kaltengonline.com – Realisasi megaproyek food estate padi di Kalimantan Tengah (Kalteng) tak lepas dari kendala. Dua lokasi yang dipilih menjadi tempat pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN) tersebut, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) dan Kapuas, mengalami kekurangan tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL). Luasnya lahan yang digarap untuk satu orang petani pun menghambat produktivitas produksi beras.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (DTPHP) Provinsi Kalteng, Hj Sunarti mengatakan, sejauh ini keberadaan PPL di Kalteng masih sangat minim. Banyak pihak menyebut PPL idealnya satu orang per kecamatan. Namun, kondisi itu kurang relevan jika diterapkan di Kalteng, karena kecamatan di Kalteng memiliki wilayah yang sangat luas.
“Satu kecamatan satu orang, tapi di sini (Kalteng, red) satu kecamatan sangat luas, jadi tidak bisa menerapkan itu. Di Kalteng ini idealnya satu orang PPL untuk satu desa,” kata Sunarti kepada Kalteng Pos, Senin (11/12).
Kehadiran PPL berperan penting dalam mendorong kemajuan dan kemandirian kelompok tani (PPL). Penyuluh berperan sebagai pendidik, memberikan pengetahuan atau cara-cara efektif dan efisien dalam membudi daya tanaman agar usaha petani lebih terarah. Kondisi yang minim itu diperparah dengan banyaknya PPL yang sudah waktunya pensiun.
“Sudah banyak yang pensiun, sehingga jumlah penyuluh sangat kurang. Saat ini tidak ada penerimaan PPL baru. Sudah kami usulkan untuk membuka penerimaan penyuluh baru,” ucapnya.
Di samping menjalankan tugas primer sebagai pembina para petani dalam kapasitas sebagai penyuluh pertanian, PPL juga berperan dalam pemberdayaan keluarga petani. Dalam hal ini pemberdayaan ekonomi keluarga petani untuk mencapai kemandirian finansial, sehingga terbebas dari kekangan kemiskinan, stunting, putus sekolah, dan sebagainya.
“PPL yang sudah pensiun banyak, tapi belum ada penambahan tenaga baru,” sebutnya.
Sunarti mengatakan, lahan sawah garapan untuk satu orang petani di Kalteng pun sangat luas. Petani di Kalteng harus menggarap lahan seluas lebih dari 2 ha. Jika dikerjakan sendiri, tentu tidak mampu mengejar produksi yang ditargetkan. Sementara di Pulau Jawa, luas lahan untuk tiap petani tidak sebesar itu. “Rata-rata petani kita punya lahan seluas 5-6 ha, sulit mengejar karena minim tenaga untuk menggarap lahan seluas itu,” tambahnya.
Meski demikian, para petani di Kalteng saat ini rata-rata sudah bisa panen dua kali dalam setahun. Sebagian juga sudah bisa panen tiga kali dalam setahun. Luas baku sawah se-Kalteng saat ini baru berkisar di angka 136.000 hektare (ha). “Itu pun sudah banyak yang alih fungsi menjadi kebun sawit dan sengon,” tambahnya.
136.000 ha luas baku sawah se-Kalteng itu pun bisa berkurang menjadi 93.000 ha apabila sudah dirilis oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). “Saya belum menyetujui, belum tanda tangan saja. Masih ada yang belum sah karena diganti jadi sawit dan sengon,” ucapnya.
Menyikapi fenomena petani padi yang beralih menanam sawit dan sengon itu, Sunarti menyebut Gubernur Kalteng Sugianto Sabran sudah memerintahkan bupati/wali kota agar segera membuat Perda P2D lahan pertanian pangan berkelanjutan.
“Lahan yang sudah ditetapkan sebagai sawah tidak boleh dialihfungsikan lagi untuk ditanam komoditas lain,” tandasnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata berpendapat, perlu evaluasi secara menyeluruh terkait pelaksanaan proyek lumbung pangan. Menurutnya, hadirnya proyek food estate hanya memperparah kerusakan lingkungan serta merugikan petani sebagai objek dari proyek itu.
“Lahan-lahan intensifikasi tidak dapat memenuhi target yang diharapkan, sedangkan lahan ekstensifikasi hanya membuka hutan dan kebun warga, yang justru makin merusak ekosistem gambut dan menjadi lahan mangkrak,” ungkapnya kepada Kalteng Pos, Selasa (12/12).
Menurut Bayu, dampak dari beroperasinya proyek tersebut sudah dirasakan masyarakat yang berada di sekitar atau menjadi subjek proyek food estate. Salah satu dampaknya, lanjut Bayu, adalah perubahan sistem pertanian. Hadirnya proyek itu mengubah pola bertani yang sudah mengakar sebagai kearifan lokal masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Ia berpendapat lokasi eks-pengembangan lahan gambut (eks-PLG) zaman Orde Baru yang digunakan sebagai lokasi proyek food estate di Kapuas dan Pulpis, dinilai tidak memposisikan lahan gambut sesuai fungsinya. Menurutnya, penggunaan lahan gambut sebagai lokasi bercocok tanam tidak sesuai dengan peruntukan.
“Fungsi gambut kan sebagai penata air, tata hidrologi, tetapi fungsinya itu dirusak dengan adanya pengeringan, membuat kanal, membongkar gambut, hutan ditebang, sehingga kualitas dan fungsi ekosistem gambut otomatis berkurang,” sebutnya. (dan/ce/ala/ko)