kaltengonline.com – Pandemi Covid-19 tak hanya memengaruhi kesehatan. Dampaknya begitu luas. Mulai dari sektor ekonomi, sosial, hingga yang paling mencemaskan adalah mengganggu sistem pendidikan. Selama pandemi, kegiatan belajar mengajar tidak bisa dilaksanakan secara tatap muka langsung di sekolah. Sistemnya diganti dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau dari rumah.
Bencana nonalam yang terlalu lama menyebabkan kemunduran akademis atau learning loss, khususnya di Kota Palangka Raya. Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Palangka Raya mendapat temuan ini saat dimulainya pembelajaran tatap muka (PTM) di sekolah setelah pandemi mulai terkendali. Hampir 80 persen peserta didik atau murid sekolah dasar (SD) yang duduk di kelas 1 hingga kelas 3 mengalami learning loss, yang ditandai dengan lemahnya kemampuan murid dalam membaca.
Kepala Disdik Kota Palangka Raya Jayani SPd MSi mengungkapkan bahwa pihaknya mendapat informasi dari tenaga didik bahwa masih banyak murid kelas 3 SD yang kemampuan membacanya masih di bawah standar. Menanggapi informasi tersebut, disdik proaktif turun ke sekolah-sekolah melakukan pengawasan. Ditemukan fakta bahwa masih banyak murid yang memang mengalami learning loss.
Jayani menyebut belum ada angka pasti berapa total individu yang mengalami learning loss dalam persentase 80 persen itu. Namun Jayani menegaskan, pada tiap satuan pendidikan, dalam hal ini SD yang telah ditinjau, lebih dari separuh murid tidak bisa membaca, terutama yang duduk di kelas 3.
“Itu (murid mengalami learning loss) sebagai akibat dari banyaknya anak-anak yang diam di rumah (selama pandemi), proses belajar mengajar jadi tidak maksimal, terutama anak-anak SD,” ucap Jayani kepada Kalteng Pos via telepon, Senin (17/10).
Dijelaskannya, pembelajaran dalam jaringan (daring) menyebabkan proses transfer ilmu ke peserta didik tidak berjalan maksimal. Itulah yang menyebabkan terjadinya learning loss. Pola pembelajaran yang diterapkan selama pembelajaran daring justru tak membuat peserta didik berkembang.
“Pembelajaran pada masa pandemi, yang mana para guru memberikan tugas-tugas kepada peserta didik tanpa bimbingan langsung, ternyata tidak bisa diikuti secara baik oleh peserta didik yang belum bisa membaca, seperti murid kelas 1 sampai dengan kelas 3, murid-murid SD itu kan belajar di rumah selama pandemi, tahun ajaran 2020-2021, rata-rata untuk anak kelas 1-2 itu mereka dikasih tugas oleh sekolah, tapi kan belum bisa membaca mereka,” tuturnya.
Menurut Jayani, yang paling terdampak dari pola pembelajaran daring adalah peserta didik kelas 1-3 SD, yang memang belum bisa membaca, tapi sudah dicekoki tugas-tugas yang mesti dikerjakan sendiri. Selain itu, selama pandemi juga tidak dapat dilakukan bimbingan intens dari guru, mengajari cara membaca kepada murid-murid.
“Dua tahun yang parah itu, 2020-2021, tahun-tahun itu masalah learning loss mulai muncul,” ucapnya.
Persoalan learning loss tak sebatas pada ketidakmampuan membaca. Ketidakmampuan dalam berhitung juga ditemukan pada murid sekolah dasar kelas rendah. Diakui Jayani bahwa bukan hanya kemampuan literasi berbahasa yang jauh dari harapan, tapi juga kemampuan literasi numerik.
“Dalam hal keterampilan berhitung, masih banyak anak didik yang belum mengenal angka, hanya bisa hitungan satu sampai sepuluh, tapi untuk selanjutnya mereka kerepotan,” tuturnya.
fMenghadapi persoalan ini, lembaga pendidikan tingkat dasar di Kota Palangka Raya tidak tinggal diam. Setidaknya beberapa sekolah telah berupaya mengatasi learning loss ini. Seperti SDN 8 Bukit Tunggal yang telah menyiapkan solusi agar anak didik kelas rendah bisa membaca.
Kepala SDN 8 Bukit Tunggal Andhi Marwati Rahayu membenarkan bahwa sekitar 30 persen anak didiknya yang duduk dari bangku kelas satu hingga tiga, sama sekali belum mengenal huruf. Sekitar 40 persen mampu membaca, tapi masih terbata-bata (tidak lancar). Sisanya masih belum lancar.
“Kalau secara individu, di kelas 1 ada 9 dari 46 murid belum bisa membaca, di kelas 2 ada 4 dari 32 murid belum bisa membaca, sedangkan kelas 3 jumlahnya lebih banyak dari kelas 2 tapi lebih kecil dari kelas 1, pokoknya kelas 1 paling banyak,” bebernya.
Andhi menuturkan bahwa pola pembelajaran daring selama ini tidak efektif, sehingga tidak memberikan perkembangan bagi anak didik dalam hal kemampuan literasi, khususnya kemampuan membaca. Diakuinya, selama pembelajaran daring diterapkan, guru hanya memberikan tugas kepada anak didik. Berlaku sama dari kelas 1 hingga kelas 6. Keterbatasan akses anak didik terhadap media pembelajaran daring menyebabkan tidak dapat diselenggarakannya tatap muka secara daring melalui aplikasi pada ponsel pintar seperti yang dilakukan sekolah lain pada umumnya.
“Karena itulah kami tidak bisa melakukan pendampingan intens, paling tidak secara online kepada anak didik, akses teknologi sangat terbatas,” tuturnya.
Imbas dari pola pembelajaran seperti itu adalah terjadinya learning loss di kalangan peserta didik, khususnya kelas rendah. Untuk mengatasi itu, pihaknya menyediakan kelas tambahan bagi anak didik kelas rendah tiap pulang sekolah. “Jadi anak-anak yang belum bisa membaca itu nantinya diberi pelajaran tambahan tiap pulang sekolah, kami sudah berkoordinasi dengan orang tua mereka untuk menjemput setelah kegiatan selesai,” tuturnya.