Anemia pada ibu hamil masih mengancam bagi kesehatan ibu dan anak. Data hasil survei menunjukkan terjadi peningkatan dari tahun 2013 sebesar 37,1% dan pada tahun 2018 menjadi 48,9% (Riskesdas 2013, 2018). Bagaimana seorang ibu hamil dikatakan mengalami anemia?? Ibu hamil yang anemia mengeluh lesu, lelah, lemah lunglai, kelopak mata pucat, pusing, mata berkunang-kunang dan ditunjang dengan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) <11% atau sel darah merah lebih rendah dari standar (Kemenkes, 2020). Mencermati laporan data kejadian anemia yang terjadi di Indonesia, kasus anemia pada ibu hamil masih harus menjadi perhatian bersama, utamanya berdampak dalam meningkatkan risiko komplikasi pada kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
Komplikasi anemia pada ibu berkontribusi diantaranya meningkatkan tingginya angka kejadian perdarahan, dan infeksi pada ibu setelah persalinan. Jika tidak tertangani dengan baik akan meningkatkan kematian pada ibu dan anak. Selain itu, ibu hamil yang mengalami anemia meningkatkan risiko melahirkan anak pendek tidak sesuai dengan umurnya atau dikenal dengan istilah STUNTING pada anak. Anak yang stunting adalah manifestasi paling umum dari kekurangan gizi kronis dan merujuk pada kondisi ukuran tubuh anak yang pendek untuk usianya (Rabaoarisoa et al., 2017; Wahyuningsih et al., 2022). Hal ini disebabkan oleh banyak faktor seperti sosial-ekonomi, kekurangan makanan, sanitasi yang buruk, tidak tersedianya air bersih, akses yang sulit terhadap layanan kesehatan dan perilaku kesehatan lainnya (Rizal & van Doorslaer, 2019; Torlesse et al., 2016).
Banyaknya kasus anemia pada ibu hamil, salah satunya disebabkan kekurangan zat besi (Oktaviani, 2018). Data menyampaikan 98% ibu hamil yang mengalami anemia disebabkan masih belum minum tablet tambah darah dalam jumlah yang cukup, padahal ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi tablet tambah darah (TTD) minimal 90 tablet (Riskesdas, 2018). Kementerian Kesehatan mencatat, cakupan pemberian TTD pada ibu hamil di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 84,2%. Namun, yang menjadi kendala, kenyataan di lahan tidak berbanding lurus dengan penurunan dan kenaikan anemia pada ibu hamil (Natalia et al., 2017). Hasil ini disebabkan antara lain karena ibu hamil tidak menyadari bahwa mereka berisiko jika mengalami anemia (Siekmans, et al., 2018) serta ketidakpatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet tambah darah. Berkenaan dengan masih rendahnya kepatuhan ibu hamil dalam minum tablet tambah darah, ada beberapa alasan yang membuat ibu hamil enggan untuk mengkonsumsi tablet tambah darah yang diberikan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan anjuran program yakni “tablet tambah darah diminum saat darah rendah, kalo kebanyakan entar darah tinggi” (Margirizki, 2019). Alasan lain menyatakan 20% ibu hamil merasa tidak perlu, ada juga 19% ibu mengatakan lupa dan 9% ibu hamil takut efek samping dari tablet tambah darah tersebut (Direktorat Gizi Masyarakat, 2021).
Upaya Pemerintah sebagai penanggulangan masalah anemia pada ibu hamil dilakukan dengan pembagian tablet tambah darah atau tablet zat besi. Kebijakan pemerintah dalam pemberian tablet tambah darah untuk ibu hamil ini tertuang dalam kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2014, standar tablet tambah darah bagi Wanita usia subur dan ibu hamil. Selain itu, kebijakan standar pemberian tablet tambah darah ini juga tertuang pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 tahun 2020 tentang Strategi Kementerian Kesehatan tahun 2020-2024. Beberapa program yang terintegrasi dalam pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil pada program pelaksanaan ANC, kelas ibu hamil, program stiker pemantauan minum TTD 90 tablet. Kemudian, selama masa pembatasan social skala besar atau social distancing, pada mana akses layanan terbatas, bagi tenaga kesehatan diberikan Pedoman Pemberian Tablet Tambah Darah bagi ibu hamil pada masa pandemic covid 19 tahun 2020.
Berdasar data yang disampaikan dari hasil survei, perlu menjadi perhatian adalah bagaimana implementasi kebijakan program yang telah berjalan. Hal ini juga menggambarkan bahwa yang harus dipastikan pada ibu hamil selain memberikan tablet tambah darah adalah memastikan apakah obat yang diberikan oleh petugas kesehatan dikonsumsi dengan teratur atau tidak. Salah satu pendekatan yang paling memungkinkan untuk pencegahan anemia dan komplikasinya adalah bekerja bersama dengan masyarakat. Ini dikenal sebagai partisipasi masyarakat (community participation). Partisipasi masyarakat bahkan dicanangkan sebagai salah satu pilar dalam layanan kesehatan primer di wilayah pedesaan (Mishra et al., 2022). Istilah partisipasi masyarakat bidang kesehatan, dalam perkembangannya banyak mengalami penyesuaian berdasarkan tujuan dan intervensi spesifik yang dilakukan. Beberapa istilah tersebut adalah intervensi berbasis masyarakat (community-based intervention) dan mobilisasi masyarakat (community mobilization). Namun, menjadi satu catatan penting adalah bagaimana mekanisme pelaksanaan partisipasi tersebut. Beberapa penelitian menyampaikan kelompok perempuan yang menggunakan metode pendekatan partisipasi masyarakat menurunkan kematian negara berpenghasilan rendah di India (Tripathy et al., 2016). Selain itu, pendekatan partisipasi masyarakat pada kelompok perempuan dapat meningkatan perilaku kunci dalam praktik menurunkan kematian neonatal melalui perilaku perawatan dan praktik di rumah setelah persalinan (Seward et al., 2017). Penelitian di Bangladesh juga melaporkan dengan partisipasi masyarakat ada peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga tentang perawatan kesehatan perempuan untuk meningkatkan kesehatannya (Harris-Fry et al., 2016). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pelaksanaan mobilisasi masyarakat melalui pendekatan partisipasi masyarakat pada perempuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir khususnya lingkungan pedesaan yang mengalami rendahnya akses terhadap layanan kesehatan (WHO, 2014). Lebih lanjut, dengan partisipasi masyarakat dapat meningkatkan dalam pengetahuan perempuan tentang cara mencegah dan mengobati infeksi menular seksual dan gizi yang baik serta pencegahan anemia (Helen, 2015). Namun, tentu saja implementasi partisipasi masyarakat dalam konteks pendampingan, masih menemui banyak kendala. Tim peneliti Pusat Riset Kependudukan dan Hukum-BRIN, melaporkan hasil penelitian tahun 2022, bahwa salah satu kendala yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat adalah kurangnya pemahaman mengenai substansi pendampingan keluarga berisiko, dalam hal ini tim menfokuskan pada faktor risiko stunting.
Menyikapi hal tersebut, menurut pandangan penulis sebagai alternatif upaya penguatan untuk mencegah peningkatan anemia pada ibu hamil harus memperhatikan: aspek budaya. Pernyataan ini muncul karena diduga pendekatan yang saat ini dikembangkan bersifat umum dan tidak spesifik terhadap adat istiadat dan kelompok etnis. Ini mengakibatkan pendekatan menjadi tidak tepat sasaran, secara khusus dalam konteks perilaku kesehatan (Chikhungu et al., 2014). Ketidaktepatan sasaran akan sangat berdampak kepada masyarakat. Sebagai contoh, menjadi tidak mungkin untuk membantu keluarga mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk memberikan perawatan, nutrisi, dan kebersihan bagi bayi, jika dalam penyampaian tidak memperhatikan keunikan suatu daerah. Budaya memiliki cara terapi yang unik, berlaku di suku tertentu. Cara pendekatan ini memiliki kapasitas yang baik untuk mempengaruhi perilaku, terlebih untuk mencegah perkembangan penyakit metabolik di kemudian hari. Dengan demikian, intervensi spesifik yang sesuai dengan budaya lokal sangat dibutuhkan. Kedua, penguatan partisipasi masyarakat melalui pendampingan oleh kader kesehatan dapat dilakukan melalui pelatihan termasuk didalamnya penguasaan komunikasi perubahan perilaku, kunjungan rumah (home-visit), pencatatan data sehingga anggota masyakat yang terlatih tersebut dapat menjadi mitra nakes dalam menjembatani kebijakan di bidang kesehatan sampai pada akar rumput, secara benar dan bersinambungan.
Pertanyaan besarnya adalah jika pendampingan dan partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan menemui tembok tebal akibat ketidakpahaman substansi pendampingan dan faktor non-teknis lain seperti besaran honorarium, kewenangan terhadap data yang dikumpulkan (data pooling and analysis), mungkinkah dapat diwujudkan? Mari kita bersama renungkan.
Penulis : Oktaviani
Penulis adalah mahasiswa Program Studi S3 Kesehatan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Dosen Jurusan Kebidanan di Poltekkes Kemenkes Palangka Raya.