kaltengonline.com – Perekrutan pengawas tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di 14 kabupaten/kota di Kalteng belum memenuhi kuota yang dibutuhkan. Padahal prosesnya telah dilakukan sebanyak dua kali dengan adanya waktu perpanjangan. Syarat batas usia menjadi salah satu kendala yang menjadi pemicu belum terpenuhinya kuota pengawas di ratusan TPS yang ada se-Kalteng.
Hingga saat ini masih ada 307 TPS yang tanpa pengawas dari total keseluruhan 7.830 TPS. Adapun 10 kabupaten yang belum terpenuhi, yakni Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Kapuas, Katingan, Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Murung Raya, Seruyan, dan Pulang Pisau.
Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Provinsi Kalteng, Kristaten Jon saat ditemui Kalteng Pos menuturkan, hingga saat ini pihaknya masih menunggu surat keputusan dari Bawaslu RI mengenai penurunan syarat minimal usia untuk perekrutan pengawas TPS. Selain terhalang syarat minimal usia dan pendidikan, Bawaslu juga menghadapi beberapa kendala lain.
“Di daerah tertentu seperti Seruyan, pasca konflik kemarin itu peminatnya rendah. Mungkin ada kekhawatiran tersendiri untuk daftar menjadi pengawas TPS. Selain itu karena tingkat kesibukan masyarakat yang tinggi,” tandasnya.
Bawaslu membuka waktu pendaftaran PTPS lebih lambat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merekrut kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Otomatis sudah banyak warga yang telah mendaftar menjadi anggota KPPS. Sedangkan sumber daya manusia (SDM) di tempat tertentu seperti di desa-desa, umumnya pendidikan tertinggi warga adalah SMA dan yang berusia 21 tahun sangat terbatas jumlahnya. Kemudian ada juga beberapa pendaftar yang jumlahnya cukup banyak, ternyata terdaftar sebagai anggota atau pengurus partai politik. Otomatis tidak dibolehkan.
Pelantikan pengurus TPS akan dijadwalkan tanggal 22 Januari mendatang. Disampaikan Kristaten, apabila setelah tanggal tersebut masih terdapat TPS yang tanpa pangawas, maka akan dibuka kembali pendaftaran khusus pada awal Februari nanti. Namun, perihal pendaftaran khusus itu masih digodog oleh Bawaslu RI.
“Kami akan lantik yang ada dulu pada tanggal 22 Januari. Sisanya mungkin akan kami buka perekrutan kembali awal Februari. Namun soal ini masih akan dibahas lagi, khusunya terkait persyaratan usia dan pendidikan yang menjadi kendala utama. Di sisi lain, faktor belum terpehuhinya kuota pengawas TPS di Kalteng adalah karena rendahnya intensif atau honor bagi pengawas TPS. Sampai saat ini kami belum menerima laporan dan omongan soal itu. Honor yang disediakan bagi pengawas sekitar Rp750 ribu – 1 juta, dirasa sesuai saja,” terangnya.
Seluruh syarat yang diberlakukan bagi pengawas TPS tertuang dalam undang-undang, sehingga Bawaslu Kalteng tidak berhak melakukan perubahan. Pada dasarnya pun tidak bisa dilakukan pengecualian dengan syarat tersebut. Namun melihat situasi dan kondisi lapangan, bisa saja dilakukan pengecualian. Namun Bawaslu RI harus berkoordinasi dahulu dengan mitra kerjanya di DPR RI, yakni Komisi II.
Selanjutnya, apabila setelah awal Februari nanti tetap ada TPS yang kosong pengawas, barulah Bawaslu Kalteng akan melakukan upaya penawaran kepada pengawas TPS di desa terdekat yang kuotanya lebih, agar bisa ditempatkan di TPS yang masih belum punya pengawas. JIka belum juga terpenuhi, maka langkah terakhir adalah meminta pengawas kecamatan untuk menugaskan pengawas kelurahan/desa dan ditempatkan di TPS yang nihil pengawas.
Berkaca dari pemilu 2019 lalu, Kristaten menyampaikan, kendala yang dihadapi dalam merekrut pengawas TPS hampir sama, yakni minimal usia dan pendidikan. Bahkan pada pemilu sebelumnya, batas minimal usia yang ditetapkan untuk pengawas yakni 25 tahun.
Setelah itu Bawaslu mengusulkan revisi mengenai syarat tersebut, hingga diputuskanlah syarat minimal berusia 21 tahun, tetapi dengan kualifikasi pendidikan minimal SMA. Pada akhirnya langkah yang dilakukan Bawaslu Kalteng saat itu diyakni sebagai skema penawaran bagi pengawas TPS yang melebihi kuota di desa terdekat untuk ditempatkan di TPS yang kosong. Namun bagi TPS yang masih kosong, dilakukan penugasan bagi pengawas kelurahan/desa atau staf pengawas kecamatan.
Ketua DPD Partai Hanura Provinsi Kalimantan Tengah, Heriadi ST turut bersuara mengenai hal itu. Menurutnya, mengumpulkan pengawas di TPS memang merupakan tugas yang berat. Terlebih dalam merekrut pengawas TPS harus benar-benar orang yang mampu mengatasi atau mengawasi terjadinya kecurangan. Dengan syarat yang ada saat ini, perihal minimal usia dan pendidikan, tentu akan makin menyulitkan masyarakat yang tinggal di wilayah perdesaan dan pelosok.
“Selain syarat minimal usia dan pendidikan, syarat-syarat lain juga mungkin menjadi pertimbangan bagi masyarakat untuk mendaftar sebagai pengawas TPS. Sehingga pada waktunya nanti, saya pikir akan cukup berat untuk memenuhi seluruh kuota TPS yang ada di Kalteng ini jika Bawaslu masih menerapkan syarat-syarat itu. Berbicara tentang insentif atau honor yang mereka terima, saya pikir nilai itu masih masuk akal,” ucapnya saat dihubungi Kalteng Pos, Senin (15/1).
Oleh sebab itu, menurutnya perekrutan pengawas TPS sebaiknya tidak menggunakan syarat-syarat yang terlalu memberatkan, terutama untuk wilayah perdesaan dan pelosok. Pasalnya, masyarakat di perdesaan umumnya hanya merupakan lulusan SMP, tetapi diyakini memiliki pengetahuan dan kecakapan yang cukup untuk menjadi pengawas TPS. Begitu pun dengan pemberlakuan syarat usia. Menurut Heriadi, syarat seperti itu tidak menjadi masalah untuk wilayah perkotaan, tetapi akan menjadi problum untuk wilayah perdesaan yang jumlah penduduknya sedikit. (ovi/ce/ala/ko)