Palangka Raya, kaltengonline – Kurang lebih dua pekan lagi, masyarakat Indonesia akan memilih pemimpin tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Sayangnya, pemilihan kepala daerah (pilkada) ini tengah dibayangi politik transaksional. Nyaris tiap pesta demokrasi lima tahunan ada praktik jual beli suara. Bahkan, seiring perkembangan zaman, politik transaksional pun makin beragam bentuknya. Kondisi ini dinilai bisa merusak demokrasi.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR), Farid Zaky, mengatakan pilkada 2024 akan menghadapi berbagai tantangan. Salah satu masalah yang sering muncul tiap pemilu adalah praktik jual beli suara.
Menurutnya, politik transaksional seperti ini dapat memicu terjadinya korupsi.
“Perilaku pragmatis untuk memenangkan pemilu sering kali ditempuh dengan cara pintas melalui politik transaksional berupa jual beli suara,” ucapnya, Jumat (8/11)
Farid menjelaskan, berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, baik pilkada, pileg, maupun pilpres, masih banyak pemilih yang bersifat pragmatis, sehingga lebih cenderung melakukan transaksi dalam memilih. Akibatnya, para pemilih memberikan suara mereka kepada calon tertentu, dengan harapan calon bersangkutan akan memenuhi tuntutan mereka jika terpilih
Proses ini membuat pilkada menjadi ajang transaksi politik, bukan kontestasi yang menitikberatkan pada kompetensi, rekam jejak, dan program kerja calon pemimpin. Kondisi ini, menurutnya, merusak esensi demokrasi, di mana pemilih seharusnya memilih calon pemimpin berdasarkan tiga hal tersebut.
“Pemilih seharusnya memilih berdasarkan pilihan rasional untuk kepentingan bangsa. Namun, kini sifat transaksional justru menjadi pilihan rasional bagi mereka,” tutur Farid
Ia juga menyebut bahwa wilayah dengan praktik transaksional tidak dapat ditentukan secara mutlak, tetapi hanya secara relatif. “Berdasarkan riset, praktik ini lebih sering terjadi di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, meskipun sebenarnya kurang baik jika hal ini terlalu dibuka,” sebutnya.
Farid mengungkapkan, berdasarkan riset terbaru, praktik politik transaksional tidak hanya terjadi di daerah perdesaan, tetapi juga perkotaan. Selain itu, jenis transaksi politik kini makin beragam. Bukan hanya uang, tetapi juga berupa jabatan, perizinan, dan lainnya.
Menurutnya, pasangan calon sudah memahami kondisi ini, sehingga mereka perlu memiliki strategi yang tepat untuk memetakan daerah mana yang perlu diperhatikan. “Saya kira paslon sudah mengetahui kondisi ini. Tinggal bagaimana mereka menyusun strategi untuk memetakan daerah-daerah yang perlu digencarkan kampanye dan ajakan,” tambahnya.
Di sisi lain, ia menilai bahwa pemilih saat ini mulai lebih rasional dalam memilih, yang dipengaruhi oleh keberadaan media sosial. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih mengenal pasangan calon dan program yang mereka tawarkan
Menurut Farid, jumlah pemilih transaksional bisa ditekan lebih rendah lagi, dengan komitmen partai politik yang mengusung dan pasangan calon itu sendiri. “Masyarakat dapat meningkatkan daya tawar mereka dengan memahami program kerja, rekam jejak, dan tidak tergiur efek jangka pendek dari politik transaksional,” ungkapnya.
Selain Farid Zaky, pengamat politik dari Universitas Palangka Raya, Paulus Alfons Yance Dhanarto, juga berpendapat bahwa pemilih transaksional atau politik uang sudah menjadi fenomena umum yang tersebar merata di perkotaan maupun perdesaan. “Gejala masifnya politik uang ini bisa kita lihat dari pemilu legislatif kemarin,” tuturnya.
Menurutnya, ada pasangan calon yang cenderung memanfaatkan situasi ini, sementara pasangan calon yang tidak memiliki dana besar juga tidak mengampanyekan penolakan terhadap politik uang.
“Misalnya, mereka mengampanyekan untuk menerima uang atau bantuan sosialnya, tapi di bilik suara jangan pilih calonnya, atau melaporkan pelanggaran terkait hal ini. Artinya, pasangan calon cenderung toleran terhadap politik uang,” jelasnya.
Paulus menyebut bahwa sebagian masyarakat masih toleran terhadap praktik politik transaksional, meskipun ada kelompok yang kritis dengan jumlah yang sedikit. Menurutnya, politik uang adalah tindakan pidana dan antidemokrasi.
“Kelompok kritis dalam masyarakat sipil perlu mendorong upaya untuk memerangi politik uang. Jurnalis juga perlu memberitakan politik uang dan pelanggaran aturan, sebagai upaya untuk menyeimbangkan masifikasi politik uang oleh pasangan calon dan oligarki di belakangnya,” tegasnya. (irj/ce/ala/ko)