kaltengonline.com – Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu andalan sektor ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Tak sedikit para investor yang ingin menanamkan modal dan berinvestasi di sektor ini.
Akan tetapi, hingga kini sektor perkebunan kelapa sawit masih belum lepas dari problematika. Salah satunya yakni kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan. Padahal, menurut regulasi yang berlaku, perusahaan hanya bisa membangun kebun sawit di area yang sudah dilakukan pelepasan status kawasan.
Pemerintah melalui Satgas Sawit pun sudah menjalankan program pemutihan atau pelegalan untuk sawit yang berada dalam kawasan hutan. Tenggang waktu pemutihan itu berakhir 2 November lalu. Namun, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai langkah itu tidak efektif, bahkan bisa merugikan masyarakat.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI Siti Nurbaya Bakar menepis anggapan penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan dilakukan melalui pemutihan. Pihaknya tidak pernah mengatakan bahwa penyelesaian yang dilakukan atas terbangunnya kebun sawit di atas kawasan hutan melalui program pemutihan. Penyelesaian atas persoalan itu, khususnya masalah tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan yang sudah berlangsung puluhan tahun, sudah diatur melalui undang-undang (UU).
Siti menerangkan, persoalan terbangunnya lahan sawit di atas kawasan hutan terjadi karena dispute atau sengketa regulasi. UU Otonomi Daerah (Otda) terdahulu, Mei tahun 1999, menyebutkan bahwa bupati dibolehkan mengeluarkan izin perkebunan. Maka dari itu, banyak bupati yang mengeluarkan izin. Kemudian, regulasi pemberian perizinan itu berubah lagi.
“Tahu-tahu keluar lagi UU Kehutanan tahun 1999, lalu keluar UU Perkebunan, UU Nomor 27 Tahun 2006, kemudian keluar lagi UU Tata Ruang, padahal tahun 1992 sudah ada UU Tata Ruang, ini kan dispute regulasi,” kata Siti saat diwawancarai awak media ketika menghadiri acara puncak peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2023 di Palangka Raya, Rabu (8/11).
Karena itu, kebun-kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan, lanjut Siti, harus dilihat terlebih dahulu legal standing-nya. Jika memakai UU Pemda, itu sah. Lalu, apakah sudah sesuai dengan tata ruang berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1992?
“Kalau sudah sesuai dengan tata ruang, tidak masalah. Kenapa dipersoalkan? Dilihat, setelah jadi kawasan hutan seperti apa, itu sudah ada aturannya dan sangat teknis,” tambahnya.
Jika tidak mengantongi izin sama sekali, baik berdasarkan aturan lama maupun aturan baru, memang tidak dilegalkan. Saat ini, KLHK sedang menata kawasan-kawasan perkebunan yang masih berdiri di atas kawasan hutan tersebut. Apakah nantinya lahan itu akan diserahkan kembali ke negara atau tidak, menurut Siti, hal itu tergantung kondisi lahan berdasarkan pertimbangan teknis yang nantinya dilakukan.
“Harus dilihat dahulu berdasarkan aturannya. Memang regulasi terkait itu sudah ada, baik UU, PP, dan permen. Kalau kebun sawitnya dibangun di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi, maka lahannya harus dikembalikan ke negara,” tambahnya.
Sementara, jika status lahan itu sudah berstatus areal penggunaan lain (APL), maka masih bisa digunakan sebagai areal kebun. Apabila statusnya hutan produksi, maka akan pihaknya pelajari terlebih dahulu, apakah HGU kebun itu sudah berdiri di atas regulasi yang benar.
“Kalau untuk masyarakat kan dibatasi dalam UU itu, yakni lima hektare dalam dua puluh tahun. Yang aneh itu, ada masyarakat, satu rumah, punya enam hektare lahan digarap sendiri, apa Anda percaya?” tambahnya.
Maka dari itu, menurut Siti, tidak tepat jika dikatakan bahwa penyelesaian kebun sawit yang berdiri di atas kawasan hutan melalui program pemutihan. Sebab, penyelesaian atas persoalan agraria itu sudah diatur dalam regulasi demi regulasi yang sudah ditetapkan pemerintah.
Siti juga membenarkan bahwa pihaknya sudah memegang data kebun sawit terbangun dalam kawasan hutan karena keterlanjuran itu. Ia menyebut, dalam UU dikatakan bahwa pihak perusahaan harus melapor jika kebun sawit berdiri di atas kawasan hutan.
“Kementerian harus menerima laporan dari yang bersangkutan (perusahaan, red), dari pengaduan masyarakat, atau dari laporan lembaga yang lain, semua data itu dikumpulkan, setiap kali data masuk, akan dibuat SK-nya,” jelasnya.
Saat ini, lanjut Siti, data sawit terbangun dalam kawasan hutan sudah sampai pada SK yang ke-18. Siti menegaskan, pemerintah tidak pernah berupaya menyembunyikan data-data sawit terbangun dalam kawasan hutan.
“Datanya ada. Tiap kali data masuk, langsung di-SK-kan. Saat ini sudah mencapai SK kedelapan belas. Nanti kalau sudah ada Pak Sekjen, saya minta datanya, enggak ada yang disembunyiin,” tandasnya.
Dapat disimpulkan bahwa KLHK menolak bahasa pemutihan atau pelegalan. Meski demikian, memang terdapat regulasi yang mengarahkan bahwa perkebunan sawit yang terbangun di atas kawasan hutan bisa dilegalkan. Seperti HGU yang berdiri di atas lahan dengan status APL dan hutan produksi. Namun tidak untuk lahan sawit yang berada di atas hutan lindung dan hutan konservasi, karena harus dikembalikan ke negara.
Kebijakan Pemutihan Merugikan Negara
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata berpendapat, pelegalan sawit terbangun di atas kawasan hutan adalah kebijakan yang keliru. Sebab, sudah jelas perusahaan membangun sawit di atas kawasan hutan, yang mana itu melanggar kebijakan dan berdampak terhadap kerusakan lingkungan serta merugikan negara.
“Aktivitas perusahaan di atas kawasan hutan itu menghilangkan potensi-potensi dari penggunaan kawasan hutan dan yang lain-lain. Jadi, ini adalah kebijakan keliru dan seharusnya tidak diambil oleh pemerintah, yakni kebijakan yang sifatnya pengampunan seperti ini,” ungkapnya kepada Kalteng Pos, Rabu (8/11).
Bayu juga menanggapi pernyataan pemerintah yang menyebut bahwa karena ada keterlanjuran, maka sanksi yang diberikan tidak menyentuh ke unsur pidana, tetapi lebih menyasar pada kerugian negara yang akan dijadikan objek tuntutan, dengan mekanisme ganti rugi dan sanksi pembayaran denda. Padahal, sanksi yang diberikan bisa lebih besar dari itu.
“Harus dilihat konteksnya. Di Kalteng saja dari SK sawit terbangun dalam kawasan hutan yang dikeluarkan KLHK sampai dengan SK ke-25, lebih dari setengahnya berada di ekosistem penting seperti gambut, itu sudah berdampak terhadap kerusakan lingkungan di Kalteng, yang kemudian menyebabkan bencana seperti banjir dan karhutla,” jelasnya.
Maka dari itu, lanjut Bayu, permasalahan itu bisa menjadi dasar dalam upaya penegakan hukum atas kebun-kebun yang berdiri di atas kawasan hutan, yakni melalui evaluasi perizinan. Apabila keberadaan kebun sawit tidak sesuai dengan peruntukkan ruang dan wilayah, maka izinnya harus dicabut.
“Jadi sanksi yang bisa diberikan bukan hanya penghentian atau pengampunan,” ucapnya.
Tak hanya itu, kebun sawit yang terbangun dalam kawasan hutan juga akan sangat merugikan negara, kendati pemerintah berargumen bahwa pemutihan dilakukan untuk mengoptimalkan pendapatan negara dari pembayaran denda atas sanksi penggunaan kawasan hutan.
“Kalau dilakukan hitung-hitungan dalam konteks Kalteng, dari luasan kawasan hutan yang terpakai untuk kebun sawit oleh perusahaan, seharusnya ada lebih dari Rp4 triliun jika perusahaan menyelesaikan proses perizinannya secara benar,” sebutnya.
Alih-alih menguntungkan negara, menurut Bayu, kebijakan pemutihan itu tetap akan merugikan negara. Sebab, pembayaran denda itu hanya berkisar Rp1-2 triliun atau kurang dari setengahnya. Karena itu, lanjut Bayu, poinnya adalah bagaimana agar kebijakan itu tidak dijalankan dan dikembalikan lagi ke substansi upaya perbaikan tata kelola sektor industri sawit.
“Mesti melalui penegakan hukum dan memastikan upaya pemulihan lingkungan dari aktivitas penggunaan kawasan hutan benar-benar dijalankan perusahaan,” tandasnya.
Manajer Advokasi Walhi Kalteng Janang Firman menambahkan, sebelum mengeluarkan kebijakan pemutihan atau memberikan rekomendasi dikabulkannya pemutihan sawit yang beraktivitas dalam kawasan hutan, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu melakukan evaluasi menyeluruh dan terbuka serta partisipatif dengan masyarakat sekitar perkebunan.
“Apabila memang aktivitas selama ini belum menyejahterakan masyarakat dan masih menimbulkan konflik agraria, pemerintah mengambil tindakan hukum kepada perusahaan bersangkutan dan lahan yang masuk dalam keterlanjuran dikembalikan ke masyarakat saja,” tuturnya.
Janang berpendapat, ruang kelola lahan dari masyarakat di Kalteng saat ini makin sempit. Dengan kondisi itu, potensi terjadinya konflik agraria makin besar. Apalagi ada banyak konflik yang belum terselesaikan lantaran adanya aktivitas perusahaan yang belum sepenuhnya berdampak untuk kesejahteraan masyarakat.
“Selain itu, dampak lingkungan juga sering dialami masyarakat, tak sedikit yang dirugikan,” ucapnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo mengatakan, proses penyelesaian atas masalah sawit dalam kawasan hutan sejauh ini sangat tertutup dan tidak transparan. Publik tidak diberi informasi yang cukup perihal sejauh mana perkembangan proses.
“Bahkan SK yang dikeluarkan KLHK terkait subjek hukum yang terindikasi berada dalam kawasan hutan dan diharapkan menyelesaikan melalui mekanisme Pasal 110 A dan 110 B juga tidak dapat diakses oleh publik,” tulis Rambo dalam rilis yang dikirimnya, Rabu (8/11).
Karena itu, pihaknya secara tegas menolak proses pemutihan kebun sawit dalam kawasan hutan. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat menjadi celah bagi perusahaan dalam melakukan pelanggaran serupa di masa mendatang. Proses pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum, menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan.
“Harusnya proses penyelesaian melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dapat dilanjutkan,” tambahnya.
Rambo menyebut, pada September 2023 lalu pihaknya sudah mendaftarkan uji materi pasal pemutihan sawit dalam kawasan hutan ke Mahkamah Agung. Gugatan materil itu untuk memastikan agar perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu.
“Namun hingga saat ini kami belum mendapat kepastian atau hasil akhir atas gugatan yang kami ajukan itu,” sebutnya. (dan/ce/ram/ko)