Yahmo benar-benar petani sejati. Lahan tidur yang kerap terbakar ketika musim kemarau melanda Kota Palangka Raya, berhasil disulapnya menjadi lahan produkif. Dimanfaatkan sebagai tempat bercocok tanam dan mendapatkan keuntungan finansial.
ANISA B WAHDAH, Palangka Raya
SEORANG pria tua menarik perhatian saya (penulis) kala melintas di Jalan Dunis Tuwan, sekitar 50 meter dari Jalan Tjilik Riwut. Pria tua itu tak pernah absen dari rutinitasnya di sebidang lahan berukuran 70×23 meter itu.
Cangkul menjadi teman sehari-harinya. Tanpa mengenakan topi, rambut putih dan kulit cokelatnya langsung terpapar sinar matahari setiap pagi. Kala tanam, kulit cokelatnya hampir menyatu dengan luasan lahan yang bakal menjadi pundi rupiah. Kala panen, ia terlihat menonjol di tengah hamparan hijauan sayuran. Kadang kangkung, bayam, dan beberapa sayuran lainnya.
Dialah Yahmo. Biasa disapa mbah Yahmo. Pembabat Jalan Dunis Tuwan. Dari arah Bundaran Besar berada di sebelah kanan Jalan Tjilik Riwut Km 10, Palangka Raya. Cikal bakal Jalan Dunis Tuwan dimulai 30 tahun lalu. Sejak saat itu, Yahmo mulai bercocok tanam di lahan milik Dunis Tuwan.
Yahmo merupakan salah satu warga Bojonegoro, Jawa Timur yang mengikuti program transmigrasi di Kabupaten Pilang Pisau (Pangkoh) pada 1983 lalu. Sepuluh tahun hidup di Pangkoh dengan pekerjaan sehari-hari menanam padi di lahan seluas enam hektare.
Pada tahun 1993, Yahmo selaku ketua kelompok tani dan ketua kelompok ternak di wilayah tempat tinggalnya mengikuti kegiatan di Kota Palangka Raya. Usai kegiatan yang diselenggarakan di kompleks Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya, ia berniat jalan-jalan, hingga sampailah di Jalan Tjilik Riwut Km 10.
“Saya bertemu dengan seorang kai (kakek, red) bernama Dunis Tuwan berusia 85 tahun di kandang ayam. Kandang ayam ini milik orang lain yang menyewa tanah kai Dunis Tuwan,” kata Yahmo.
Berangkat dari pertemuan ini, menjadi awal dimulainya Yahmo membabat alas dan membuka Jalan Dunis Tuwan.
Pada pertemuan itu, Dunis Tuwan menawari Yahmo agar mengelola tanahnya untuk bertani tanpa perlu menyewa.
“Saya ditawari kai Dunis Tuwan untuk mengelola lahannya, tidak menyewa, hanya saja saat panen saya harus menyerahkan sepuluh persen hasil panen kepada dia (Dunis Tuwan, red). Misal saja, hasil penjualan panen dapat uang Rp1 juta, maka Rp100 ribu saya berikan kepada kai Dunis Tuwan,” kata pria yang lahir pada 8 Agustus 1951 ini.
Tanah Dunis Tuwan sepanjang 1,3 kilometer terhitung dari Jalan Petuk Katimpun (saat ini, red) dengan lebar 700 meter.
Penawaran itu pun dipertimbangankannya, lantaran kondisi tanam padi di Pangkoh kala itu mengalami penurunan.
“Setelah bertemu kai Dunis Tuwan itu, saya kembali ke Pangkoh, melihat kondisi tanam padi yang menurun, saya minta izin kepada istri untuk berangkat ke Palangka Raya dan mencoba mempertegas tawaran kai Dunis Tuwan itu,” ucapnya sembari memanen kangkung di lahan yang berseberangan dengan rumahnya.
Masih di tahun yang sama, pria yang memiliki tiga orang anak laki-laki dan satu anak perempuan itu menemui Dunis Tuwan dan menyetujui tawaran menggarap lahan. Setelah memilih lokasi yang akan ditebas, ia bekerja buruh cangkul di Jalan Petuk Katimpun untuk modal membeli alat pertanian serta bibit dan pupuk yang akan digunakannya.
“Perlahan saya membabat alas ini dan perlahan menamam berbagai tanaman pangan, seperti kacang, timun, dan lainnya.
Jika ditotal, lahan yang saya garap sekitar satu hektare saat itu,” tutur pria berusia 71 tahun ini.
Saat membuka lahan untuk pertama kali, ia membangun sebuah gubuk yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya selama dua tahun. Kemudian dia membangun rumah sederhana pada tahun 1995, lalu memboyong istri serta keempat anaknya untuk pindah ke Palangka Raya. Menjalani kehidupan bersama keluarga di hamparan lahan pertanian tanpa ada tetangga.
“Jalan Dunis Tuwan ini saya yang beri nama dan digunakan sampai sekarang. Nama jalan ini dari nama pemilik lahan, Dunis Tuwan, saya tinggal bersama anak istri tanpa tetangga,” kisahnya.
Roda kehidupan di Palangka Raya terus berlanjut. Kai Dunis Tuwan telah meninggal dunia. Namun ia masih terus mengelola lahan milik almarhum. Dari bercocok tanam inilah ia memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga menyekolahkan keempat anaknya menjadi sarjana.
“Dari pertama sampai saat ini, sepuluh persen hasil panen masih diberikan kepada empunya. Saat itu ke Dunis Tuwan, tapi semenjak beliau meninggal, diberikan kepada anaknya,” jelasnya.
Sudah 30 tahun berlalu, Yahmo masih mengelola lahan milik Dunis Tuwan untuk pertanian. Namun, luas lahan yang digarapnya sudah berkurang, lantaran sebagian lahan telah dijual oleh pemilik dan beberapa lagi dibangun perumahan.
“Sampai saat ini saya masih mengelola, ini buktinya, saya tidak tahu juga mengapa lahan sepetak ini tidak dijual dan masih diperbolehkan saya menggarapnya,” singkatnya.
Setelah keempat anaknya menyelesaikan perkuliahan dan menyandang gelar sarjana, pengelolaan lahan mulai berkurang. Begitu pun penghasilannya. Meski hingga saat ini masih bertani, tapi mulai berkurang. Hanya mengisi waktu luang sekaligus olahraga pagi.
“Dulu lebih satu hektare lahan pertanian saya bisa mengelola sendiri, kemudian mulai berkurang hingga saat ini, di sisi lain tenaga saya sudah tidak sekuat dulu karena faktor usia,” tutupnya. (*/ce/ala/ko)