Kabupaten Induk Penopang Perekonomian

by
by
Eko Marsoro Kepala BPS Kalteng

PALANGKA RAYA-Sejarah terbentuknya kabupaten/kota di Kalteng tidak lepas dari berdirinya Provinsi Kalteng yang saat itu hanya memiliki tiga kabupaten. Yakni Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito dan Kabupaten Kotawaringin. Selanjutnya tiga kabupaten ini dimekarkan menjadi lima kabupaten yaitu Kabupaten Barito Utara, Barito Selatan, Kapuas, Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat.

Seiring berjalannya waktu, lima kabupaten kembali dimekarkan menjadi 13 kabupaten dan satu kota pada 2 Juli 2002. Ada delapan kabupaten baru. Kabupaten Katingan, Seruyan, Sukamara, Lamandau, Gunung Mas, Pulang Pisau, Murung Raya dan Barito Timur. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng menilai bahwa daerah-daerah yang dimekarkan cukup mengalami perkembangan dan peningkatan yang signifikan, pascadimekarkan lebih dari dua puluh tahun lamanya.

Kepala BPS Kalteng Eko Marsoro mengatakan, pascapemekaran pada 2002 lalu seluruh kabupaten yang dimekarkan mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Meski secara umum perekonomian Kalteng masih ditopang oleh kabupaten induk seperti Kota Palangka Raya, Kotim, Kobar dan Kapuas.

“Kami melihat memang semua daerah di Kalteng mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, karena salah satu tujuan pemekaran daerah yakni untuk meratakan pembangunan, kelihatannya memang ada dampaknya daripada pemekaran itu,” kata Eko saat dihubungi, Jumat (28/4).

Meski penopang perekonomian masih didominasi kabupaten induk, namun kabupaten yang dimekarkan bisa mengikuti dengan baik. Terbukti dari data perekonomian hingga indeks pembangunan manusia (IPM) di Kalteng secara keseluruhan sudah cukup bagus.

“Artinya hasil dari pemekaran daerah semuanya bisa berkembang, pertumbuhan ekonomi daerah di Kalteng tidak ada yang negatif dan IPM selalu meningkat, hal ini menunjukkan bahwa daerah itu berkembang,” tegasnya.

Namun, lanjut Eko, memang daerah-daerah pemekaran ini berada jauh di pusat kota, sehingga perkembangannya tidak dapat disamakan dengan kabupaten yang dekat dengan ibukota atau disamakan dengan kabupaten induk. Daerah pemekaran baru tentu dari segi infrastruktur masih tidak sebagus kabupaten induk.

“Daerah baru itu selama tiga tahun APBD harus dibiayai kabupaten induk, dengan demikian menjadikan suatu daerah bisa menjadi mandiri itu tidak dapat ditentukan waktunya,” tegasnya.

Lantaran, suatu pemekaran daerah memiliki rentan waktu masing-masing untuk menjadikan daerah itu mandiri. Bahkan, antar kabupaten yang sama-sama dimekarkan pun juga tidak dapat disamakan.

“Tentu daerah pemekaran yang lebih dekat dengan pusat kota perkembangannya akan lebih cepat daripada kabupaten pemekaran yang jauh dari pusat kota,” tutupnya.

Sementara itu, Pemerhati ekonomi di Bumi Tambun Bungai, Dr Fitria Husnatarina SE MSi mengatakan, perkembangan otda di Kalteng tidak lepas dari sejumlah indikator penilaian, seperti bagaimana kesejahteraan masyarakat, bagaimana aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan, perkembangan ekonomi, dan sejumlah indikator spesifik lainnya yang dapat memperlihatkan potensi sesuai dengan konteks Kalteng.

“Kalau dikatakan bahwa ada stagnasi kemajuan otonomi daerah, tentu saja, sama seperti daerah-daerah lainnya, kita perlu melihat kemandekan itu dari bentang alam daerah kita, bentang populasi masyarakat dari teknologi dan ekonominya, dan kapasitas serta aturan-aturan yang diberlakukan dalam konteks Kalteng sendiri,” jelas Fitria kepada Kalteng Pos, Jumat (28/4).

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR) ini menjelaskan, dalam perjalannya, pemerintah perlu membuat visi bersama agar pembangunan dapat berjalan sejalan demi menyasar tujuan pembangunan Kalteng, yakni menggali potensi yang ada, namun, menurut Fitria, upaya itu pun hingga saat ini masih belum optimal.

“14 kabupaten dan kota di Kalteng ini masing-masing masih bergerak dengan visi dan misi tersendiri yang kemudian menyebabkan pembangunan Kalteng secara luas tidak terintegrasi, itu juga menjadi kendala, saya pikir pemerintah sudah berupaya ke sana, tapi masih memerlukan waktu yang tidak sebentar,” tuturnya.

Ia mengakui memaksimalkan kebijakan otda di Kalteng memang tidak mudah. Menurutnya, kebijakan otda di Kalteng saat ini memang masih belum dikatakan berjalan dengan baik karena, tak bisa dipungkiri, kondisi geografis dan faktor eksternal lainnya. Untuk itu, lanjutnya, pemerintah perlu melihat faktor-faktor esensial dari kapasitas hidup masyarakat Kalteng agar dapat dioptimalkan sebagai arus utama kebijakan.

“Bagaimana secara individual masyarakat Kalteng itu dapat diupgrade tingkat pendidikannya, lalu keterampilan penduduk usia produktif agar dapat bekerja, dan pekerjaan itu tidak sebatas pegawai negeri saja, melainkan lebih beragam lagi, lalu tingkat kesehatan, saya kira hal-hal ini yang perlu dioptimalkan manajerialnya agar semakin memperkuat otda,” terangnya.

Menurut Fitria, poin penting yang musti diperhatikan oleh pemerintah untuk memaksimalkan kebijakan otda adalah dengan memperbaiki pola manajerial yang diterapkan. Bukan hanya itu, sejumlah perangkat daerah yang memegang peran dalam manajerial harus lebih independen dari yang sebelumnya mengambil kebijakan yang sentralistik, seperti harus berkoordinasi dengan pusat. Menurutnya, pemerintah daerah seyogyanya bisa lebih independen dan fleksibel lalu mampu untuk menentukan progran-program strategis berlandaskan kemandirian pemerintahan dalam wilayah Kalteng.

“Otda itu kan mencerminkan bagaimana fleksibilitas pengelolaan pemerintahan dan aktivitas serta atribut-atribut di dalamnya dengan sebaik mungkin, yang diperhatikan dalam hal itu adalah bagaimana pola manajerial, bagaimana menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan perbaikan mindset pemerintahan itu agar dapat mengakomodasi kebutuhan segenap elemen masyarakat,” jelasnya.

Kebijakan otonomi daerah menjadi penting untuk memberikan kesempatan bagi suatu daerah dalam upaya membangun wilayahnya. Di dalamnya diperlukan faktor-faktor kemandirian suatu daerah dan fleksibilitas kebijakan yang mencerminkan cara mereka untuk menjadi daerah independen.

“Otda ini kesempatan untuk memaksimalkan potensi-potensi daerah, agar daerah kemudian mengembangkan infrastruktur dan nilai-nilai kedaerahannya agar mencerminkan nilai-nilai otentik dari setiap daerah, otda membuka peluang untuk itu, karena daerah itu sendirilah yang paham kondisi wilayahnya,”ucapnya.

Merunut dari kondisi ini, Fitria menyebut pemerintah perlu membuat cetak biru (grand design) pembangunan berjangka, meliputi visi pembangunan jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang yang dipertimbangkan berdasarkan identifikasi mendetail akan berbagai potensi yang dimiliki oleh daerah dan terintegrasi dengan daerah kabupaten dan kota se-Kalteng.

“Kalau kita punya cetak biru, semacam visi pembangunan yang di dalamnya terdapat tujuan-tujuan pembangunan yang terintegrasi dan berjangka di dalamnya, lalu konsisten di melakukannya, maka itu harus difokuskan,” tandasnya.

Sebelumnya, Wagub Kalteng H Edy Pratowo pada peringatan Hari Otda XXVII tahun 2023 mengingatkan kepada seluruh ASN Pemprov Kalteng dapat terus meningkatkan kapasitas diri untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat, dengan mengedepankan nilai dasar ASN berorientasi pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif (BeraAkhlak). Hal tersebut tentunya sejalan dengan semangat Otda yang bertujuan untuk mendorong peningkatan pelayanan publik, percepatan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan seluruh masyarakat di daerah.

“Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan bentuk pengakuan pemerintah pusat terhadap kemandirian daerah,” ungkap Wagub.

“Untuk mendekatkan layanan kepada masyarakat, dan meningkatkan daya saing daerah melalui pemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya. (abw/dan/ala/ko)

Leave a Reply