
Oleh: Hanief Monady
PERGI Haji adalah berkunjung ke tanah Suci, untuk melaksanakan serangkaian amal ibadah sesuai dengan syarat rukun yang telah ditentukan Ibadah Haji merupakan rukun Islam yang kelima. Ditetapkan sebagai kewajiban sejak tahun ke5 Hijriah bagi orangorang yang mampu dan kuasa.
Allah SWT berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 97, “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yakni bagi orang yang mampu/kuasa mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban Haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” Pengertian mampu dan kuasa yaitu mempunyai bekal yang cukup untuk pergi dan bekal bagi keluarga yang ditinggalkannya. Ibadah haji sendiri memiliki enam rukun yakni yaitu menggunakan Ihram, Wukuf di Arafah, Tawaf, Sa’i, mencukur atau menggunting rambut, dan tertib.
Terkait dengan ibadah haji ini, di dalam masyarakat kita sering terjadi kekeliruan pemahaman. Sebagian masyarakat meyakini bahwa dengan berulang kali pergi beribadah haji dan umrah, maka dianggap semakin tinggi pula tingkat kesalehan dan ketakwaannya. Dari tinjauan sosiologis, kecenderungan ini memang diakui sebagai salah satu gejala dari struktur sosial masyarakat. Jika dalam sebuah masyarakat terdapat seperangkat nilai yang dianggap sebagai sebuah kebanggaan, maka dengan sendirinya mereka akan bersaing untuk mencapainya. Status sosial dan simbolnya yang disertakan, maka membuat seseorang akan mendapatkan pengakuan dan posisi dalam struktur sosial. Posisi ini akan terkait erat dengan penghargaan dan penerimaan masyarakat. Simbolisasi umrah dan haji menimbulkan berbagai permasalahan misalnya menambah panjangnya antrian haji.
Pemaknaan ibadah Haji ini sudah saatnya diluruskan. Ibadah Haji adalah safar ruhani menuju Allah SWT. sebagai tamu Allah SWT, harus menjaga adab-adab batiniyah. Makna prosesi haji sedemikian indah dan sangat dalam maknanya, sebagaimana nasehat seorang sufi, Imam Al Junaid. Dalam sebuah kisah, suatu ketika, seorang lelaki datang kepada Imam Al Junaid, beliau bertanya, “Dari manakah engkau?”, lelaki itu menjawab, “Aku baru saja melakukan ibadah haji.” Imam Al Junaid kemudian bertanya lagi, “Pada saat engkau melangkahkan kaki meninggalkan rumahmu, apakah engkau juga telah meninggalkan semua dosamu?”, “Tidak”, jawab lelaki itu. Imam Al Junaid berkata, “Berarti engkau ‘tidak mengadakan perjalanan’”.
Pakaian ihram yang berwarna putih berarti menanggalkan semua perbedaan serta menghapus segala keangkuhan yang ditimbulkan dari status sosial. Dalam keadaan demikian, maka seorang hamba menghadap Allah SWT pada saat kematiannya. Sebab ibadah haji adalah simbol dari pulang kepada Allah, Tuhan Yang Maha Mutlak yang tidak memiliki keterbatasan. Thawaf dan Sa’i pada hakikatnya menirukan gerakan seluruh alam raya. Sebagai tanda ketundukan seluruh alam kepada sang Khalik dan kepasrahan dalam hasil setelah berusaha secara maksimal. Wukuf bermakna manusia harus mengistirahatkan tenaga dan pikirannya dari aktivitas duniawi dengan melakukan muhasabah dan bertafakkur kepada Allah. Arafah sendiri bermakna pengakuan dan pengenalan. Seorang hamba di Arafah harus menemukan ma’rifah pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanannya, menyadari keagungan Tuhan, menyadari kesalahan-kesalahannya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Kesadaran ini yang mengantarkan untuk menjadi ‘Arif (sadar) dan mengetahui.
Kisah Imam Al Junaid kemudian dilanjutkan, “Ketika engkau pergi ke Muzdalifah setelah mencapai keinginanmu, apakah engkau sudah meniadakan semua hawa nafsumu?”, “Tidak.” “Berarti engkau tidak pernah pergi ke Muzdalifah.” Saat di Muzdalifah, redamlah semua hawa nafsumu, akuilah segala kesalahanan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. kemudian mengumpulkan senjata untuk menghadapi musuh utama manusia yaitu Setan. “Saat engkau datang ke Mina, apakah semua keinginanmu sirna?” “Tidak,” “Berarti engkau belum pernah mengunjungi Mina.”. “Ketika engkau sampai di tempat penyembelihan dan melakukan kurban, apakah engkau telah mengurbankan segala hawa nafsumu” “Tidak” “Berarti engkau tidak berkurban.” Dengan penyembelihan kurban, maka umat muslim disadarkan kembali untuk selalu membangkitkan kekuatan Rabbaniyah, yaitu merobohkan hawa nafsu, maka akan tampak keindahan Allah SWT, dan makin besar kerinduan kepada-Nya, maka akan semakin dekat dia di sisi-Nya. Kurban adalah usaha totalitas dalam penyerahan diri, sebagai upaya dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT yang diiringi dengan sikap tawakkal.
Pada hakikatnya, ibadah haji adalah sebuah mujahadah, upaya yang sungguh-sungguh untuk memperoleh kesadaran musyahadah, bersaksi kepada Allah SWT, yakni proses kegigihan seorang hamba mengunjungi Baitullah sebagai media dan upaya bertemu dengan Allah SWT. Rukun dalam ibadah Haji adalah sebagai upaya untuk mengantarkan hamba kepada hal tersebut. Maka tujuan esensial haji adalah mendapatkan musyahadah Allah SWT sebagaimana yang disampaikan oleh para Ahli Sufi. Menunaikan ibadah Haji tidak cukup dicapai hanya dengan pergi ke Makkah, namun aksi, upaya, usaha yang memberikan makna dan manfaat praktis bagi kehidupan umat manusia setelahnya jauh lebih penting. Haji yang Mabrur adalah haji yang mendapatkan musyahadah dengan Allah SWT, mampu memberikan kebaikan bagi sekelilingnya, dan menaburkan kedamaian dan ketentraman di muka bumi, itulah haji Mabrur. Wallahu’alam.