kaltengonline.com – Kalimantan Tengah (Kalteng) kaya akan sumber daya perikanan. Berbagai jenis ikan dimiliki oleh provinsi terluas di Indonesia itu. Sejumlah produk ikan hasil tangkapan dari berbagai daerah di Kalteng, tahun ini berhasil diekspor ke berbagai negara. Jumlah frekuensi ekspor ikan tahun 2023 meningkat dibandingkan tahun 2022.
Kepala Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Palangka Raya, Miharjo mengungkapkan, frekuensi ekspor ikan dari Kalteng pada tahun 2022 dilakukan selama 64 kali. Sementara tahun 2023 per November, frekuensi ekspor ikan dari Kalteng sudah 94 kali.
“Jadi 64 banding 94, ada peningkatan dari sisi frekuensi, 2022 dibandingkan 2023 sampai November frekuensi ekspor naik jadi 30 kali kalau dilihat dari tahun sebelumnya yang 64 kali,” ujar Miharjo di Kantor SKIPM Palangka Raya, Rabu (12/13).
Adapun produk perikanan yang diekspor mencakup ikan botia, borneo sucker, live aquatic, betutu, dan toman. Produk yang merupakan ikan hias itu telah diekspor ke 10 negara di dunia, yakni Singapura, Malaysia, United Kingdom (UK), Amerika Serikat (USA), Hongkong, Thailand, California, Jepang, Kanada, dan China.
“Dari kelima jenis ikan yang diekspor itu, paling banyak adalah ikan botia. Tahun 2023 ikan tersebut sudah diekspor sebanyak 155.901 ekor, dengan nilai ekonomis Rp467.703.000 dan negara tujuan Singapura,” bebernya.
Ikan yang juga tak kalah banyak diekspor adalah jenis borneo sucker, disusul live aquatic, betutu, dan toman. Miharjo menuturkan, total nilai komoditas ekspor dari kelima produk perikanan itu adalah Rp2.058.522.239, dengan total ikan yang hidup 178.024 ekor dan 8.506 pcs.
“Tahun ini kami baru mencatat PEB sebanyak 93 kali, paling banyak dibandingkan tahun sebelumnya, PEB itu disumbang dari kelima jenis ikan tersebut,” ujarnya.
Selain kelima produk perikanan itu, masih ada produk ikan lain yang bisa diekspor langsung dari Kalteng. Salah satunya adalah udang. Miharjo menyebut, ekspor udang dari Kalteng saat ini masih harus melalui Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Kalteng hanya menjadi supplier udang ke daerah-daerah tersebut, sementara pemberitahuan ekspor barang (PEB) masih atas nama daerah-daerah di Pulau Jawa.
“Makanya harus kami upayakan agar Kalteng bisa ekspor udang dan PEB-nya tercatat dari sini,” tuturnya.
Udang merupakan salah satu produk perikanan dominan yang disuplai dari Kalteng ke pasar dalam negeri maupun domestik yang memiliki potensi ekspor tinggi. Selain udang, produk perikanan lain yang berpotensi bisa diekspor langsung dari Kalteng adalah kepiting, botia, ikan betutu, bandeng segar, ikan bulu ayam segar, daging rajungan, dan bawal segar.
“Kalteng ini potensi domestiknya luar biasa, sementara ekspornya sedikit. Kalteng menjadi penyuplai ke perusahaan-perusahaan di Jakarta, di sana PEB-nya dari mereka, coba kalau PEB dan perusahaannya dari sini, saya kira dinas perikanan bisa merajai PEB di Kalteng,” sebutnya.
Terkait dengan kondisi itu, Miharjo menjelaskan, Presiden RI Joko Widodo sampai saat ini membatasi pintu ekspor demi menjaga stabilitas harga domestik. Hal itu dilakukan untuk mengerem masuknya produk-produk impor ke RI.
“Kalau sudah buka pintu ekspor, berarti harus juga buka pintu impor. Jadi impor itu harus dikendalikan, sementara ekspor harus ditingkatkan. Jika Kalteng punya bandara internasional untuk ekspor, siap enggak kita bersaing menerima produk-produk impor? Melihat persoalan itu, perlu mempertimbangkan berbagai sektor,” tuturnya.
Miharjo menyebut tidak ada alasan Kalteng tidak bisa melakukan ekspor karena tidak ada bandara atau pelabuhan yang berstandar internasional. Untuk meningkatkan PEB, pihaknya memotivasi para pembudi daya produk perikanan untuk gencar mengekspor produk. “Upaya peningkatan PEB terus kami lakukan,” ucapnya.
Menurut Miharjo, kendala peningkatan PEB dari sektor perikanan Kalteng dialami oleh para pelaku usaha. Sebab, butuh waktu yang cukup lama dalam proses pengantaran. Hal ini dipicu oleh keterbatasan konektivitas penerbangan. Rata-rata produk ikan hidup membutuhkan waktu 35-38 jam sejak di-packing. Apabila lewat dari waktu itu, dipastikan ikan akan mati.
“Misalnya terbang dari Kalteng ke tempat tujuan yang membutuhkan waktu lebih dari 38 jam, sudah tentu ikannya mati, itulah kendala utama kita,” katanya. (dan/ce/ala/ko)