Agus mengakui bahwa pembicaraan dalam rekaman itu menyangkut keinginannya untuk meminjam uang dari pihak kontraktor demi memenuhi permintaan uang dari terdakwa Ben. Sebagai balasannya, Agus memberikan informasi soal adanya lelang proyek di Dinas PUPR Kapuas.
Saksi menyebut tidak pernah mengonfirmasi secara langsung ke terdakwa perihal kebenaran permintaan uang itu. “Jadi karena yang meminta uang orang terdekat terdakwa, saudara saksi mengiyakan begitu saja,” tanya jaksa Zaenurofiq kepada saksi.
“Iya,” jawab saksi. Saksi Agus sempat dimarahi ketua majelis hakim karena keterangan mengenai dirinya mengiyakan begitu saja permintaan uang dari saksi Kunanto (anggota DPRD Kapuas).
“Memang apa perlunya dia meminta uang itu, memang siapa dia, apa hubungannya dengan PDAM,” tanya hakim dengan nada tinggi. “Itu untuk keperluan pekerjaan di dinas PU,” jawab Agus sembari mengaku penyerahan uang itu tidak berkaitan dengan kedua terdakwa.
Kurang lebih tiga jam Agus Cahyono memberikan kesaksian. Menanggapi kesaksian itu, terdakwa Ben maupun Ary secara tegas menyatakan tidak pernah menyuruh orang meminta uang kepada saksi.
“Saya nyatakan, yang mulia, saya tidak pernah menerima uang dari orang-orang yang disebut oleh saksi ini, semuanya fitnah,” kata Ben.
Ben hanya mengakui pernah meminjam uang dari Agus untuk keperluan pembayaran lembaga survei. “Tetapi uang itu sudah saya kembalikan semuanya kepada saksi,” tutur Ben.
Tanggapan serupa juga disampaikan terdakwa Ary. Ia membantah pernah menyuruh orang untuk meminta uang kepada saksi untuk kepentingan kampanye pileg. “Saya tidak pernah berhubungan langsung dan atau memerintahkan orang untuk meminta-minta uang kepada saksi ini,” tegasnya.
Berbeda dengan Agus Cahyono, kesaksian Eko Dharma Putra hanya berlangsung kurang lebih satu jam. Eko yang sering disebut-sebut oleh sejumlah saksi terdahulu sebagai orang suruhan terdakwa Ben untuk mengambil atau menerima uang, mengaku pernah diminta oleh terdakwa Ary untuk mengambil uang Rp100 juta di rumah Agus Cahyono. Uang itu kemudian diserahkan ke terdakwa Ary di rumah jabatan bupati. Ada tiga kali, masing-masing senilai Rp50 juta. Selain itu, ia mengaku pernah disuruh terdakwa Ben untuk meminjam uang dari Agus Cahyono. “Berapa kali,” tanya hakim kepada Eko. “Sekitar tiga kali, yang mulia,” jawab pria yang saat ini menjabat Camat Basarang. Jumlah uang yang dipinjam dari Agus sekitar Rp50 juta.
Selain itu, Eko mengaku pernah meminjam uang dari Agus Cahyono atas inisiatif dirinya, dengan sepengetahuan terdakwa Ben.
“Waktu di Surabaya kami kehabisan uang, jadi saya pinjam uang kepada Pak Agus,” terang saksi.
Namun Eko juga menyebut, semua uang pemberian dari Agus Cahyono untuk terdakwa Ary maupun terdakwa Ben sudah dibayarkan kembali kepada Agus Cahyono. “Sudah dibayar ke Pak Agus, semuanya Rp300 juta,” ungkap Eko.
Terkait penyerahan uang dari sopir pribadi Ben Brahim, Kristian Adinata, Eko menyebut pernah menerima uang sebesar Rp40 juta. Atas perintah terdakwa Ben, uang itu disimpan Eko dan mempergunakan untuk kegiatan operasional dan sosial. “Uang Rp40 juta itu dipakai untuk apa,” tanya Jaksa KPK kepada saksi.
“Dipakai untuk membantu warga kalau ada acara kawinan atau meninggal dunia ataupun yang sedang kesulitan,” terang Eko.
Selain uang itu (Rp40 juta), Eko tidak pernah menerima uang lainnya dari Kristian Adinata. Di tengah persidangan, Eko terlihat menangis saat memberikan kesaksian. Eko mengaku terdakwa Ben dan Ary sangat baik kepadanya. Ia sendiri mengaku pernah dibantu oleh kedua terdakwa saat akan melangsungkan pernikahan. “Saya dibantu walau sudah tidak jadi ajudan lagi,” terangnya.
Regginaldo selaku penasihat hukum terdakwa berkesimpulan bahwa terdakwa telah menjadi korban orang-orang yang menjual nama terdakwa untuk mendapat keuntungan pribadi, meminta uang pada orang-orang dengan mengatasnamakan terdakwa, menerima uang tetapi tidak pernah menyerahkan uang itu kepada terdakwa. “Sangat ironis, klien kami menjadi pesakitan akibat perbuatan orang lain,” ucapnya. (sja/ce/ala/ko)







