PALANGKA RAYA-Rombongan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemenhan RI) meninjau kawasan food estate yang berlokasi di Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Sabtu (29/4).
Seperti diketahui, kawasan tersebut telah dibuka untuk ditanami singkong, dengan luas 600 hektare. Peninjauan kali ini dipimpin langsung Asisten Khusus Menteri Pertahanan RI Bidang Ketahanan Pangan, Letjen Purn Ida Bayu.
Sebelumnya, beberapa media dan LSM telah memberitakan bahwa proyek lumbung pangan nasional di wilayah ini mangkrak dan hanya memicu persoalan baru, bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan, serta memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan menanam.
Dijelaskan Ida Bayu, setelah peninjauan ini akan segera dilakukan kegiatan ketahanan pangan sehingga menghindari kemungkinan rusaknya lahan yang sudah dibersihkan.
“Segera mungkin melakukan kegiatan pada lahan ketahanan pangan dan menghindari kerusakan hutan, mempertahankan lahan konservasi hutan, mendukung program strategis nasional food estate, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” tegas Ida Bayu, Sabtu (29/4).
Pihaknya akan melibatkan masyarakat sekitar dalam program ketahanan pangan ini.
Karena menurutnya, program ini akan terwujud apabila ada dukungan, kerja sama, dan keterlibatan langsung instansi yang berwenang dan seluruh komponen yang ada.
Dalam peninjauan kali ini, Ida Bayu didampingi tokoh adat dan tokoh masyarakat di sekitar wilayah Sepang. Pada peninjauan itu diambil beberapa sampel tanah untuk selanjutnya dilakukan pengecekan laboratorium di Jakarta.
“Nanti kami akan cek kandungan tanah ini, berapa Ph-nya dan apa yang perlu kita lakukan pada tanah tersebut, jadi kami akan mulai melakukan upaya perbaikan, bukan untuk merusak, dan lahan ini akan dimaksimalkan oleh Kemenhan untuk kawasan ketahanan pangan,” tegas Ida Bayu.
Sebelumnya, saat Anggota Komisi III DPRD Kalteng Duwel Rawing melaksanaan reses perseorangan di Kecamatan Sepang, warga setempat melaporkan perihal program food estate komoditas singkong yang tidak berjalan. Warga menyebut tidak ada tanaman singkong yang ditanam.
Bahkan tidak aktivitas pertanian dan sebagainya di lokasi.
“Saya tidak sempat ke lokasi, tapi berdasarkan laporan masyarakat di sana bahwa program food estate singkong sejauh ini tidak ada realisasi, hanya ada lahan yang dipenuhi tumbuhan liar,” ucap Duwel saat ditemui di gedung DPRD Kalteng, November tahun lalu.
“Bahkan masyarakat mempertanyakan soal sertifikat yang telah diserahkan kepada pihak pengelola program food estate ini dan kejelasan mengenai program tersebut,” ujarnya.
Sebulan sebelumnya, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Ari Rompas pernah menyampaikan pesan atas kerusakan hutan di lahan proyek food estate yang dinilai gagal ini. Menurut dia, megaproyek food estate yang mengonversi hutan secara besar-besaran akan menimbulkan dampak besar terhadap kerusakan lingkungan ke depan, khususnya terhadap krisis iklim yang melanda seluruh dunia saat ini.
“Kita sedang berhadaphadapan dengan krisis iklim, di mana bencana hidrometeorologis sudah di depan mata, saat ini di wilayah Kalteng banyak terjadi banjir, ini sangat berhubungan erat dengan kerusakan lingkungan dan deforestasi yang terjadi,” jelasnya.
Ari membenarkan bahwa pihaknya menilai proyek food estate ini mengambil bagian dalam deforestasi yang terjadi. Food estate dengan model skala luas seperti hamparan singkong tersebut dapat memicu krisis iklim, karena proyek ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah itu di beberapa tempat, justru membuka hutan yang sebenarnya merupakan sumber pangan masyarakat lokal.
Ia juga menyinggung bahwa food estate juga berkaitan dengan kepentingan elite-elite politik yang mengambil keuntungan dari masa krisis iklim, sehingga proyek-proyek food estate yang tidak hanya di Kalteng, tapi juga di Sumatera dan Papua, akan mengancam hutan Indonesia, mengancam biodiversitas, mengancam hak-hak masyarakat adat, dan memicu krisis iklim.
“Proyek-proyek food estate di Kalteng, Sumatera, bahkan Papua akan mengancam hutan hujan tropis di Indonesia, mengancam biodiversitas, mengancam hak-hak masyarakat adat, serta memicu krisis iklim,” ujarnya. (irj/ce/ram/ko)