Sultan Muhammad Seman gugur tahun 1905, dalam peperangan melawan pasukan penjajah di tanah Barito. Namun perjuangan putra Pangeran Antasari ini melawan serdadu Belanda patut diapresiasi. Tak hanya dikenal sebagai tokoh yang mampu menghancurkan benteng penjajah, tetapi juga ia bisa mencegah berbagai taktik licik yang dilancarkan Belanda.
ANISA B WAHDAH, Puruk Cahu
SEKRETARIS Kerukunan Keluarga Bakumpai (KKB) Provinsi Kalteng Akhmad Supriadi menceritakan, cikal bakal lahirnya Sultan Muhammad Seman diawali dari adanya perang Banjar-Barito. Sultan Muhammad Seman dikenal gigih dalam melakukan perlawanan terhadap para penjajah.
“Sehingga ada istilah yang mengatakan waja sampai kaputing, yang artinya perlawanan sampai titik darah penghabisan, tidak mau menyerah kepada Belanda, saat melarikan diri dari kejaran serdadu Belanda, beliau hanya menggunakan rakit,” kata Akhmad Supriadi kepada Kalteng Pos, Sabtu (8/4).
Dalam pelarian ke wilayah hulu Sungai Barito ini, Pangeran Antasari (ayah Sultan Muhammad Seman) melakukan politik perkawinan.
Ia yang merupakanan keturunan darah Banjar mengawini seorang putri yang merupakan saudara kandung dari Tumenggung Surapati (pahlawan Kalteng).
Namanya Nyai Fatimah.
“Nyai Fatimah merupakan seorang putri keturunan dari campuran dua suku Dayak yakni suku Bakumpai dan suku Murung (Siang), dengan perkawinan ini otomatis terjalin ikatan kekerabatan yang makin kuat di wilayah Barito,” kata dosen program studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya ini.
Perkawinan antarsuku dilakukan untuk memperkuat persatuan dalam rangka melawan Belanda. Lantaran saat itu penjajah juga menggunakan taktik memecah-belah suku Banjar dan suku Dayak. Dengan adanya perkawinan silang kedua suku ini, peluang Belanda menerapkan politik pecah-belah makin kecil.
“Banyak terjadi saat itu beberapa tokoh lokal justru mendukung Belanda, karena memang itu taktik Belanda untuk memecah- belah,” kata Supriadi.
Di Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya (Mura), Gusti Matseman mengukir sejarahnya sebagai seorang pejuang. Ia yang lahir, besar, dan berjuang di tanah Barito, akhirnya gugur pada tahun 1905 di Puruk Cahu. Semasa perjuangan melawan penjajah, ia tidak sendirian, tetapi ditemani para pengikut ayah dan pamannya, yang merupakan kakak kandung ibunya Tumenggung Surapati, Panglima Batur, Panglima Bukhari, dan beberapa pejuang lainnya.
Selama masa perang, mereka tinggal berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya, seperti di daerah Muara Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan wilayah sepanjang Sungai Barito. Mereka juga membangun benteng-benteng pertahanan.
Antara lain benteng yang ada di Montallat, Barito Utara (Batara) dan Baras Kuning di Puruk Cahu, yang bekas bangunannya masih bisa dilihat hingga sekarang.
Benteng Baras Kuning mencatatakan sejarah berakhirnya perang Banjar melawan pasukan Belanda.
Pada tahun 1888, Sultan Muhammad Seman mendirikan sebuah masjid di Baras Kuning, yang sedianya dijadikan tempat gerakan beratib beramal. Gusti Matseman juga mencatatkan sejarah sebagai sultan terakhir keturunan Kerajaan Banjar. Setelah ia wafat, Belanda pun menyatakan perang Banjar berakhir. (bersambung/ce/ala/ko)