Tradisi Mangenta Terancam Punah

by
by
TRADISI LELUHUR: Lomba mangenta yang digelar di kawasan Gor Serbaguna, Jalan Tjilik Riwut Km 5, Palangka Raya, Jumat (26/5). Peserta yang mengikuti lomba ini didominasi oleh orang dewasa.

PALANGKA RAYA-Tangan Herti begitu lincah mengaduk padi ketan dalam wajan di atas tungku api. Hawa panas begitu terasa meski berada satu setengah meter dari tungku. Namun baginya itu hal biasa. Sesekali tangan kirinya mengusap keringat di wajah. Kepulan asap dari arang terasa menyiksa mata bagi siapa pun yang menonton. Namun tidak wanita berkacamata itu. Ia terlihat santai sembari terus mengharu padi pulut di wajan sampai sedikit lunak. Setelah kurang lebih 20 menit, padi ketan dituangkan ke talam yang terbuat dari rotan. Selanjutnya padi ketan yang telah melunak itu dimasukkan ke dalam lesung.

Bersama dua rekannya, Herti mulai menumbuk padi di atas lesung yang terbuat dari kayu ulin itu dengan menggunakan alu. Suara tumbukan terdengar cukup keras untuk memisahkan beras dari kulitnya. Itulah tradisi mangenta. Mangenta merupakan proses mengolah kenta yang merupakan makanan tradisional suku Dayak di Kalteng, yakni berupa beras ketan yang disangrai dan ditumbuk dalam lesung.

Herti dan rekan-rekannya adalah perwakilan dari salah satu kabupaten mengikuti perlombaan tradisional mangenta Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2023 yang digelar di halaman gelanggang olahraga (Gor) indoor, Jalan Tjilik Riwut Km 5, Kota Palangka Raya, Jumat (26/5). Mereka mewakili Kabupaten Gunung Mas dalam hajatan budaya tahunan terbesar di Bumi Tambun Bungai ini.

Wanita paruh baya itu merupakan salah satu warga desa di Kalteng, yang hingga saat ini masih mempertahankan tradisi mangenta kala panen tiba. Tak heran, wanita bertubuh sintal itu sangat piawai dalam proses mangenta. Bersaing dengan perwakilan sembilan daerah lainnya.

“Satu kali adukan gini memakan waktu 20 menit, tergantung apinya juga, tapi bisa sampai dua jam kalau apinya enggak nyala-nyala, habis dari sini langsung jadi atlet binaraga,” kata wanita berusia 46 tahun itu sembari terkekeh, diikuti gelak tawa penonton.

Membuat kenta, bagi Hesti, bukanlah perkara sulit. Sebab berjualan pangan kenta merupakan usaha yang digelutinya sehari-hari di Desa Tumbang Rahuyan, Kecamatan Rungan Hulu, Kabupaten Gunung Mas.

Ia yang merupakan warga asli kelahiran desa tersebut, mengaku masih terus mempertahankan tradisi mangenta usai panen bersama kerabat-kerabatnya di desa setempat. Beras ketan atau kenta yang mereka bawa itu merupakan hasil berladang masyarakat Desa Tumbang Rahuyan.

“Karena kami pakai sistem ladang berpindah yang satu tahun hanya sekali panen, alias manugal, daerah kami panen tiap bulan Mei, biasanya kami ramairamai memasak kenta saat panen,” ujarnya.

Sementara, salah satu peserta lomba mangenta dari Pulang Pisau (Pulpis), Ita mengatakan pihaknya masih menanam padi ketan sehingga bisa panen padi ketan tiap tahun. Kala musim panen tiba, ujar wanita berperawakan kurus itu, pihaknya akan mengajak peladang lainnya untuk merayakan hari panen bersama-sama dengan mengolah pangan kenta.

“Ini padi ketan asli dari Pulpis, kalau panen tiap tahunnya kami mangenta ramai-ramai, hitung-hitung merayakan syukuran atas kelimpahan pangan,” ujar wanita berusia 47 tahun itu.

Menurut Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Pulpis, Gotat mengatakan, dalam konteks kehidupan masyarakat desa di Pulpis, tradisi mangenta masih rutin dilakukan masyarakat di beberapa desa saat panen.

“Dari hasil berladang itu kami mendapatkan kenta, sebagian untuk membuat mangenta, setelah ditumbuk lantas menghasilkan beras, baru dibikin dengan dicampur air panas dan parutan kelapa, maka jadilah sajian pangan yang dinamakan kenta,” tuturnya.

Pulpis terkenal dengan gaungnya sebagai salah satu daerah di Bumi Tambun Bungai yang memiliki wilayah sentra pengembangan lumbung pangan nasional alias food estate. Menurut Gotat, dengan adanya megaproyek tersebut, selain berperan dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional, juga penting untuk melestarikan kebudayaan masyarakat setempat sebagai bagian dari menjaga kekayaan budaya. Karena mangenta sendiri merupakan tradisi turuntemurun masyarakat Dayak.

“Pulpis sebagai daerah lumbung pangan nasional, di samping kami menyediakan kesediaan beras, juga melestarikan kebudayaannya, karena budaya lokal seperti mangenta ini perlu dilestarikan,” ujarnya selaku pihak ofisial tim dari Pulpis itu.

Selain untuk mensyukuri kelimpahan pangan usai panen, tradisi ini juga dilakukan untuk mencicipi hasil panen. Menurut Gotat, yang masih menjalankan tradisi ini adalah masyarakat yang tinggal di desa-desa wilayah hulu.

“Salah satunya di Desa Banama Tingang, kalau sebelah hilir banyak penduduk pendatang, tapi masih berupaya kami lestarikan dengan mengadakan lomba-lomba bertemakan budaya, salah satunya Festival Handep Hapakat,” sebutnya.

Budaya Mangenta memiliki nilai kearifan lokal yang tinggi. Tradisi untuk memperingati atau syukuran atas kelimpahan pangan ini sarat akan nilai gotong-royong, falsafah hidup berkerukunan, serta saling berbagai.

“Biasanya mengajak kerabat untuk mangenta, ramai-ramai, saling bergotong- royong melakukan bagian-bagian tertentu, ada yang memasak, menumbuk, dan lain-lain,” ujarnya.

Melestarikan tradisi seperti ini sangat cocok untuk bangsa Indonesia. Apalagi Kabupaten Pulpis yang memiliki julukan Handep Hapakat (tindakan saling gotong royong). Menurut Gatot, Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah lahir dari kepedulian pemerintah akan pentingnya melestarikan budaya daerah.

Tradisi mengolah kenta atau mangenta merupakan budaya masyarakat Dayak yang memiliki nilai kearifan lokal yang tinggi. Jika tidak dilestarikian, maka tradisi dari leluhur ini terancam punah. Ancaman kepunahan tradisi mangenta bisa dilihat dari gelaran FBIM 2023. Mangenta merupakan salah satu cabang yang diperlombakan tiap tahun dalam rangka memperingati hari jadi Provinsi Kalteng. Sayangnya, peserta yang ikut ambil bagian dalam beradu teknik mengolah kenta ini justru didominasi orang tua. Sangat minim peserta dari kalangan muda.

Kepala Disbudpar Provinsi Kalteng Adiah Chandra Sari mengatakan, tradisi mangenta ini penting dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya daerah yang menyimpan nilai kearifan lokal masyarakat. Tradisi memasak padi ketan atau padi pulut yang kemudian menghasilkan olahan pangan kenta yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sayangnya peserta dari kalangan muda yang mengikuti lomba ini sangat minim.

Adiah berharap ke depannya lomba mangenta diikuti oleh generasi muda sebagai bagian dari upaya melestarikan kekhasan budaya. Untuk mewujudkan itu, perlu ada kerja sama pemerintah daerah dari kabupaten/kota se-Kalteng untuk sepakat mengirimkan peserta dari kalangan muda.

“Kembali lagi tahun ini kita mengadakan lomba mangenta, dan saya berharap tradisi ini dapat dikembangkan menjadi produk- produk kuliner yang digemari masyarakat. Ke depannya perlu ditekankan keikutsertaan anak muda. Seperti yang kita lihat hari ini, pesertanya dari orang dewasa, anak muda sangat sedikit,” ungkapnya.

Menurut Adiah, kondisi seperti ini cukup memprihatinkan. Ini juga menjadi bahan evaluasi pihaknya, agar pada perlombaan ke depan lebih melibatkan peserta dari kalangan muda. Sebab, tradisi ini perlu dilestarikan oleh generasi muda pewaris budaya.

Produk pangan kenta yang merupakan hasil dari proses mangenta berpotensi menjadi produk bernilai jual tinggi. Adiah menyebut, makanan kenta memiliki nilai ekonomis tinggi, karena cita rasanya yang lezat dan gurih. Lahirnya anak-anak muda dengan minat yang sama, dapat menciptakan inovasi dan kreativitas dalam menghasilkan olahan pangan asli suku Dayak itu.

“Saya berharap agar pemerintah daerah se- Kalteng memfasilitasi pengembangan makanan tradisional suku Dayak ini, sehingga dapat menjadi produk unggulan khas Bumi Tambun Bungai,” tandasnya. (dan/ce/ala/ko)

Leave a Reply