PALANGKA RAYA– Konflik perkebunan yang terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan menjadi sorotan publik. Sawit Watch turut mengambil sikap atas kejadian tersebut. Pihaknya meminta Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) agar membentuk tim pencari fakta untuk mengusut konflik tersebut.
Tak hanya itu, pihaknya juga mempertanyakan alasan PT HMBP I yang tak kunjung merealisasikan kewajiban plasma 20 persen untuk masyarakat. Pihaknya turut mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mengawasi kewajiban-kewajiban perusahaan, seperti kewajiban plasma.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengungkapkan, konflik yang terjadi di Desa Bangkal merupakan gelombang kedua yang dilakukan oleh masyarakat setempat terhadap PT HMBP I. Sebelumnya, tutur Achmad, masyarakat setempat sudah melakukan serangkaian klaim bahwa kawasan PT HMBP I merupakan bagian dari tanah adat masyarakat. Perusahaan pun tak kunjung memenuhi kewajiban merealisasikan plasma.
“Persoalan klaim tanah adat tidak diselesaikan, lalu realisasi plasma 20 persen juga tidak selesai, kondisi itulah yang terjadi di Desa Bangkal. Menurut saya persoalan ini harus cepat diselesaikan, baik klaim adat maupun klaim plasma 20 persen,” kata Achmad kepada Kalteng Pos melalui sambungan telepon, Rabu (11/10).
Pria yang akrab disapa Rambo itu mengatakan, pemerintah daerah harus bergerak cepat memfasilitasi pertemuan dalam upaya mencapai solusi melalui dialog-dialog konstruktif. Yang dimaksud bukan dialog alot yang berjalan maju mundur sehingga tidak mencapai resolusi konflik seperti mediasi yang sudah-sudah. Baik pihak yang berperkara, tuntutan yang disampaikan, lalu bagaimana mengoperasikannya, hingga persoalan-persoalan teknis lainnya.
Model-model mediasi yang dilakukan pun harus ditengahi oleh pihak yang memang mampu bersikap independen. Bisa menggunakan mediator, musyawarah mufakat, lalu memakai arbitrase. Pihak RSPO pun bisa dihadirkan untuk menjadi penengah. Hanya saja, Rambo menyebut PT HMBP I bukan lagi anggota RSPO.
“Dalam persoalan ini, saya melihat Komnas HAM bisa menjadi pihak yang bertugas untuk mengecek fakta atau duduk perkara yang sebenarnya. Komnas HAM punya mandat untuk melakukan mediasi,” tuturnya.
Disinggung terkait tuntutan masyarakat Desa Bangkal agar pemerintah dapat mencabut izin operasional PT HMBP I di wilayah Bangkal, Rambo berpendapat, sebaiknya keinginan itu disikapi secara bijak. Keinginan masyarakat yang meminta pemerintah mencabut izin PT HMBP I berasal dari kondisi di mana penyelesaian konflik tak kunjung didapatkan. Keputusan yang diambil haruslah didasarkan pada kondisi konflik yang sudah jelas duduk perkaranya. Sementara sejauh ini, konflik yang terjadi itu masih belum jelas dan perlu penyelidikan lebih lanjut.
“Semoga tuntutan itu hanya kekesalan saja, sebenarnya harus dicari solusi konkret agar perusahaan yang sudah berinvestasi bisa menyejahterakan masyarakat sekitar, itu titik temu yang ideal,” ucapnya.
Dikatakan Rambo, pencabutan izin terhadap suatu perusahaan perkebunan punya sejumlah syarat. Pihak yang mencabut juga adalah pihak yang memberi izin, dalam hal ini pemerintah daerah. Hanya saja, wacana untuk pencabutan izin itu perlu dipikirkan ulang. Menepati janji plasma 20 persen dan memenuhi aspirasi klaim adat, menurutnya, bisa didiskusikan lebih lanjut. Masyarakat perlu diajak berdiskusi tanpa perlu menuntut pencabutan izin perusahaan.
Selain itu, Rambo menyebut perlu adanya tim pencari fakta untuk menemukan kebenaran konflik. Dari segelintir fakta yang didapatkan itu, nantinya bisa menjadi dasar untuk memutuskan apakah izin PT HMBP I layak dicabut atau tidak.
“Harus ada tim pencari fakta, harus ada fakta-fakta yang didapatkan dari sana,” ucapnya.
Selain Komnas HAM, menurut Rambo Pemprov Kalteng juga memiliki satu peraturan daerah yang berkenaan dengan penyelesaian konflik perkebunan sebagai turunan dari Perda Nomor 5 Tahun 2011. Pergub itu tercantum dalam peraturan perkebunan berkelanjutan.
“Di situ tertuang tentang penanganan atau penyelesaian konflik sektor perkebunan. Dalam kerangka ini, modal penyelesaiannya sudah ada di sisi peraturan. Jadi, semua pihak harus menahan diri,” ucapnya.
Rambo menegaskan, pihaknya belum bisa memberikan sejumlah rekomendasi penyelesaian masalah ini. Sebab, perlu ada upaya oleh pemerintah untuk mencari fakta yang terjadi di masyarakat terkait konflik yang terjadi pada 7 Oktober lalu, sikap dari pihak perusahaan, dan fakta-fakta lainnya yang berkaitan.
“Kalau faktanya belum kita tangkap secara utuh, bagaimana kita bicara solusi. Kalau diambil tergesa-gesa, solusi yang diambil juga pasti kurang utuh. Bagi saya, fakta yang ada harus didapat secara utuh dan benar, barulah bisa dicari solusi terbaik,” ungkapnya.
Akan tetapi, Rambo masih mempertanyakan mengapa kewajiban plasma 20 persen masih belum direalisasikan oleh perusahaan. Klaim adat yang dikemukakan masyarakat juga masih terbengkalai hingga sekarang. Persoalan-persoalan itulah, menurut Rambo, yang perlu diungkap.
“Komnas HAM mungkin bisa sesegera mungkin melakukan penyelidikan melalui tim pencari fakta, mungkin pemerintah daerah juga bisa. Kalau sudah diungkap fakta-faktanya, baru bisa diungkap solusinya seperti apa,” tuturnya.
Rambo mengakui bahwa PT HMBP I sudah memberikan cerminan buruk dari perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalteng. Tak hanya pada konflik-konflik yang sudah terjadi antara perusahaan bersangkutan dengan masyarakat, tetapi juga masih ada wilayah-wilayah di kawasan PT HMBP yang belum mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU), tetapi sudah didirikan perkebunan oleh perusahaan.
“Kalau masih ada wilayah yang belum mendapatkan HGU, artinya itu cerminan buruk dari sisi perizinan. Menurut putusan MK, suatu perusahaan harus punya HGU dahulu baru bisa bangun kebun,” ucapnya.
Kewajiban merealisasikan plasma 20 persen untuk masyarakat memang harus diwujudkan di luar HGU sesuai regulasi yang berlaku. Oleh karena itu, tuntutan yang disampaikan oleh masyarakat sudah berada dalam koridor yang benar.
Rambo menilai, tuntutan yang disampaikan oleh masyarakat sangat jelas dan tidak mengada-ada, sesuai dengan regulasi yang ada dalam Undang-Undang (UU) Perkebunan. Kalau sudah demikian, maka perusahaan seharusnya memenuhi kewajiban untuk membangun kebun masyarakat atau plasma. Mengapa kewajiban itu seolah diabaikan oleh perusahaan? Padahal pihak yang memiliki tugas untuk mengingatkan perusahaan agar memenuhi kewajiban itu adalah pemerintah daerah.
“Persoalannya, pihak perusahaan tidak menjalankan kewajiban. Kemudian pihak yang mengawasi, dalam hal ini pemerintah, juga tidak menjalankan perannya untuk menekan pihak perusahaan memenuhi kewajiban,” tuturnya.
Sawit Watch menekankan agar solusi yang diambil dari persoalan itu tidak buru-buru dan didapatkan melalui dialog-dialog konstruktif antara para pihak yang bersengketa. Karena itu, pihaknya mendesak agar penyelesaian masalah ini ditengahi oleh pihak yang mampu bersikap independen seperti Komnas HAM. Kepada para pihak, ia meminta untuk dapat menahan diri, agar tidak makin banyak korban. Kepada aparat keamanan, pihaknya meminta agar dapat menghindari penggunaan kekerasan dan lebih memprioritaskan penyelesaian konflik melalui dialog.
“Komnas HAM harus mengungkap fakta yang terjadi, termasuk aparat yang menembak semena-mena, apakah sudah sesuai SOP. Kalau tidak sesuai SOP, proses hukum harus berjalan. Cukup sekali ini saja ada korban, jangan sampai terulang lagi,” tandasnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, Rizky R Badjuri mengungkapkan, sesuai arahan Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran, pihaknya akan membantu menyelesaikan konflik yang terjadi melalui mediasi yang lebih intens. Saat ini pihaknya tengah berusaha menemukan solusi terbaik bagi kedua belah pihak.
“Mudah-mudahan solusi yang diambil nanti baik untuk semua pihak. Kan sudah ada korban, jangan sampai ada korban lagi. Kalau sudah ada keputusan bersama yang diterima kedua belah pihak, tentu itu lebih baik untuk dunia usaha kita,” ujarnya kepada Kalteng Pos, kemarin.
Rizky mengatakan, mediasi kedua belah pihak akan dilaksanakan kembali hari ini. Disbun Kalteng akan merealisasikan apa pun arahan yang sudah disampaikan gubernur.
“Kalau soal pencabutan izin perusahaan, itu panjang jalannya, karena kebijakan itu bukan di pemprov,” tandasnya. (ko)