kaltengonline.com – Pemekaran wilayah menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Isu tersebut kembali menyeruak seiring kedatangan Wakil Presiden (Wapres) RI KH Ma’ruf Amin ke Kalimantan Tengah (Kalteng), Selasa (24/10). Dalam kunjungan kerjanya itu, Ma’ruf sempat menyinggung soal pemekaran wilayah Kalteng, mempertimbangkan saat ini Kalteng merupakan provinsi dengan wilayah terluas. Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran pun menyampaikan urgensi pemekaran wilayah Kalteng menjadi beberapa provinsi saat menyambut orang nomor dua di Indonesia itu.
Menurut gubernur, Kalteng perlu dimekarkan menjadi dua provinsi, yakni Provinsi Kotawaringin Raya yang terdiri dari Kabupaten Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Seruyan, Lamandau, dan Sukamara, dan Provinsi Barito Raya yang terdiri dari Kabupaten Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, dan Murung Raya. Ide pemekaran itu disambut baik oleh sejumlah akademisi. Namun, meski pemekaran dinilai mampu membantu menyelesaikan beberapa masalah, tetapi tidak sepenuhnya bisa menjamin solusi atas masalah-masalah pembangunan.
Direktur Eksekutif Barometer Kebijakan Publik dan Politik Daerah (Bajakah) Institute, Farid Zaky Yopiannor berpendapat, tiga bahan pertimbangan yang menjadi kunci agar suatu daerah dapat dimekarkan adalah kondisi geografis, kondisi ekonomis, dan kondisi politis. Secara geografis, Zaky menilai Kalteng sudah layak dimekarkan, mempertimbangkan wilayah Kalteng yang cukup luas.
Namun secara politis, rencana tersebut akan terbentur dengan moratorium pemerintah pusat dan pesta demokrasi yang akan digelar tahun depan. Secara ekonomis, pemekaran wilayah praktis memerlukan pertimbangan matang, apakah mampu berdiri sendiri jika sudah terlepas dari provinsi induk. Untuk itu, diperlukan kajian komprehensif yang meliputi biaya pemekaran, kondisi infrastruktur, ekonomi daerah, dan aksesibilitas daerah.
“Yang perlu diperhatikan adalah public value dari usulan daerah otonomi baru, menyangkut substansi dan legitimasi. Substansi terkait dengan studi kelayakan yang komprehensif, bukan hanya sekadar usulan yang menurut pertimbangan pragmatis. Sementara legitimasi terkait persetujuan publik berupa inisiasi dari masyarakat, bukan hanya berdasarkan kepentingan elite politik,” jelas Zaky kepada Kalteng Pos, Rabu (25/10).
Ia menyebut perlu dimatangkan studi kelayakan daerah otonomi baru yang dimaksud. Studi kelayakan itu harus benar-benar menjangkau proyeksi perkembangan daerah selama 5-10 tahun ke depan. Hal itu penting dilakukan agar setelah dimekarkan, daerah otonomi baru itu tidak layu sebelum berkembang.
“Perlu studi kelayakan, apakah daerah yang mau dimekarkan itu, seperti Kotawaringin Raya dan Barito Raya, sudah benar-benar siap menjadi provinsi sendiri, hal itu melihat dari kondisi daerah masing-masing, dari situlah bisa dinilai kelayakannya,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Palangka Raya itu.
Zaky berpendapat, dari dua wacana provinsi yang diusulkan menjadi daerah otonomi baru, yakni Kotawaringin Raya dan Barito Raya, Kotawaringin Raya lebih layak menjadi daerah otonomi baru. Karena itu, lanjut Zaky, perlu ada skala prioritas terkait daerah mana yang akan dijadikan provinsi terlebih dahulu di antara dua pilihan tersebut. Dibutuhkan data komparatif di antara dua provinsi itu, sehingga bisa diketahui mana yang kira-kira lebih bisa berkembang setelah dimekarkan.
“Kotawaringin Raya lebih layak dimekarkan dahulu karena aksesibilitasnya, di sana ada bandara, pelabuhan, dan infrastruktur pendukung lainnya, pertumbuhan ekonomi pun relatif baik,” sebutnya.
Ketika punya wacana memekarkan provinsi, Zaky menambahkan, perlu dilihat terlebih dahulu komposisi daerah atau kabupaten/kota dari calon provinsi. Menurutnya, saat ini perekonomian Kalteng lebih banyak bertumpu pada industri ekstraktif, seperti pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Akan sangat rentan jika perekonomian suatu daerah otonomi baru hanya bertumpu pada sektor-sektor yang tidak berkelanjutan.
“Saya melihat kabupaten-kabupaten di wilayah Barito Raya sejauh ini masih bertumpu pada pendapatan sektor bisnis ekstraktif, dikhawatirkan ke depan daerah-daerah itu tidak mampu berkembang,” tambahnya.
Berbeda dengan Barito Raya, Zaky menilai, Kotawaringin Raya terdiri atas kabupaten-kabupaten yang tumpuan perekonomiannya relatif lebih baik dibandingkan daerah-daerah yang ada di Barito Raya. Selain mengandalkan sektor industri ekstraktif, di wilayah Kotawaringin Raya lebih bisa mendukung terciptanya ekosistem industri kreatif dan inovatif. Menurutnya, dua daerah di Kotawaringin Raya, yakni Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat, relatif lebih maju dari sisi perekonomian.
“Daerah-daerah di Kotawaringin Raya relatif lebih siap untuk menghadapi perkembangan digital, tantangan ke depan, saya kira daerah-daerah di Kotawaringin Raya relatif lebih siap untuk menghadapi konsekuensi zaman,” ucapnya.
Terpisah, Dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Pemerintahan, Fakultas llmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya, Ricky Zulfauzan menyebut, sebelum memekarkan provinsi, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan secara matang. Pertama, pertimbangan kondisi geografis wilayah yang akan dimekarkan. Apakah wilayah tersebut sudah cukup berkembang atau masih memerlukan pembangunan yang intens. Juga perlu dipertimbangkan jarak dan keterhubungan antarkota atau antarwilayah.
“Pertimbangkan juga kelayakan ekonomi. Pastikan kemampuan wilayah baru untuk membiayai birokrasi dan pembangunan. Apakah wilayah tersebut memiliki potensi ekonomi yang cukup kuat dan berkelanjutan atau tidak,” ujarnya kepada Kalteng Pos, kemarin.
Ricky menambahkan, sebelum suatu wilayah dimekarkan, tentu diperlukan persiapan yang matang dan teliti, sehingga keputusan yang diambil dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat. Selain itu, pengambilan keputusan juga harus transparan dan partisipatif, melibatkan semua pihak berkepentingan.
Selain mempertimbangkan secara geografis dan ekonomis, lanjutnya, juga perlu dipertimbangkan aspek kepentingan politik, kondisi sumber daya manusia khususnya aparatur sipil negara, dan identitas atau kearifan lokal dari wilayah yang akan dimekarkan.
Menurut Ricky, pemekaran provinsi di Kalteng mungkin dapat membantu menyelesaikan beberapa masalah, tetapi tidak menjamin solusi yang sepenuhnya. Dampak positif dari pemekaran adalah pelayanan publik yang makin dekat, dimudahan, dan meningkat, pembangunan infrastruktur yang smakin merata, dan kemudahan dalam pengelolaan keuangan.
“Namun di sisi lain pemekaran juga dapat memunculkan masalah, karena biaya yang diperlukan untuk pemekaran itu tidak sedikit, pemerintahan dan birokrasi justru makin rumit, dan ada potensi terjadi sengketa tapal batas atau konflik agraria,” tandasnya. (dan/ce/ala/ko)