kaltengonline.com – Konflik antara warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya dan Grup Best Agro (PT HMBP) berpotensi memanas lagi. Hal itu menyusul belum terpenuhinya tuntutan warga terkait plasma dan pengelolaan lahan di luar hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata menilai solusi yang ditawarkan perusahaan tidak menyentuh akar persoalan yang selama ini dialami masyarakat Desa Bangkal. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut dinilai belum memuaskan.
“Solusi yang ditawarkan tidak menjawab dan tidak memenuhi tuntutan yang diinginkan oleh warga Desa Bangkal dan warga lainnya yang juga berkonflik dengan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) ini,” ungkapnya kepada Kalteng Pos, Minggu (10/12).
Bayu berpendapat, solusi yang ditawarkan PT HMBP berupa pemberian sisa hasil usaha (SHU) dari kebun sawit seluas 443 hektare (ha) tidak sesuai dengan tuntutan warga. Masyarakat justru berfokus pada dua tuntutan, yakni mengembalikan lahan di luar HGU PT HMBP yang seluas 1.175 ha dan memberikan kewajiban plasma sebesar 20 persen dari kebun inti milik perusahaan untuk dikelola masyarakat.
“Seharusnya dorong solusi untuk bisa ke sana. Lahan di luar HGU jelas-jelas sudah melanggar aturan. Pemerintah kabupaten dan provinsi berkewenangan memberikan tindakan tegas atas pelanggaran itu,” tuturnya. Tindakan tegas tersebut, lanjut Bayu, bisa dengan mengambil alih lahan seluas 1.175 ha itu agar bisa dikelola masyarakat.
Selain dengan mengupayakan agar lahan seluas 1.175 ha tersebut bisa dikelola masyarakat, kewajiban perusahaan berupa realisasi plasma 20 persen harus difasilitasi oleh pemerintah kabupaten setempat. Karena menurut Bayu, konflik tersebut tak hanya merugikan dari sisi ekonomi, tetapi juga menghambat sumber penghidupan masyarakat setempat.
“Konflik ini sudah terjadi cukup panjang, sumber-sumber penghidupan masyarakat sudah hilang karena sudah berubah menjadi lahan-lahan perkebunan sawit, yang mana sebelumnya itu ada hutan, lahan, dan kebun yang dikelola masyarakat,” ujarnya seraya menyebut bahwa konflik itu juga menyebabkan peristiwa berdarah yang menimbulkan korban jiwa dan luka-luka.
Pihaknya mendukung upaya masyarakat Bangkal yang konsisten memperjuangkan hak, terutama terkait lahan di luar HGU perusahaan. Tuntutan plasma juga harus direalisasikan karena merupakan kewajiban perusahaan.
“Perusahaan melanggar karena beraktivitas di kawasan hutan. Itu sudah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Juga disebutkan terkait sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang tidak memiliki izin di dalam atau di atas kawasan hutan,” bebernya sembari menambahkan, perusahaan harus membayar denda kepada negara sebelum melanjutkan kegiatan usaha.
Meski demikian, kebijakan tersebut tidak disetujui pihaknya, khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki latar belakang konflik, pelanggaran hukum, hingga pelanggaran berupa pencemaran lingkungan. Terkait dengan kondisi di Desa Bangkal, perusahaan menyatakan lahan 700-an ha dari 1.175 itu akan dilakukan pelepasan kawasan hutan.
“Seharusnya pemerintah dalam hal ini KLHK mempertimbangkan untuk tidak mengizinkan pelepasan kawasan itu, lebih baik diputihkan oleh masyarakat melalui kelompok atau lembaga yang ada desa setempat,” sebutnya.
Bayu menegaskan, jika pemerintah tidak memberikan solusi yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, berpotensi memperpanjang konflik yang terjadi. Bahkan ada kemungkinan konflik serupa akan meledak kembali di waktu-waktu mendatang.
“Kalau tidak dicanangkan solusi yang berkeadilan, maka tidak hanya memicu konflik vertikal antara masyarakat dan perusahaan, tetapi juga konflik horizontal, karena ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari kondisi ini,” tandasnya. (dan/ce/ala/ko)