kaltengonline.com – Konflik di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan berpotensi meletus lagi. PT Hamparan Marasawit Bangun Persada (HMBP) dinilai ingkar janji. Perusahaan kelapa sawit Grup Best Agro itu dituding tidak mau merealisasikan plasma yang menjadi tuntutan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat menolak mentah-mentah solusi awal yang ditawarkan perusahaan berupa pembagian sisa hasil usaha (SHU). PT HMBP telah menyerahkan SHU dari plasma seluas 443 hektare (ha) kepada Koperasi Maju Bersama Bangkal secara simbolis di Aula Kantor Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng, Selasa (5/12).
Pemerintah mengklaim penyerahan SHU itu merupakan solusi atas konflik berdarah yang terjadi di Desa Bangkal. Namun ditolak mentah-mentah oleh masyarakat. PT HMBP bahkan dinilai mengingkari janji awal terkait penyediaan kebun plasma. Masyarakat menolak pemberian plasma seluas 443 ha dalam bentuk SHU. Mereka menginginkan dalam bentuk kebun plasma.
Solusi yang dicanangkan oleh pemerintah dan pihak perusahaan itu dinilai tidak transparan dan diputuskan secara sepihak. Ini bagai api dalam sekam. Jika solusi yang diambil tidak transparan, maka konflik bisa saja meletus lagi. Perlu ada ruang dialog yang masif dan intens agar solusi yang diambil benar-benar adil.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo berpendapat, pada dasarnya masyarakat setempat memang menuntut agar perusahaan memberikan kebun di luar HGU milik PT HMBP. Penyelesaian atas konflik ini, ujar Achmad, tidak bisa sepihak. Harus transparan, sistematis, dan menyeluruh.
“Dalam hal ini pemerintah daerah seharusnya mengajak berdialog yang sebenarnya, dialog dari hati ke hati, bukan memaksakan solusi, karena nanti bisa timbul masalah lagi kalau tidak diselesaikan secara adil,” kata Achmad Surambo kepada Kalteng Pos, Rabu (6/12).
Pria yang akrab disapa Rambo itu mengatakan, pemerintah dan perusahaan perlu duduk bersama masyarakat, lalu menjelaskan sistem penyelesaian masalah yang dirancang. Ketika masyarakat meminta kebun dan direalisasikan oleh pemerintah, pemerintah harus menjelaskan dengan gamblang seperti apa mekanisme kebun itu.
“Kalau menurut model yang ada sekarang, biasanya diberikan dalam bentuk pola satu manajemen, satu kebun diurus oleh satu perusahaan, nanti masyarakat dapat hasilnya, skema itu yang kemungkinan ditawarkan,” kata Rambo.
Menurutnya, prasyarat agar solusi yang diambil bisa adil adalah harus ada musyawarah mufakat antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan. Solusi yang diambil jika masyarakat menuntut kebun adalah dengan pemberian lahan dengan luasan tertentu per kepala keluarga (KK).
“Misalnya tiap KK dapat 2 ha, dari situ diidentifikasi tiap orang dalam pembangunan kebun itu angka kreditnya seperti apa, itu harus clear sehingga masyarakat tahu jumlah kebun yang diberi, biasanya ada SK bupati terkait calon petani calon lahan (CPCL),” sebutnya.
Menurut Rambo, sebelum sampai ke solusi itu, terlebih dahulu perlu didata secara jelas warga yang berhak mendapatkan. Pendataan itu pun harus terbuka, sehingga warga tahu alasan dapat atau tidaknya pembagian plasma itu. Hal itu dapat meminimalkan potensi masalah yang bisa terjadi di kemudian hari.
“Kalau tidak transparan soal pendataan, penyelesaian, dan sistemnya, itu bisa memicu konflik lagi. Bahkan saya dengar di lokasi marak terjadi orang panen tandan buah segar (TBS), itu kan ekspresi atas ketidakpuasan masyarakat,” sebutnya.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera melaksanakan dialog terbuka demi mencapai musyawarah mufakat. Dengan begitu semua pihak bisa mengeluarkan unek-unek tanpa takut dan khawatir. Dalam prosesnya, pemerintah bisa menjelaskan aturan atau legalnya sehingga masyarakat paham dan mengerti.
“Penyelesaian masalah yang diambil sepihak dan cenderung dipaksakan, tidak akan menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan adalah masyarakat bisa paham dan mengerti, sehingga apa yang mereka inginkan itu sesuai dengan yang diharapkan, tanpa melanggar aturan,” tegasnya.
Harus diperjelas subjek masalah seperti apa, didata dengan baik warga yang menuntut, dan apa saja tuntutan mereka. Masyarakat menuntut agar plasma direalisasikan seluas 1.175 ha di luar HGU milik PT HMBP. “Harus dibuka semua dengan subjek dan objek yang sudah jelas, lalu sistem yang mau diberikan seperti apa,” tambahnya.
Berdasarkan hasil wawancara Kalteng Pos dengan sejumlah narasumber beberapa waktu lalu dan dimuat dalam berita-berita sebelumnya, masyarakat menuntut realisasi lahan plasma di luar HGU PT HMBP seluas 1.175 ha. Terbaru, pemerintah sudah mencanangkan solusi agar 443 ha dari 1.175 ha itu menjadi lahan plasma masyarakat yang dibagikan dalam bentuk SHU melalui koperasi. Sisanya, lahan seluas 732 ha belum bisa dikonversi menjadi plasma, mengingat statusnya masih berupa hutan produksi konversi (HPK). Saat ini lahan tersebut masih pada proses pengusulan izin ke Satgas Peningkatan Tata Kelola Kelapa Sawit.
Menurut Rambo, lahan seluas 732 ha itu bisa saja menjadi plasma setelah pelepasan status kawasan HPK. Prosesnya harus mengurus surat pelepasan kawasan hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.
“Lah wong kebun milik perusahaan berdasarkan UU Cipta Kerja aja bisa dilakukan pemutihan yang berdiri di atas kawasan hutan, masak yang sudah berkonflik begini enggak bisa, kan pemerintah harus membantu supaya ada solusinya,” tuturnya.
Jika memang benar status lahan itu HPK, maka bisa dilepaskan, tetapi perlu diurus dulu di KLHK RI. Perlu ada penurunan status dari HPK menjadi APL sampai akhirnya bisa dilepaskan lalu digarap dalam bentuk plasma.
“Tetapi prosesnya itu memang butuh waktu. Dari sinilah pemerintah harus terbuka. Kalau perlu undang orang dari KLHK untuk ngomong langsung dengan masyarakat ataupun media, menjelaskan perihal proses peralihan status itu, sehingga masyarakat dapat kepastian,” ujarnya.
Menurut Rambo, perlu dimaklumi bahwa proses pelepasan untuk lahan seluas 732 ha itu bertahap. Meski demikian, masyarakat butuh kepastian. Bukan hanya statement tanpa ada komitmen yang lebih terikat.