Cegah Konflik Bangkal Berulang

oleh
oleh
REDAM KONFLIK: Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran, Ketum DAD Kalteng H Agustiar Sabran dan forkopimda saat melakukan pertemuan membahas mengenai konflik Desa Bangkal di salah satu hotel di Kota Sampit, Minggu (8/10).

SAMPIT-Konflik yang terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, dengan pihak PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) I pada Sabtu (7/10) masih menyi­sakan duka. Pasalnya, kejadian itu menewaskan satu orang warga desa setempat dan dua warga lainnya yang mengalami luka berat diduga akibat timah panas.

Para pemangku kepentingan di Kalteng langsung turun tangan merespon kericuhan di lahan perkebunan kelapa sawit tersebut, agar tidak kembali terulang.

Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran beserta jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kalteng mendiskusikan hal tersebut bersama seluruh pihak yang terlibat. Rapat tertutup yang dilaksanakan di ruang rapat salah satu hotel di Kota Sampit, Minggu (8/10). Pertemuan tersebut juga turut diikuti oleh kepala pemerintah terkait. “Kami sudah mendiskusikan hasilnya, tetapi tidak kami sampaikan terlebih dahulu. Kami ingin meninjau lokasi dahulu,” ucap Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran singkat usai pertemuan.

Ketua Umum Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng H Agustiar Sabran juga turun menyikapi konflik di Desa Bangkal. Ia mengimbau untuk menjaga dan menentramkan kondisi agar semakin kondusif dan tertib. Pasalnya, konflik hingga terjadinya bentrok berdarah tersebut telah memakan korban jiwa dan luka-luka dari masyarakat.

“Kita menyayangkan dan prihatin dengan bentrokan yang terjadi, hingga ada korban jiwa. Kita meminta semua manahan diri dan harus bersatu menjaga kondusifitas Kalteng,” kata Ketum DAD Kalteng H Agustiar Sabran, Minggu (8/10).

Agustiar Sabran menegaskan, DAD Kalteng mendukung penuh kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah daerah dan instansi vertikal terkait, agar konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT HMBP di Desa Bangkal, segera diselesaikan.

“Pak Gubernur dan Forko­pimda sudah berangkat ke Kotim untuk rapat dengan Pemkab Seruyan dan pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan ini. Kita tentu sangat mendukung, agar konflik ini segera diselesaikan dengan sebaik-baiknya,” tegasnya.

Agustiar juga menyampaikan ucapan duka cita mendalam atas meninggal dan adanya masyarakat yang terluka akibat bentrokan di lokasi PT HMBP di Desa Bangkal. “Tadi pagi (kemarin) kita juga telah membesuk korban luka-luka. Semoga tidak ada lagi korban jiwa, karena kita sangat berduka dengan adanya korban jiwa akibat bentrok tersebut,” tukasnya.

DAD juga mengimbau aparat sdan masyarakat untuk menahan diri dan bersinergi menciptakan ketentraman dan ketertiban di daerah konflik. Disampaikannya, memperhatikan informasi dan laporan yang masuk berkenaan dengan maraknya keberadaan ormas-ormas baik yang mengatasnamakan masyarakat Dayak dan lainnya.

“Maka, dengan kerendahan hati kami minta untuk turut serta memberikan ketenangan dan keteduhan bagi anggota-anggotanya. Beri ruang bagi pemda untuk bekerja sesuai ketentuan. Hormati kelembagaan Adat Dayak di Kalteng dukung lembaga adat untuk memberikan keteduhan pasca konflik demi kedamaian bersama,” ucapnya.

Sementara itu, berdasarkan kesaksian Joda yang merupakan salah satu keluarga dari Gijik, saat ditemui awak media Sabtu (7/10) malam di kamar kenazah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Murjani Sampit, dirinya menerangkan kejadian bermula saat warga melakukan pembangunan tenda di pos II sekitar pukul 9 pagi. Satu setengah jam kemudian, warga berpindah ke adfeling 10-12 untuk menduduki lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU) PT HMBP. Menurutnya kondisi saat itu masih kondusif.

“Saat itu kondisinya masih kondusif saat warga berupaya memasang tenda,”ujar Joda singkat.

Tidak lama setelah tenda dipasang, aparat kepolisian dengan senjata lengkap datang berniat membubarkan massa. Masyarakat yang tidak menginndahkan peringatan itu, tetap bertahan di lokasi. Selang berapa saat, ia mendengar teriakan dari salah satu aparat kepolisian untuk menembakkan gas air mata sebanyak lima kali ke arah massa yang tengah berkumpul.

“Aparat ingin melakukan pembubaran massa. Tapi masyarakat tidak mengindahkan peringatan itu. Tidak lama, tiba-tiba ada instruksi untuk melepaskan tembakkan gas air mata sebanyak lima kali,” terangnya.

Usai gas air mata dilepaskan, peluru aktif dilepaskan ke arah masyarakat yang tengah berkumpul. Tembakkan itu mengenai dua warga. Salah satunya meninggal dunia dan korban lain mengalami luka tembak dibagian tulang ekor. Berdasarkan informasi yang dihimpun di lapangan, korban tersebut bernama Taufik Rahman dan sedang mengalami perawatan di salah satu rumah sakit di Banjarmasin, Kalsel.

Menurut Joda saat itu, warga tdak bermaksud mengindahkan peringatan aparat. Akan tetapi mereka berupaya menduduki lahan itu sesuai MoU tahun 2013. Melihat kejadian penembakkan tersebut, warga merasa tidak terima dengan tindakan itu. Sehingga bentrok tak bisa terelakkan.

“Kita bukan tidak menghiraukan. Kita hanya ingin menduduki lahan sesuai MOU tahun 2013. Itu adalah janji perusahaan dan tidak berjalan. Kami tidak terima dengan sikap aparat. Harusnya duduk bersama mencari jalan keluar bukan malah melepaskan tembakkan,”ungkapnya.

Terpisah, keluarga kotban Alexius, saat ditemui awak media mengatakan pihaknya akan menempuh jalur hukum kepada pelaku yang terlibat dalam penembakkan tersebut. Autopsi yang berlangsung selama kurang lebih dia jam itu dijaga ketat oleh personel kepolisian. Menurutnya berdasarkan dampingan keluarga saat jenazah di autopsi, korban meninggal akibat peluru tajam.

“Kami pihak keluarga akan menempuh jalur hukum kepada pelaku yang terlibat. Berdasarkan pendampingan keluarga, saat dilakukan autopsi, penyebab kematian karena peluru tajam,”jelasnya.

“Rencananya, usai jenazah dibersihkan, jenazah akan di bawa ke simpang bangkal untuk dimakamkan,”sambungnya.

Pihak warga pun menuntut keadilan, mendesak langkah hukum yang tegas terhadap pelaku penembakan. Warga juga meminta agar izin perusahaan bersangkutan dicabut sehingga tidak menciptakan konflik yang berlarut-larut.

Salah satu warga Desa Bangkal, James Watt mengungkapkan, kemarin warga tengah berduka di lokasi rumah duka korban bernama Gijik (35). Almarhum merupakan anggota TBBR wilayah setempat yang aktif ikut serta menuntut realisasi plasma dari pihak PT HMBP I. Saat kejadian, Gijik tertembak di bagian dada dan tewas di tempat. Dua orang rekan Gijik lainnya, Taufik Nurahman dan Ambaryanto, luka-luka. Pihaknya menduga akibat senjata api dari polisi yang bertugas. Sementara pihak kepolisian menyebut mereka tidak menggunakan senjata api dan mengatakan telah menangkap sejumlah warga yang membawa senjata api. Akan tetapi, James membantah hal itu. Ia menegaskan warga tidak membawa senjata api.

“Saya dengar pada saat di tempat kejadian warga tidak ada membawa senjata api, masyarakat yang ikut aksi dan berdekatan dengan almarhum menegaskan tidak ada, yang jelas yang melakukan penindakan kemarin itu dari brimob,” kata James saat dihubungi Kalteng Pos, Minggu (8/10).

Ia menegaskan pihak warga tidak membawa senjata api, tetapi hanya membawa senjata tajam seperti pisau dan mandau. Warga yang membawa egrek pun ada, cuman ditujukan hanya untuk memengaruhi pihak aparat agar mendesak pihak perusahaan supaya merealisasikan tuntutan masyarakat.

“Ada juga narasi berita yang mengatakan warga memanen sawit, nggak ada, masyarakat baru memasang tenda, setelah selesai memasang tenda tempat mereka istirahat, datanglah aparat brimob bersenjata lengkap,” sebutnya.

James menyebut, penyerangan oleh aparat terhadap warga di sana pada Sabtu kemarin itu bukan yang pertama kalinya. Disebutkannya, pada kali pertama yakni 16 September 2023 lalu, aparat menyerang warga menggunakan gas air mata. Lalu pada 23 September 2023, masyarakat kembali menuntut haknya, aparat menyerang menggunakan tembakan gas beserta senjata berpeluru karet.

“Polisi itu sudah tahu apa yang seharusnya mereka lakukan, seharusnya mereka itu mendesak pihak perusahaan agar memenuhi tuntutan masyarakat, jangan malah membubarkan masyarakat yang menuntut haknya, itukan sepihak,” tuturnya.

James menjelaskan, peristiwa berdarah itu terjadi pukul 12.00 WIB di lokasi lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan. Lahan di luar HGU memiliki luasan 1175 hektare (ha). Karena lahan itu tidak satu hamparan, maka masyarakat bersepakat untuk memplotting lahan tersebut supaya satu tempat.

“Di satu tempat itu mereka menduduki lahan itu supaya tidak mengganggu lahan milik PT HMBP I, itu tujuan mereka. Masyarakat menduduki lahan itu bukan tanpa alasan, karena masyarakat menduduki posisi lahan di luar HGU milik PT HMBP I,” ungkapnya.

Dari pengakuan sebagian besar warga, James menyebut kericuhan yang terjadi Sabtu kemarin itu dimulai dari tindakan represif aparat, khususnya pasukan brimob kepolisian. Pihak kepolisian ingin membubarkan kerumunan warga, masyarakat merasa dipojokkan, sehingga melawan dan tetap bertahan dari tindakan aparat kepolisian.

“Walaupun mediasi demi mediasi sudah dilakukan, antara pemerintah desa dan perusahaan, tetapi masyarakat merasa tidak memuaskan apa yang mereka tuntut, tuntutan masyarakat lahan di luar HGU itu dikembalikan ke masyarakat,” bebernya.

Ada sejumlah tuntutan warga yang tidak diindahkan oleh pihak perusahaan. James menyebut, masyarakat Desa Bangkal cukup sabar dengan sikap pihak PT HMBP. Sebab, sengketa antara masyarakat dan PT HMBP sudah terjadi cukup lama. Sejak tahun 2013, James menceritakan, sudah ada MoU antara perusahaan dan masyarakat untuk merealisasikan plasma sebesar 2 hektare per kartu keluarga (KK). Direalisasikan oleh PT HMBP pada Januari 2014. Namun, apa yang disepakati seperti pada kesepakatan pertama pihak perusahaan selalu mengingkari janji itu.

“Perusahaan wanprestasi dari kesepakatan pertama tersebut. Jadi dari situlah perjuangan warga masyarakat dengan kemarahan mereka atas janji-janji PT HMBP yang tak kunjung direalisasikan, sehingga masyarakat habis kesabaran,” sebutnya.

Konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Bangkal dan PT HMBP I itu terjadi tentu ada sebab dan ada akibat. Sebab perusahaan yang mengingkari janji berakibat pada kemarahan warga desa setempat. James menyebut warga akan terus memperjuangkan nasib mereka.

“Warga menolak keberadaan perusahaan itu, kami mendesak pemerintah kabupaten dan provinsi untuk mencabut izin PT HMBP supaya tidak membuat permasalahan di kemudian hari. Masyarakat sangat trauma dengan kejadian-kejadian yang dihadapi saat ini,” terangnya.

Terkait dengan tewasnya seorang warga dari desa setempat, James berharap proses hukum nanti harus ada dan bisa berjalan seadil-adilnya. Terkait dengan kematian korban apakah menggunakan peluru tajam atau bukan, James menyebut ada banyak saksi yang melihat pada saat kejadian aparat menembak dengan peluru tajam.

“Masyarakat punya bukti berupa video pada saat kejadian di TKP. Ada suara teriakan berupa perintah melakukan penembakan, itu merupakan suara dari komandan pasukan kepolisian. Kalau kena peluru tajam, nggak mungkin sampai tembus dada,” bebernya.

Dari kejadian kemarin, James menyebut warga berharap bagi yang melakukan pelanggaran hukum harus diproses secara hukum dengan seadil-adilnya. Kalau memang terbukti bersalah, warga meminta agar pihak aparat yang memerintah dan diperintah agar dicopot dari jabatannya.

“Copot dari jabatannya, jangan sampai hanya dimutasi saja, nanti menular. Kita ini negara pancasila, bukan bangsa terjajah. Masyarakat bukan teroris. Copot jabatannya, berhentikan dengan tidak hormat, harus menjalani hukuman yang setimpal sesuai aturan,” tutur James seraya menegaskan itulah harapan dari masyarakat.

James menyebut apabila tidak ada tindakan berupa realisasi plasma 20 persen dari pihak perusahaan, maka masyarakat tidak akan berhenti memperjuangkan hal itu. Masyarakat akan tetap terus melakukan upaya memperjuangkan hak mereka. Karena pihak masyarakat tidak memiliki uang untuk menuntut ke pengadilan, James menyebut masyarakat tidak akan jera menuntut realisasi atas hak mereka.

Pihaknya mendesak pemerintah agar mencabut izin PT HMBP I di wilayah Desa Bangkal dan meminta pemerintah daerah agar segera merealisasikan kewajiban plasma 20 persen itu untuk menyejahterakan masyarakat setempat.

“Proses hukum bagi yang terbukti melaksanakan pelanggaran hukum, khususnya untuk pihak aparat kepolisian atau brimob yang melakukan penindakan kepada almarhum Gijik. Proses dia secara hukum, copot dia dari jabatannya,” tandasnya.

Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho Waluyo mendesak agar kasus ini diusut tuntas pada proses pidana pembunuhan. Pihaknya menilai aparat kepolisian telah melakukan pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing. Inilah yang harus diusut tuntas dan harus dimintai pertanggungjawaban secara pidana.

“Kasus ini harus diusut tuntas ke proses pidana pembunuhan. Komnas HAM harus turun tangan lapangan segera melakukan investigasi,” kata Aryo, kemarin.

Ia juga mengatakan bahwa sudah saatnya aparat kepolisian tidak berada di lingkungan perusahaan. “Perusahan bukan objek vital negara, mereka telah mempunyai securitynya sendiri,” tandas Aryo.

Perwakiloan solidaritas untuk Bangkal melalui juru bicara Janang Firman Palanungkai menjelaskan bahwa kejadian bermula pada Sabtu pagi (7/10). Warga Bangkal lainnya menuntut perusahaan memberikan hak masyarakat, yakni kebun plasma 20 persen kepada perusahaan PT HMBP I, anak perusahaan Best Group.

“Para peserta masa aksi dihadang oleh para aparat dari Polda Kalteng pasa pagi itu. Suasana mencekam karena adanya bentrokan antar warga dan kepolisian. Terdengar suara dari arah aparat dengan sebutan “tembak, tembak, bidik kepalanya, lalu menyusul suara tembakan. Hal itu bisa dilihat dari video yang beredar dengan durasi 1 menit 19 detik,” tegas Janang dalam wawancaranya, Minggu (8/10).

Pada bentrokan itu Gijik (35), warga Bangkal, tewas di tempat. Hal ini setelah Gijik bergegas ingin membantu teman aksinya. “Gijik yang sedang duduk tiba-tiba berdiri karena melihat teman aksinya, Taufik Nurahman (21), tertembak di bagian pinggang. Gijik yang ingin menolongnya justru ditembak di bagian dada, diduga menembus jantung,” tegas Janang.

Diketahui aksi di wilayah PT HPMBP itu bukan aksi pertama, setidaknya sudah 23 hari sekelompok warga melakukan aksi menuntut kebun plasma 20 persen. Setiap hari mereka menduduki kawasan PT HMBP I sampai tuntutannya dipenuhi. Namun, hingga nyawa Gijik melayang tak ada respon baik dari perusahaan.

Warga mendesak pemerintah untuk mencabut izin PT HMBP yang menjadi sumber konflik.

Terakhir Mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di desa bangkal. Janang yang juga merupakan Manajer Advokasi dan Kajian Walhi Kalteng berharap kejadian ini bisa tanggapi oleh Kapolri.

“Semoga Mabes Polri bisa melirik ini melalui Propam bisa melakukan penindakan terhadap pelaku penembakan. Dan pemerintah daerah bisa melakukan evaluasi terhadap perizinan perusahaan.Kalau bisa sampai mencopot perizinannya,” tegasnya.

Selain itu Anggota DPRD Kalteng dari Komisi II Sudarsono menyebutkan bahwa gubernur telah berangkat langsung ke daerah kejadian. Ia meminta untuk sabar karena sedang dalam proses penyelesaian.

“Sabar perlu waktu. Pak gubernur dan Forkopinda serta Ketua DPRD Kalteng sudah di Sampit sejak kemarin. Sudah melakukan rapat serta langkah-langkah konkrit. Insya Allah pasti ada jalan keluar,” tegasnya.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Kalteng Kombes Pol Erlan Munaji mengatakan, situasi di lokasi kejadian pada Minggu (8/10) masih dinilai kondusif. Aparat yang berjaga juga sudah disiapkan oleh Polda Kalteng untuk mengamankan lokasi kejadian.

“Situasi di lapangan masih kondusif dan Polda Kalteng telah menurunkan pasukan untuk berjaga di sana,” tegasnya. (ko)