Akademisi Kritisi Penunjukan Pj Bupati

by
by
PELANTIKAN: Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran melantik Pj Bupati Barsel Dr Deddy Winarwan dan Pj Bupati Kobar Dr Budi Santosa di Aula Jayang Tingang, Rabu (24/5).

PALANGKA RAYA-Pelantikan Penjabat (Pj) Bupati Barito Selatan (Barsel) dan Pj Kotawaringin Barat (Kobar) mendapat perhatian dari sekelompok organisasi massa (ormas) di Kalimantan Tengah (Kalteng). Penunjukan dua orang pejabat dari Kemendagri tersebut untuk menempati posisi penjabat di dua kabupaten itu mendapat kritikan dari sejumlah akademisi, yang menilai keputusan itu tidak berlandaskan prinsip transparansi, otonomi daerah, dan demokrasi.

Akademisi ilmu pemerintahan dari Universitas Palangka Raya, Dr Ricky Zulfauzan SSos MIP mengungkapkan, Kemendagri telah mengambil keputusan sepihak dalam menunjuk pj bupati. Menurut Ricky, keputusan sepihak dari Kemendagri itu menjadi rawan untuk diprotes atau ditolak, karena tidak ada transparansi.

“Apalagi untuk Kabupaten Kotawaringin Barat yang tiba-tiba diganti tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Saya menduga pemerintah pusat memang menyiapkan agenda sendiri yang belum tentu sejalan dengan agenda Pemprov Kalteng, ini bisa saja terkait pilpres,” kata Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Palangka Raya (UPR) itu kepada Kalteng Pos, Rabu (24/5).

Lantas apakah statement bahwa pemimpin harus merupakan putra-putri daerah dibenarkan untuk memvalidasi penolakan terhadap pj usulan Kemendagri, Ricky menyebut tidak tertera dalam undang-undang (UU) bahwa seorang penjabat kepala daerah harus merupakan putra-putri daerah, terkecuali untuk Papua, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua. Sikap Pemprov Kalteng dalam menghadapi kasus ini, menurut Ricky, seharusnya netral.

“Sebagai kader partai, menurut saya gubernur harusnya taat dan tegak lurus pada agenda partainya.

Bagi yang lain harus ada agenda penyeimbang, agar cara-cara seperti ini ada yang melawan,” tambahnya.

Pelantikan kedua pj bupati mendapat penolakan dari sejumlah kelompok.

Apakah situasi huru-hara ini berpotensi terus terjadi, mengingat kedua pj bupati tersebut tetap dilantik? Menurut Ricky, cara yang dilakukan Kemendagri itu bernuansa mencederai prinsip otonomi daerah dan berbau otoriter.

“Oleh sebab itu, cara-cara ala otoritarianisme begini harus dilawan.

Tidak boleh ada di dalam pemerintahan yang demokratis.

Ada upaya-upaya melanggengkan kekuasaan dengan mengabaikan atau bahkan memanipulasi suara rakyat,” tandasnya.

Sementara itu, akademisi ilmu pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya, Farid Zaky Yopiannor SE MSi berpendapat, dinamika penunjukan Pj Bupati Barsel dan Pj Bupati Kobar ini berada pada nuansa politis.

Tidak bisa dimungkiri, tahun politik sudah membawa konsekuensi iklim politik yang makin kentara.

Selain itu, keputusan tersebut dinilainya kurang demokratis. Namun, lanjutnya, narasi yang digunakan masyarakat untuk mengadvokasi keputusan itu harus lebih elegan.

Jangan sampai menggunakan narasi pemimpin harus putraputridaerah, karena hal itu lebih cenderung ke arah kesukuan dan dinilai tidak profesional.

“Keputusan yang menjadi pijakan Kemendagri mempunyai cita rasa yang kurang demokratis, sehingga mengundang delegitimasi dari publik, terutama karena euforia otonomi daerah itu sangat mengakar, termasuk di Kalteng ini.

Namun jika advokasi yang dilakukan menggunakan narasi putraputri daerah, saya kira itu kurang tepat, karena bersifat tendensius dan membuka celah perpecahan,” jelas Zaky, Rabu (24/5).

Menurutnya, sah-sah saja jika pemerintah daerah terus bersuara ke pusat. Namun ia menyarankan agar menggunakan narasi advokasi yang elegan melalui basis data pembangunan daerah yang mumpuni. Bukan dengan eksploitasi narasi pemimpin haruslah putra-putri daerah.

“Upayakan terjadi konflik yang konstruktif, sehingga jendela perubahan kebijakan pada level pusat bisa terbuka dan mampu mengakomodasi aspirasi daerah,” ucapnya.

Secara legal formal, penunjukan pj bupati tersebut sah, karena sesuai dengan hukum yang berlaku.

Namun persoalannya pada aspek mekanisme penunjukkan yang minim transparansi.

“Karena itu sah-sah saja publik beranggapan bisa saja terjadi sembarang tunjuk. Aturan yang ada perlu direformasi dengan melibatkan publik untuk menilai integritas dan kapasitas calon pj yang ditunjuk oleh Kemendagri,” tuturnya.

Terkait potensi huru-hara yang terjadi, menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) UMPR ini, tergantung bagaimana komunikasi persuasif dari pemerintah dan forkopimda.

“Karena mereka punya resource untuk mengelola dinamika lokal ini. Perlu kepala dingin dan kebesaran hati, karena perubahan iklim politik lokal sedang terjadi menuju pemilu 2024, begitu pun nuansa di pusat pun, semuanya serbapolitik. Peran opinion leader perlu diperkuat untuk merangkul publik yang kecewa, sembari menyusun aksi yang lebih elegan melalui upaya reformasi kebijakan berbasis bukti,” tandasnya.

Terpisah, kader PSI Kalteng Eldoniel mengatakan, sebagaimana satu keluarga yang memiliki kepala rumah tangga berikut anggotanya, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini adalah keluarga besar yang memiliki kepala negara yakni Presiden, berikut lembaga perangkat negara yang melengkapinya (legislatif, eksekutif, yudikatif) sampai ke tingkat daerah di seluruh pelosok negeri.

“Layaknya seorang kepala keluarga yang menginginkan yang terbaik bagi anggota keluarganya, tentu kepala negara pun menginginkan yang terbaik bagi Kalteng berikut wilayah yang ada di dalamnya, termasuk Kabupaten Barito Selatan dan Kotawaringin Barat,” ucap Eldoniel, kemarin.

“Sebagai warga Dayak, warga asli Kalteng dan warga negara Indonesia yang merupakan bagian dari keluarga besar NKRI, seyogianya kita percaya sepenuhnya pada keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat melalui Kemendagri serta Gubernur Kalteng dalam hal menentukan pj bupati, keputusan itu terbaik untuk kebaikan Kalteng khususnya Kabupaten Barsel dan Kobar, tentu itu bukanlah sebuah bencana bagi dua kabupaten tersebut,” katanya.

Kalaupun ada riak-riak penolakan, menurut Eldoniel, barangkali itu adalah keinginan sebagian masyarakat Kalteng.

Tentu ada pula yang berpendapat bahwa memberi kesempatan kepada pj bukan warga lokal yang secara kewenangannya terbatas, menjadi kesempatan untuk menunjukkan kepada pemerintah pusat bahwa administrasi pemerintahan di daerah telah berjalan baik sebagaimana keinginan dan impian masyarakat.

“Intinya adalah semua itu tentu diputuskan atas dasar niat baik berikut norma serta mekanisme aturan yang berlaku dalam keluarga besar NKRI, yang mana Kabupaten Barsel dan Kobar juga merupakan anggota dari keluarga besar NKRI,” tandasnya. (dan/yan/ce/ala/ko)

Leave a Reply