SAMPIT – Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tidak mempunyai izin hak guna usaha (HGU) menjadi perhatian serius Satuan Tugas (Satgas) Garuda dari Kementerian Kehutanan. Ketua DPRD Kotim Rimbun, menyebut ada 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tidak memiliki izin HGU. Salah satunya adalah enam anak perusahaan PT Makin Group.
“Ada banyak perusahaan di Kotim yang tidak punya HGU. Nanti akan saya share data dan nama-nama perusahan ke rekan-rekan media melalui WhatsApp,” ucap Rimbun, belum lama ini.
Dari data didapatkan, ada enam anak perusahaan di bawah bendera Makin group yang diduga tidak memiliki izin HGU. Keenam perusahaan itu adalah PT Wanayasa Kahuripan Indonesia dengan luas 1.500 hektare (ha), PT Mukti Sawit Kahuripan dengan luas lahan 2.830,35 ha, PT Surya Inti Sawit Kahuripan seluas 1.311,21 ha, PT Buana Artha Sejahtera dengan luas 14.300 ha, PT Agro Karya Prima Lestari dengan luas 22.300 ha, dan PT Buana Adhitama dengan luas total 24.300 ha.
Akibat tidak memiliki izin HGU, maka pemerintah daerah tidak memperoleh bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar ratusan miliar. Hal itu pula juga berdampak pada pemaksimalan potensi pendapatan asli daerah (PAD).
“Angka sebesar itu bukanlah jumlah yang bisa dibiarkan begitu saja. Jika bisa dimanfaatkan, dana tersebut sangat berharga bagi program pembangunan di Kotim, apalagi di tengah kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat,” kata Rimbun.
Secara tegas ia meminta pemerintah kabupaten, provinsi, maupun pusat untuk membantu penyelesaian masalah perusahaan yang tidak memiliki HGU.
“HGU itu penting, bukan hanya sebagai bentuk legalitas, tetapi juga kontribusi nyata terhadap pembangunan daerah,” ucapnya.
Rimbun mengakui, peraturan yang sering berubah dapat menjadi tantangan dalam proses pengurusan HGU. Meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, memungkinkan PBS tetap beroperasi meski belum memiliki HGU, tetapi ia menekankan bahwa hal ini tidak boleh menjadi alasan perusahaan untuk menunda pemenuhan kewajiban.
“Perusahaan besar harus bisa menunjukkan komitmen dan keseriusan mereka terhadap daerah. Jangan biarkan ketidakteraturan dalam administrasi ini terus berlanjut, karena hanya akan merugikan daerah,” tandasnya.
Selain itu, tumpang tindih aturan di lapangan tak seharusnya menjadi alasan bagi perusahaan besar swasta (PBS) untuk menunda pengurusan HGU. Keengganan perusahaan-perusahaan besar untuk mengurus HGU, justru berpotensi merugikan daerah dalam jangka panjang.
“Jangan hanya mengantongi IUP dan merasa cukup untuk terus beroperasi. HGU itu penting, bukan hanya sebagai bentuk legalitas, tetapi juga kontribusi nyata terhadap pembangunan daerah,” katanya.
Oleh karena itu, Rimbun meminta pemerintah daerah segera bertindak tegas. Pihaknya siap mengambil langkah untuk memastikan perusahaan-perusahaan memenuhi kewajiban mereka dalam mengurus izin HGU.
“Kami akan terus mengawasi dan mendorong agar perusahaan-perusahaan besar ini mematuhi aturan yang berlaku. Kami siap turun tangan untuk memastikan masalah ini diselesaikan demi kebaikan daerah,” pungkasnya. (mif/ko)