“Kalau bisa bikin pertemuan, ada berita acaranya, disepakati apa saja yang dijanjikan, sistemnya seperti apa, langkah-langkahnya bagaimana, dan siapa saja yang bertanggung jawab. Kesepakatan seperti itu perlu rinci sehingga bisa dipertanggungjawabkan,” jelasnya.
Sorotan juga datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya. Direktur LBH Palangka Raya Aryo Nugroho Waluyo mengatakan, masyarakat yang hadir dalam pertemuan di Kantor Dinas Perkebunan Kalteng, Selasa (5/12) begitu kecewa.
Kekecewaan itu muncul lantaran saat itu hanya ada proses penyerahan uang secara simbolis sebesar Rp287.950.000 oleh Direktur PT HMBP Roby Zulkarnaen. Padahal masyarakat menginginkan kejelasan dari proses ini dan berharap ada kesepakatan atau MoU dengan perusahaan.
“Uang yang diserahkan itu dikatakan sebagai uang SHU, yang mana jumlahnya tidak sesuai dengan anggota koperasi. Hitungan Rp287.950.000 didapatkan dari areal PT HMBP seluas kurang lebih 443 ha yang merupakan lokasi APL, per hektarenya disisihkan sebesar Rp650.000,” ujarnya.
Menurut Aryo, PT HMBP tercatat memperoleh izin usaha perkebunan (IUP) pada 17 Januari 2006 Nomor: 525/352/EK/2006 dengan luas 11.200 hektare, dan mendapat pelepasan kawasan hutan seluas 10.098,20 hektare berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 189/Kpts-II/2000 pada 29 Juni 2000.
“Perusahaan yang beroperasi di Kecamatan Seruyan Raya tersebut memperoleh hak guna usaha (HGU) pada 21 November 2006 berdasarkan HGU Nomor: 24/HGU/BPN/06 dengan luas lahan 11.229,12 hektare,” sebutnya.
Adapun aturan plasma, berdasarkan Permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Pasal 11 Ayat (1), perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar, paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian Pasal 17, disebutkan bahwa pola dan bentuk fasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dimuat dalam perjanjian kerja sama.
“Menurut kami, pertemuan yang terjadi kemarin merupakan usaha tipu-tipu dari pemerintah daerah untuk mengaburkan kewajiban PT HMBP memberikan 20 persen lahan kepada warga sekitar dalam bentuk kemitraan atau plasma,” ujarnya.
Aryo mengatakan, PT HMBP punya izin berupa IUP dan HGU seluas 11.000 hektare lebih. Seharusnya dari total lahan itu, 20 persennya diberikan kepada masyarakat.
“Kewajiban 20 persen tersebut harus ada surat perjanjian kerja samanya. Setop tipu-tipu masyarakat, berikan saja apa yang menjadi hak mereka,” tuntutnya.
Sehari sebelumnya, Pemprov Kalteng melaksanakan kegiatan seremonial realisasi pembayaran SHU oleh PT HMBP kepada Koperasi Maju Bersama Bangkal di Aula Dinas Perkebunan Kalteng, Selasa (5/12). Penyerahan itu dihadiri pemerintah provinsi, Pemkab Seruyan, manajemen PT HMBP, pengurus Koperasi Maju Bersama Bangkal, dan sebagian warga Desa Bangkal.
Pj Kepala Desa Bangkal, Susila Sri Wahyuni mengatakan, ketika dipanggil pertama kali untuk mengikuti pertemuan di Disbun Kalteng itu, pihaknya diinformasikan soal pembahasan MoU. Bukan langsung menerima SHU seperti yang terjadi saat itu.
“Melalui MoU itu kami baca, apakah uangnya sesuai. Pak Kuwi selaku ketua koperasi dan saya selaku pj kades tidak akan menerima, karena memang tidak sesuai dengan janji awal,” ujar Susila.
Menurutnya, janji awal adalah realisasi luasan plasma sebesar 1.175 ha. Adapun 443 ha yang diserahkan hari itu merupakan pemberian awal yang murni plasma di atas lahan berstatus APL. Sisanya sekitar 732 ha menunggu selesai proses izin pelepasan status kawasan.
Ditanya apakah anggota koperasi merepresentasikan masyarakat yang menolak termasuk keluarga korban, Susila dan Kuwi serentak menyebut tidak. Namun pihaknya akan berusaha meyakinkan masyarakat jika lahan seluas 1.175 ha sudah direalisasikan menjadi plasma sesuai masyarakat.
“Kalau seperti yang terjadi kemarin, kami masyarakat Bangkal akan menolak, terus terang saja. Kami akan usahakan agar masyarakat mau lagi menjadi anggota koperasi, asalkan sesuai dengan yang dijanjikan, bukan seperti ini,” tegasnya.
Susila menambahkan, pada intinya jika masih dijanjikan demikian, masyarakat tetap akan menolak, karena tidak sesuai dengan tuntutan. “Pertemuan hari ini pun seharusnya membicarakan MoU, bukan langsung menerima SHU,” tandasnya.
Di tempat yang sama, Direktur PT HMBP Robi Zulkarnain memilih irit bicara saat wartawan mencoba membujuknya untuk buka suara terkait realisasi plasma tersebut. Robi tampak enggan meladeni awak media. “Saya koordinasi dahulu dengan pemda, kami menghormati mediasi yang sudah dilakukan, jadi kami ikut arahan dari pemda,” ucapnya.
Disinggung terkait banyaknya anggapan bahwa lahan seluas 1.175 ha itu berada di luar HGU milik PT HMBP, Robi tidak menjawab secara jelas. Ia hanya menyebut pihaknya akan berkoordinasi dengan pemda.
“Kami sudah melakukan semua kebijakan dengan mengikuti Undang-Undang Cipta Kerja, terima kasih ya,” tandasnya.
Sementara itu, Plt Kepala Dinas Perkebunan Kalteng H Rizky R Badjuri mengatakan, 443 ha lahan APL itu diserahkan kepada masyarakat dalam bentuk SHU. Menurut Rizky, solusi yang pihaknya tawarkan itu sudah menuju role model dari penyelesaian masalah.
“Kemarin kami berjuang, ada tahapan dari satgas sawit yang melakukan penyelesaian untuk lahan di luar HGU. Kami dari daerah menunggu keputusan rekan-rekan dari pusat, pasti tidak akan lama lagi,” katanya.
Menurut Rizky, hasil penyelesaian masalah terkait lahan seluas 732 ha yang dituntut masyarakat untuk menjadi plasma itu ada di tangan satgas sawit. “Di sana ada Kementan, KLHK, kami tunggu dari bekerjanya semua ini, mudah-mudahan masyarakat bisa mendapat apa yang diharapkan,” tandasnya. (dan/ce/ala/ko)







