Kaltengonline.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mengidentifikasi dua daerah aliran sungai (DAS) paling kritis akibat tingginya aktivitas sektor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Khusus untuk sektor pertambangan, dalam ketentuan izin pinjam pakai kawasan hutan yang didapat, diwajibkan melakukan upaya-upaya restorasi, reklamasi, dan rehabilitasi. Salah satunya DAS di sekitar lahan perusahaan.
“Demikian juga untuk perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan. Perkebunan sawit yang dalam pelepasan kawasan hutan itu punya kewajiban untuk melakukan rehabilitasi DAS,” ucap Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata kepada Kalteng Pos, Minggu (19/11).
Rehabilitasi DAS merupakan upaya penanaman di dalam dan di luar kawasan hutan yang merupakan salah satu kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dan pemegang keputusan menteri terkait pelepasan kawasan hutan akibat tukar-menukar kawasan hutan, sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi DAS.
Menurut Bayu, masih cukup banyak perusahaan di sektor pertambangan ataupun perkebunan yang belum menjalankan kewajiban merehabilitasi DAS. Hal itu bisa dilihat dari luasan rehabilitasi DAS yang seharusnya dilakukan saat ini, masih terbilang kecil.
“Dari kegiatan rehabilitasi DAS yang dilakukan pun kami lihat belum tepat sasaran, karena seharusnya rehabilitasi DAS itu menjadi prioritas di wilayah yang diidentifikasi menjadi lahan kritis, itulah yang harus direhab dahulu,” sambungnya.
Tak hanya itu, Bayu menyebut upaya-upaya yang harus dilakukan dengan merehabilitasi DAS atau melakukan reklamasi itu juga masih banyak yang belum dilakukan. Hal ini berpengaruh besar terhadap fungsi DAS di Kalteng.
“Kalau kita identifikasi, dua DAS di Kalteng yang paling kritis adalah DAS Kahayan dan DAS Barito, dua DAS itu didominasi oleh aktivitas pertambangan batu bara dan perkebunan besar kelapa sawit,” tuturnya.
Kegiatan ekstraksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit, tutur Bayu, memperparah kerusakan di DAS. Dari kondisi itu dapat dilihat bahwa upaya rehabilitasi atau pemulihan fungsi DAS masih tidak sebanding dengan aktivitas eksploitasi SDA yang dilakukan.
“Upaya rehabilitasi DAS dan aktivitas ekstraksi seperti pembukaan hutan oleh sektor-sektor pertambangan dan perkebunan belum seimbang,” ucapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, kegiatan rehabilitasi DAS oleh perusahaan-perusahaan juga tidak dilakukan secara menyeluruh. Sebab, perusahaan-perusahaan hanya berfokus pada capaian penanaman. Bibit pohon diberikan kepada masyarakat, tetapi tidak ditentukan di mana tempat menanam yang tepat, serta tidak dilakukan pemeliharaan rutin terhadap bibit yang sudah ditanam.
“Jadi ada satu wilayah yang dikerjasamakan oleh pemerintah dengan warga desa, tetapi hanya memberikan bibit, tidak dipastikan proses rehab DAS berhasil atau tidak,” tandasnya.(ko)