah ada unsur pidana atau tidak,” tuturnya.
Sementara itu, berdasarkan informasi yang diterima Kalteng Pos dari sumber terpercaya di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalteng, PT SMJ hanya mengantongi izin IUP eksplorasi. Artinya, belum dibolehkan untuk melakukan konstruksi, pengambilan bahan galian, dan penjualan.
“Pengambilan bahan galian baru dibolehkan pada tahap IUP operasi produksi, tidak boleh mengambil di luar wilayah yang sudah disetujui sesuai SK,” ujarnya.
Sebelumnya, lahan PT SMJ dipermasalahkan oleh komunitas masyarakat adat Kumai dari keturunan H Rawi yang merasa lahan milik mereka diserobot oleh pihak H Asnan. Bahkan perusahaan diduga melakukan intimidasi terhadap warga pemilik lahan seluas 12 hektare itu. Terkait adanya intimidasi tersebut, warga meminta bantuan hukum ke Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng.
Sementara itu, Jefri dari bidang hukum PT SMJ membantah terkait adanya intimidiasi yang dilakukan perusahaan terhadap warga. Pasalnya, lahan yang dipermasalahkan tersebut awalnya milik warga yang diserahkan kepada PT FLTI pada tahun 1982 lalu dengan dasar ganti rugi.
Kemudian tahun 1984, lanjut Jefri, atas lahan tersebut terbit hak guna bangunan (HGB) untuk masa waktu 20 tahun kepada PT FLTI. Setelah masa berlaku HGB berakhir, lahan tersebut beralih ke H Asnan untuk mengganti utang dari salah satu pengurus FLTI yang sudah meninggal dunia. Dari tangan H Asnan, sebut Jefri, kemudian lahan tersebut beralih ke PT SMJ dengan dasar ganti rugi lahan.
“Jadi, tidak benar jika dikatakan PT SMJ menyerobot lahan masyarakat adat. Semua bukti administrasi atas lahan tersebut hingga bukti perizinan PT SMJ sudah lengkap,” jelasnya kepada media, beberapa waktu lalu.
Terkait hal tersebut, GM Legal dan CSR FLTI Ryan Harry mengatakan, FLTI tidak pernah memberikan lahan tersebut kepada pihak H Asnan ataupun pihak lain. “Surat pernyataan penguasaan bidang tanah H Asnan itu palsu,” tegasnya.
Sementara itu, Asisten I Pemkab Kobar Teuku Ali Syahbana mengimbau para pelaku investor untuk melapor kepada pihak berwenang jika menemui persoalan, baik pemkab, TNI, maupun Polri, sehingga nantinya ada upaya penyelesaian sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku. Apabila terjadi masalah, sebaiknya tidak berupaya sendiri, yang justru berdampak terjadinya kegaduhan. Dengan begitu, masalah yang ada tidak makin membesar.
“Kami dari Pemkab Kobar bersama tim terpadu akan segera melakukan koordinasi dan menindaklanjuti permasalahan yang ada,” pungkasnya. (ko)