kaltengonline.com – Aksi penjarahan atau pencurian tandan buah segar (TBS) sawit masih marak terjadi di Kalteng. Teranyar, penjarahan dilakukan oleh sekelompok warga di kebun milik PT Mitra Karya Agroindo (MKA) dan PT Adi Tunggal Mahaja (ATM). Dua perusahaan besar swasta (PBS) tersebut beroperasi di wilayah Kabupaten Seruyan. Tindakan itu diduga buntut dari belum terealisasikan tuntutan masyarakat terhadap perusahaan terkait 20 persen plasma.
Dugaan mangkraknya penyelesaian plasma 20 persen dari PT MKA dan PT ATM di Kabupaten Seruyan memicu amarah sekelompok warga, hingga melakukan penjarahan TBS di kebun milik kedua perusahaan itu. Informasi yang didapati Kalteng Pos, peron-peron penampungan TBS di dalam dan di luar area perkebunan juga kerap terbukti menerima hasil buah curian.
Belum ada tindakan tegas dari pemerintah, baik berupa peringatan maupun sanksi pencabutan izin. Padahal, ketegasan pemerintah, dalam hal ini Pemkab Seruyan dinantikan, agar dapat menyelesaikan persoalan tersebut dengan baik.
Manajer Pengorganisasian dan Wilayah Kelola Rakyat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Igo berpendapat, terjadinya aksi penjarahan di kebun milik PT MKA dan PT ATM karena amarah masyarakat atas belum adanya realisasi kebun plasma oleh kedua perusahaan tersebut.
“Lagi-lagi terjadi di Kabupaten Seruyan, kami menyebut itu bukan penjarahan atau pencurian, tetapi bentuk amarah masyarakat karena hak atas plasma belum terpenuhi oleh perusahaan,” kata Igo kepada Kalteng Pos, Selasa (2/1).
Dari berbagai kasus yang marak terjadi belakangan, pihaknya menyimpulkan Kabupaten Seruyan merupakan daerah yang paling banyak terjadi konflik agraria. Ada banyak perusahaan yang belum memenuhi kewajiban plasma kepada masyarakat. Pihaknya juga mempertanyakan kewajiban dari pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan itu.
“Pemkab Seruyan jangan membiarkan hal-hal seperti ini terus terjadi. Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran sempat mengatakan, jika perusahaan tidak merealisasikan plasma, maka izinnya dicabut. Namun sampai saat ini masih ada perusahaan yang belum merealisasikan itu,” ujarnya.
Walhi Kalteng menekankan adanya evaluasi besar-besaran terhadap perizinan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalteng, khususnya Seruyan. Hal itu penting dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih besar. Peristiwa meninggalnya satu warga di Desa Bangkal dalam rangkaian peristiwa konflik agraria, seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk lebih serius menangani kasus perkebunan.
“Kami berharap pemerintah serius dalam mengawal kehadiran investasi perkebunan di Kalteng, karena sudah ada warga yang menjadi korban dari kehadiran investasi itu,” katanya.
Igo lantas mempertanyakan tujuan dari investasi perkebunan di Kalteng. Kalau kehadiran investasi benar-benar menyejahterakan masyarakat, maka investasi adalah hal baik. Namun jika justru menimbulkan konflik seperti yang terjadi dewasa ini, maka pola investasi patut dipertanyakan.
“Jika memang tidak ada niat baik dari pihak perusahaan untuk merealisasikan plasma, maka izin perusahaan bersangkutan perlu dicabut, karena kewajiban mereka kepada masyarakat tidak dipenuhi, apalagi kewajiban-kewajiban lain,” kata Igo.
Sekali lagi ia menegaskan, kasus yang terjadi dewasa ini bukanlah pencurian massal atau penjarahan, melainkan masyarakat ingin menuntut kewajiban perusahaan.
“Ini kasus yang sudah lama dan berlarut-larut, harus segera diselesaikan. Jangan sampai ada lagi perpecahan seperti di Bangkal,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho Waluyo berpendapat, konflik perkebunan di Kalteng, khususnya yang terjadi di PT MKA dan PT ATM, merupakan sebuah fenomena bola salju, yang mana makin hari akan makin membesar gelinding persoalannya. Harus dilihat akar permasalahannya, sehingga tidak hanya daun-daun berguguran yang diurusi.
“Secara fakta sudah berapa persen kewajiban plasma terealisasi di Kalteng dari hitungan 20 persen. Jika itu belum terealisasi, maka masalah akan selalu ada di kemudian hari. Dari awal Pemda Kalteng, tidak hanya Seruyan, seolah-olah tidak serius menangani persoalan ini,” ungkapnya kepada Kalteng Pos, Selasa (2/1).
Aryo mengatakan, tuntutan plasma merupakan ekspresi masyarakat menuntut hak mereka. Sudah sering disampaikan Gubernur Kalteng, perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban plasma, maka sebaiknya dicabut perizinannya. Pernyataan itu membuat motivasi warga bertambah. Apalagi kewajiban plasma telah diatur dalam Perda Nomor 5 tahun 2011 tentang Perkebunan Berkelanjutan.
“Ini masalah besar, tetapi hanya membuat edaran untuk veron, ini kan seolah mensimplikasi masalah, atau memang pemda tidak mau bekerja. Apakah harus nunggu ada korban lagi seperti di Desa Bangkal, barulah bergerak serius,” ujarnya.
Menurut Aryo, baru-baru ini warga menurut pihaknya untuk melakukan pembangkangan hukum. Hal itu disinyalir karena warga sudah tidak percaya lagi dengan penegakan hukum yang seolah-olah selalu tidak adil kepada mereka. Warga juga, ujar Aryo, mulai kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dalam menyelesaikan problem-problem pokok di tengah masyarakat.
“Masalah pencurian buah sawit di lokasi perusahaan tidak hanya terjadi dalam beberapa bulan terkahir, tetapi sudah sejak lama, sehingga tidak perlu dibesar-besarkan,” ujarnya.
Hingga berita ini naik cetak, belum ada keterangan resmi dari pihak perusahaan, aparat, dan pihak pemerintah mengenai aksi penjarahan yang menjadi sorotan para pegiat lingkungan. (dan/ce/ala/ko)