PALANGKA RAYA-Megaproyek food estate singkong di Desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupateng Gunung Mas (Gumas) mendapat sorotan tajam dari para pegiat lingkungan. Sorotan muncul lagi setelah tim dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Republik Indonesia (RI) meninjau lokasi proyek dan mengambil sampel tanah, sebelum menentukan proses dan langkah pengelolaan proyek lumbung pangan tersebut ke depannya.
Sorotan datang dari Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata. Menurutnya, tinjauan yang dilakukan pihak Kemenhan RI untuk memastikan kecocokan tanah dengan tanaman yang akan ditanam merupakan langkah bagus untuk memastikan secara empiris kecocokan tanah, proses tanam, dan jenis tanaman singkong yang akan ditanami nanti pada lahan yang sudah disiapkan.
Akan tetapi Walhi menilai langkah yang diambil tersebut sangat terlambat. Pasalnya, proyek ini sudah mulai direalisasi sejak 2020 lalu. Karena itu proyek ini dinilai cacat prosedur perencanaan. Dampak buruk yang ditimbulkan tidak hanya terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap kondisi sosial masyarakat di sekitar kawasan pengembangan megaproyek tersebut.
“Dalam konteks penyelenggaraan proyek, proses-proses persiapan dan perencanaan seharusnya dilakukan di awal, bukan setelah adanya aktivitas barulah disusun perencanaan, salah satunya uji sampel tanah yang baru dilakukan sekarang ini,” tutur Bayu kepada Kalteng Pos, Minggu (30/4).
Menurutnya, uji sampel tanah merupakan bagian dari kajian terkait kesesuaian lahan, dukungan ekosistem, dan lainnya terhadap program atau proyek yang akan digarap. Sayangnya, uji sampel tanah justru baru dilakukan ketika proyek sudah berjalan. Seharusnya uji sampel masuk dalam tahap perencanaan.
“Melihat apa yang dilakukan pihak Kemenhan RI, yang mana baru melakukan uji sampel tanah sekarang ini, jelas itu sudah tidak tepat, apalagi untuk proyek sekelas itu,” ucapnya.
Dikatakannya, sejauh ini Walhi Kalteng sudah intens melakukan monitoring terhadap megaproyek pengembangan singkong ini, serta dampak lingkungan maupun sosial masyarakat yang ditimbulkan. Dari monitoring tersebut ditemukan banyak aspek yang menyebabkan megaproyek ini tidak berjalan maksimal.
“Berdasarkan kondisi itu, kami berani menyatakan bahwa proyek ini gagal, pertama dari aspek kebijakan, dari hasil kajian yang kami buat, proyek ini tidak memiliki dasar atau landasan hukum yang kuat, kebijakan di tingkat nasional maupun daerah tidak ada, ini yang kemudian menyebabkan berbagai permasalahan,” jelasnya.
Kegagalan proyek ini tak hanya dari aspek hukum, tapi juga aspek kajian lingkungan hidup, kajian kesesuaian lahan, kajian sosial, dan lainnya. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan pengelolaan proyek food estate singkong tersebut karut-marut.
“Kami melihat setumpuk kajian-kajian itu tidak dijadikan oleh pihak pengelola proyek sebagai kebijakan atau acuan dalam perencanaan proyek, sehingga berdampak pada karut-marutnya pengelolaan proyek food estate di Gunung Mas itu,” tuturnya.
Menurutnya, proyek ini menjadi tidak relevan jika dijalankan, tapi diniatkan untuk memenuhi ketahanan pangan nasional dan mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat setempat dengan pelibatan mereka.
“Bukti nyatanya, dari hasil monitoring kami di lapangan, masyarakat di sana justru mengaku kebingungan dengan manfaat dari proyek ini. Kalau dikatakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, komoditas yang ditanam di sana itu bukanlah pangan langsung yang bisa diolah oleh masyarakat, tetapi harus melalui proses-proses produksi yang panjang,” jelasnya.
Secara langsung proyek ini juga dapat berdampak negatif bagi keseimbangan ekologis. Dikatakan Bayu, dampak deforestasi yang muncul dari upaya membuka lahan food estate itu sudah dirasakan oleh masyarakat setempat, khususnya desa-desa sekitar kawasan proyek.
“Daerah food estate singkong itu kan lokasi resapan air dari hulu sungai, dari anak-anak sungai yang mengalir ke desa-desa di sana, saat musim hujan malah terjadi banjir, karena fungsi hutan untuk menahan air sudah enggak berfungsi lagi, air hujan langsung turun ke daerah hilir dan membanjiri permukiman masyarakat,” terangnya.
Karena itu sejak awal pihaknya secara tegas menolak kehadiran megaproyek ini, karena orientasi proyek ini bukan untuk pemenuhan ketahanan pangan masyarakat, melainkan untuk bisnis semata.
“Lagi-lagi bisnis yang bermain di sana, bagaimana investasi turut andil di sana, sehingga komoditas yang ditanam itu juga untuk memenuhi kebutuhan pasar, jadi tujuannya itu untuk kebutuhan komersial, jauh dari cita-cita ketahanan pangan seperti yang dinarasikan pemerintah,” ungkapnya.
Menurut Bayu, sebaiknya urusan ketahanan pangan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, karena masyarakatlah yang memiliki sistem pemenuhan pangan.
“Mereka (masyarakat, red) masing-masing sudah tahu bagaimana cara memenuhi kebutuhan pangan berdasarkan kearifan lokal, hal-hal seperti itulah yang harus didukung dan dilindungi pemerintah,” ucapnya.
Ia juga menyarankan agar kawasan hutan yang sudah ditebang, dihijaukan kembali melalui program reboisasi.
“Wilayah yang sudah dibuka itu jelas-jelas masih merupakan kawasan hutan, jadi harus dikembalikan menjadi tutupan hutan lagi, kegiatan restorasi dan reboisasi harus dilakukan untuk meminimalkan dampak kerusakan hutan,” tandasnya.
Terpisah, Anggota DPRD Kalteng Daerah Pemilihan (Dapil) I (Palangka Raya, Katingan, Gumas) Duwel Rawing meminta pemerintah memastikan keberlangsungan food estate singkong di wilayah Gunung Mas. “Kalau informasinya benar demikian (mengambil sampel tanah, red), pemerintah harus memberikan kepastian, jika dilanjutkan, ya lanjutkan, tetapi jika tidak, pastikan lahan-lahan yang sudah digarap itu ditanam kembali untuk mengembalikan fungsi hutan,” ucapnya, Minggu (30/4).
Duwel mengungkapkan, proyek food estate di Gunung Mas itu sudah lama tidak beroperasi. Barulah sekarang ada tindakan dari pemerintah pusat melalui Kemenhan. Dikhawatirkan program nasional ini gagal dan justru membawa dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan.
Dalam reses yang dilaksanakan beberapa bulan lalu, lanjut Duwel, salah satu aspirasi yang disinggung masyarakat adalah soal kejelasan program food estate singkong tersebut.
“Kami ada menerima aspirasi soal itu, tapi kami juga tidak berani memberi tanggapan, karena dari awal kami tidak dilibatkan, jadi kami hanya meminta supaya pemerintah memberi kepastian kepada masyarakat di sana,” ujarnya.
Pada sisi lain, Duwel mengapresiasi tindakan Kemenhan yang turun mengambil sampel tanah untuk keperluan uji laboratorium. Ia berharap proyek ketahanan pangan nasional ini bisa dilanjutkan kembali dengan melibatkan masyarakat sekitar lokasi proyek, khususnya Kecamatan Sepang.
“Karena singkong inikan bisa tumbuh di berbagai jenis tanah, kecuali gambut, jadi proyek ini harus disukseskan, sesegera mungkin ditanam singkong agar bisa menghasilkan impact positif bagi masyarakat, negara, dan pihak-pihak yang terlibat,” tegas mantan Bupati Katingan ini. (dan/irj/ce/ala/ko)