kaltengonline.com – Sidang kasus korupsi yang menjerat mantan Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan Ary Egahni kembali berlanjut di Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Kamis (2/11).
Agenda sidang mendengarkan keterangan yang diberikan saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak terdakwa. Dr Margarito Kamis sebagai ahli hukum administrasi tata negara, sementara Dr Chairul Huda sebagai ahli hukum pidana.
Kedua saksi ahli yang juga dikenal merupakan ahli hukum yang familiar di layar kaca itu menyampaikan keterangan selama kurang lebih 2 jam di hadapan majelis hakim yang dipimpin Achmad Peten Sili.
Margarito Kamis mengatakan, kehadirannya di persidangan kali ini karena hukum administrasi ketatanegaraan yang merupakan keahliannya memiliki keterkaitan erat dengan esensi yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Tipikor.
Menurut ahli hukum yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Khairun, Ternate itu, esensi dari ilmu tata negara dan ilmu administrasi negara adalah membahas tentang kekuasaan dan kewenangan pejabat negara. Sedangkan esensi dari UU Tipikor adalah terkait mengatur apabila terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat negara.
“Konsep (perbuatan, red) melawan hukum dalam tipikor, bila tidak berujung pidana, pasti terkait (dengan, red) undang-undang administrasi, tidak ada yang lain,” kata Margarito Kamis kepada ketua majelis hakim.
Dikatakannya, berbicara terkait suatu kewenangan dalam ilmu tata negara, maka hal itu hanya dimiliki oleh orang yang berstatus sebagai pejabat negara, penyelenggara negara, atau seorang pegawai negeri.
Seorang yang hanya berstatus sebagai istri dari seorang pejabat negara tidak punya hak untuk disebut memiliki sebuah kewenangan. “Istri yang mulia ketua pengadilan ini misalnya, dia tidak punya kewenangan apa pun hanya karena bapak seorang ketua pengadilan,” ucap Margarito mencontohkan konsep sebuah kewenangan di dalam hukum tata negara dan administrasi negara.
Karena itu, menurutnya secara hukum tidak mungkin seorang yang berstatus sebagai istri seorang pejabat negara kemudian dituntut melakukan pidana pelanggaran penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan negara.
“Karena istri itu bukan pejabat negara, suka atau tidak suka, senang tidak senang, begitulah aturan hukumnya,” sebutnya.
Terkait kasus dugaan korupsi yang menjerat terdakwa Ben dan Ary, Margarito menyatakan tidak setuju dengan dakwaan jaksa yang menuduh Ben telah menerima gratifikasi hanya karena telah menerima sumbangan untuk keperluan kampanye pemilihan bupati dan pemilihan gubernur.
Menurut Margarito, seseorang pejabat negara bisa dituduh menerima gratifikasi apabila pemberian tersebut memiliki kaitan dengan jabatan dan kewenangan sebagai seorang pejabat.
Ketua majelis hakim pun bertanya kepada saksi, kapan seorang pejabat negara seperti bupati bisa dikatakan menerima suap. Margarito menjelaskan, seorang pejabat negara dikatakan telah menerima suap apabila pemberian itu secara jelas telah berpengaruh terhadap kebijakan ataupun kewenangannya sebagai seorang bupati.
“Dan ternyata kebijakanya itu bertentangan dengan aturan hukum,” ujarnya lagi. Sementara, menurut Margarito, dalam konteks terdakwa Ben dituduh telah menerima gratifikasi, kemudian disebut sebagai suatu tindakan korupsi karena telah menerima sumbangan uang untuk dana kampanye. Itu dua hal yang sama sekali berbeda dan tidak relevan,” jelasnya.
Ben menerima sumbangan itu setelah ditetapkan oleh KPU sebagai calon peserta pemilihan kepala daerah. Sehingga berdasarkan UU Pilkada, memang dibolehkan menerima dana sumbangan uang ataupun barang untuk kegiatan kampanye.
“Toh, Ben ketika kampanye dalam posisi cuti. Beliau bukan lagi sebagai bupati saat itu, karena beliau sudah cuti. Beliau berhak menerima sumbangan uang dari perorangan maupun organisasi, itu sah” tegas Margarito sembari menambahkan, terkait sumbangan kampanye telah diatur dalam Pasal 74 UU RI Nomor 10 Tahun 2016.
Margarito mengatakan, apabila memang terjadi pelanggaran, seharusnya aturan yang digunakan tetap merujuk pada aturan yang ada dalam UU Pilkada, bukan UU Tipikor.
“Pelanggaran terhadap aturan penerimaan sumbangan dana kampanye itu tetap mengacu ke UU Pilkada, yaitu keikutsertaannya (calon, red) bisa dicoret atau dibatalkan, bukan UU Tipikor,” ucapnya menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum perihal konsekuensi apabila calon peserta pemilu tidak melaporkan sumbangan yang diterima kepada KPU.
Sementara itu, ahli hukum pidana Dr Chairul Huda mengatakan, seseorang dapat tuduhan melakukan pemotongan dana di kas umum perangkat daerah, Chairul Huda mengatakan, hal tersebut seharusnya merupakan tanggung jawab para kepala perangkat daerah.
“Para kepala perangkat daerahlah yang harus tanggung jawab, karena mereka adalah pengelola kas umum,” sebutnya.
Sementara, Margarito Kamis menilai kedua terdakwa seperti telah dikerjai. Margarito sempat mengaku heran atas adanya tuduhan terhadap Ben melakukan pemotongan kas umum dari pelbagai perangkat daerah di Kabupaten Kapuas. Semestinya, pihak-pihak yang diberi tanggung jawab terhadap pengelolaan dana di kas umum tersebut yang bertanggung jawab.
Sidang kasus dugaan korupsi tersebut akan dilanjutkan Kamis pekan depan, dengan agenda pemeriksaan terhadap kedua terdakwa. (sja/ce/ram/ko)