PALANGKA RAYA-Kepolisian sudah menetapkan 12 orang tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalteng. Belasan tersangka itu ditemukan sejak awal tahun 2023. Aparat penegak hukum pun didorong agar mengusut tuntas penyebab karhutla yang terjadi sejauh ini. Bukan hanya terhadap masyarakat, tetapi juga korporasi.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata berpendapat, penetapan tersangka terhadap 12 orang tersebut merupakan bentuk penegakan hukum yang memang menjadi kewenangan kepolisian.
“Tetapi harus diketahui motif dan juga aktor-aktor besar di balik kejadian-kejadian yang dilakukan oleh individu-individu itu, sudah pasti ada motif ekonomi,” ujarnya kepada Kalteng Pos, Selasa (19/9).
Bayu mencontohkan fenomena yang terjadi di Kota Palangka Raya. Umumnya motif melakukan pembakaran lahan adalah untuk membuka lahan secara besar-besaran.
“Setelah dibakar, mereka mulai menggarap lahan itu. Jadi ada indikasi dilakukan untuk membuka lahan, baik perkebunan maupun ruasan permukiman, harus dikejar aktor-aktor besar di baliknya,” tutur Bayu seraya menyebut apabila aktor besar di balik kasus pembakaran itu tidak ditemukan, maka kasus karhutla akan terus berulang.
Selain itu, lanjut Bayu, penetapan 12 tersangka juga harus dilihat dari latar belakang kasus. Jika memang ada di antara mereka yang beraktivitas untuk pertanian terbatas alias berladang, maka tidak boleh ditangkap begitu saja.
“Peladang bisa memastikan kalau pembakaran yang dilakukan tidak akan merusak area lain, berbeda konteksnya kalau sengaja membakar untuk membuka lahan yang berpotensi merusak sumber-sumber kehidupan,” terangnya.
Bayu menilai upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian juga masih timpang. Sebab, lanjutnya, pihak kepolisian hanya menyasar individu yang membakar langsung, bukan pihak yang berada di baliknya atau yang berperan sebagai dalang.
“Oleh karena itu, perlu ada upaya penindakan yang lebih serius. Sederhananya, bisa dicari tahu siapa pemilik lahannya, bisa dilacak melalui dinas terkait atau BPN, sehingga bisa tahu siapa yang paling bertanggung jawab atas karhutla di suatu lokasi,” jelasnya.
Sejauh ini, menurut pernyataan pihak kepolisian, belum ada kejadian karhutla yang disebabkan oleh korporasi. Kendati demikian, Bayu menyebut, berdasarkan analisis yang dilakukan pihaknya, ada indikasi kuat karhutla juga terjadi di area konsesi.
“Ada dua sektor, yakni sektor perkebunan dan kehutanan, HTI dan perkebunan kelapa sawit. Setidaknya ada 13 konsesi yang kami monitor, karena ada indikasi kuat terjadi karhutla di kawasan itu,” ungkapnya.
Menurut Bayu, perlu ada upaya yang lebih tegas dan segera oleh pihak berwenang untuk meninjau lokasi-lokasi yang terindikasi kuat terjadi karhutla. Aparat penegak hukum maupun pihak gakkum KLHK bisa melakukan monitoring langsung.
“Dari upaya tersebut akan ada langkah penegakan hukum, seperti penetapan tersangka dan penyegelan terhadap perusahaan bersangkutan. Itu bisa menjadi peringatan bagi perusahaan lainnya untuk memperkuat pencegahan karhutla di wilayah konsesi masing-masing,” ucapnya.
Sampai dengan kemarin, lanjut Bayu, berdasarkan analisis pihaknya, karhutla di kawasan konsesi terjadi di Seruyan, Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Kapuas, Pulang Pisau, dan Barito Selatan.
“Ketiga belas perusahaan itu bergerak di sektor perkebunan dan kehutanan. Ada indikasi kuat terjadi karhutla di dalam maupun sekitar area izin mereka. Karena itu, penting bagi aparat penegak hukum untuk melakukan monitoring lapangan,” tandasnya.
Tindakan Hukum terhadap Masyarakat dan Korporasi Harus Adil Sementara itu, Belgis Habisa dari Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menjelaskan bahwa Karhutla yang terjadi akibat ulah manusia berulang terutama di wilayah gambut terjadi salah satunya karena aktivitas pembukaan lahan, nah tapi hal ini juga karena kondisi gambut saat ini sudah rusak dan juga kering. Diperparah dengan el nino yang meningkatkan potensi karhutla.
“Beberapa waktu lalu, sebenarnya pemerintah melakukan penyegelan terhadap beberapa korporasi yang konsesinya mengalami kebakaran, ini tentu saja baik, tapi upaya penegakan hukum dengan pemberian sanksi tentu harus dilanjutkan tidak hanya berhenti sampai pada penyegelan,” tegas Belqis saat diwawancara, Selasa (19/9).
Selain itu ia menambahkan bahwa belum lagi UU Cipta Kerja memberikan ruang, perubahan makna strict liability (sebagaimana yang diatur dalam pasal 88 UU 32/2009, yang kemudian direduksi oleh Omnibus Law Cilaka ini.) melalui peraturan pelaksananya, yaitu PP Nomor 22 Tahun 2021. Perubahan ini memberikan landasan kepada tergugat (pencemar) untuk melepaskan diri. Sehingga dari pertanggungjawaban berdasarkan strict liability, salah satu pasal penting dalam pembuktian. Sehingga semakin sulit menjerat perusahaan penyebab karhutla.
Menurutnya pemerintah seharusnya menghentikan semua budidaya perkebunan skala besar yang berada di areal Kesatuan hidrologis gambut (KHG), baik yang sudah ada ataupun yang akan ada dimasa mendatang.
“Memulihkan seluruh KHG yang telah rusak, melihat KHG sebagai sebuah kesatuan ekosistem, lanskap dan melindungi seluruh gambut alami yang masih tersisa. Dan juga transparansi terhadap data-data terkait yang dapat diakses oleh punlik (data perizinan, peta, data relevan mengenai gambut dll) dan tentu saja mereview izin-izin konsesi yang berada di lanskap gambut,” ucap Belqis. (ko)