Mekanisme Penunjukan Tak Sejalan dengan Visi Demokrasi

oleh
oleh
Ilustrasi

PALANGKA RAYA– Menyeruaknya isu penggantian Pj Bupati Barito Selatan (Barsel) akhir-akhir ini menjadi sorotan sejumlah akademisi. Mereka mempersoalkan mekanisme penunjukan Penjabat (Pj) kepala daerah yang dinilai tak sejalan dengan visi demokrasi tersebut. Mekanisme penunjukan Pj kepala daerah yang berlaku saat ini disinyalir dapat mengakomodasi kepentingan sejumlah kelompok.

Dalam kasus penunjukan Pj Bupati Barsel, DPRD Barsel pada dasarnya ikut mengusulkan nama Pj bupati Barsel yang sebelumnya menjabat, yakni Lisda Arriyana. Namun, tak diakomodasi oleh Kemendagri RI.

Menurut Dr Ricky Zulfauzan SSos MIP, peraturan terkait hal itu dapat merunut dari Permendagri 2023 tentang Pj Gubernur, Bupati, dan Wali Kota pada Pasal 9 Ayat (1) bahwa DPRD kabupaten melalui ketua DPRD termasuk yang mengusulkan nama Pj Bupati.

“Pada aturan yang sama, pada pasal 9 ayat (4) DPRD kabupaten dapat mengusulkan tiga nama. Karena hanya sebagai usulan, tentu hak dan kewenangan Kemendagri RI lah menyeleksi setiap usulan yang masuk,” jelas Ricky kepada Kalteng Pos, Jumat (12/5).

Terdapat tiga nama yang diusulkan oleh Mendagri kepada Presiden RI untuk menjadi Pj Bupati Barsel.

Yakni Aster Bonawaty yang menjabat sebagai Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kalteng, Hamka yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kalteng, dan satu orang pegawai dari Kementerian Dalam Negeri RI.

Hal ini menjadi pertanyaan publik terkait apakah pejabat di Kemendagri perlu sampai turun tangan hingga jadi Pj bupati padahal pejabat di pemprov masih ada yang juga layak mendapat posisi itu.

Menurut Ricky, berpegang pada Permendagri di atas, terutama pada pasal 10, maka memang harus disaring dari sembilan nama berdasarkan usulan dari tiga instansi, yakni DPRD kabupaten, pemprov, Kemendagri.

Dari sembilan itu, nanti akan menjadi tiga nama dengan diseleksi melibatkan Kemensesneg, Kemenpan- RB, Seskab, BKN, BIN, dan kementerian lain jika dibutuhkan. Melalui saringan tadi maka diperoleh tiga nama, di mana salah satu nama kandidat Pj Bupati Barsel adalah pejabat Kemendagri sendiri.

“Kemudian dari tiga nama tadi akan dipilih oleh presiden.

Satu nama yang akan di SK-kan oleh Mendagri,” jelas pakar ilmu pemerintahan dari Universitas Palangka Raya itu.

Pj Bupati tidak harus dijabat oleh pejabat dari tingkat provinsi. Karena sesuai perundang-undangan yang berlaku tidak bisa hanya diserahkan kepada pemprov setempat karena sudah terdapat mekanisme yang diatur dalam Permendagri Nomor 4 Tahun 2023.

“Kecuali jika sebelum berakhirnya masa jabatan Pj Bupati yaitu satu tahun, ternyata Pj Bupati diberhentikan sementara. Maka Gubernur mengusulkan nama Pj yang di SK-kan Mendagri untuk menggantikan Pj tersebut. Ini sesuai dengan UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah Pasal 86 ayat (3),” jelasnya.

Menurut Ricky, sebaiknya sikap pemerintah daerah, baik pemprov, DPRD Barsel dan Pemkab Barsel hanya bisa menunggu dan bersabar.

Karena situasi seperti ini yang selalu dikritisi oleh pakar ilmu pemerintahan di Indonesia.

“Yaitu bagaimana bisa, menyatakan kepala daerah yang dipilih melalui mekanisme Pj ini bisa mendapatkan legitimasi rakyat. Karena rakyat tidak memilih mereka secara langsung. Tetapi melalui mekanisme pemerintah yg cenderung mendegradasi nilai dasar demokrasi, yaitu kekuasaan tertinggi di tangan rakyat,” tuturnya.

Baca Juga:  Wisuda 1022 Mahasiswa, UPR Dukung Program Betang Cerdas, Satu Keluarga Satu Sarjana

Ricky mengatakan jika menggunakan mekanisme demokrasi perwakilan, justru yang lebih berhak memilih Pj harusnya DPRD Barsel, karena mereka adalah pemegang mandat perwakilan rakyat.

“Sebagai orang yang belajar dan memahami ilmu pemerintahan, saya termasuk yang tidak sependapat dengan mekanisme penunjukkan Pj kepala daerah dengan mekanisme sesuai amanat Permendagri nomor 4/2023 ini. Karena ini bertentangan dengan nilai dasar demokrasi, di mana kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Hadirnya Permendagri ini justru mempertontonkan bagaimana negara semakin menggerus kekuasaan rakyat yg berpotensi melanggar konstitusi Pasal 1 ayat (2) UUD NKRI 1945,” jelasnya.

Ia juga menilai bahwa adanya peraturan menteri tersebut mengarah kepada potensi pelanggaran HAM terutama UU no 30/1999 tentang HAM Pasal 43.

“Meskipun menggunakan alibi aturan peralihan menuju pemilu serentak, menurut saya belum memenuhi kondisi kegentingan yang memaksa sehingga kedaulatan rakyat harus dikebiri,” tandasnya.

Hal senada juga diutarakan oleh akademisi ilmu pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya, Farid Zaky Yopiannor SSos MSi. Menurutnya, permasalahan ini seperti puncak gunung es dari dinamika kebijakan hukum menyoal pengisiaan pj kepala daerah yang terlalu rentan karena berpotensi ter-delegitimasi.

“Bagaimana pun juga, di era demokrasi sekarang kecenderungan kepala daerah itu harusnya dipilih bukan diangkat. Celah ini menjadi debat konstitusi yg sengit.

DPRD menurut saya berada pada koridor ini bahwa secara demokratis semestinya pemerintah pusat harus mempertimbangkan usulan mereka,” jelas Zaky.

Zaky menyebut hal ini akan memberikan efek domino. Menurutnya, Permendagri tersebut memberi efek domino bahwa dari dinamika kebijakan hukum tentang pengisian kekosongan jabatan yang cenderung lebih mengakomodasi pada agenda pusat daripada agenda daerah.

“Sehingga semangat otonomi dan desentralisasi menjadi galau. saya kira ini konsekuensi dari tahun politik ya, sehingga kita tidak bisa menafikkan hal itu.

Secara ideal saya kira tidak perlu lah dari Kemendagri.

Karena merupakan kemunduruan demokrasi pada aras politik lokal,” jelasnya.

Ia menilai bahwa dari kaca mata konstitusi, pertimbangan yang diusulkan oleh DPRD punya arah angin yang lebih segar karena semangat demokratisnya.

Tetapi, semangat administratif juga tidak boleh dipinggirkan yakni peran pemerintah daerah atau eksekutif, dalam hal ini nama-nama yang direkomendasikan oleh gubernur setempat.

“Saya kira perlu penguatan pada aspek evaluasi kinerja yang lebih transparan sehingga ada upaya untuk memitigasi risiko unsur politis yang terlalu dominan,” ucapnya.

Menurutnya, mekanisme penunjukan Pj kepala daerah yang berlaku saat ini masih ada celah untuk delegitimasi kepala daerah.

Karena aturan yang ada lebih dipertimbangkan pada aspek karena keserentakan pilkada.

“Perlu ada reformasi kebijakan hukum yang lebih memperkuat aspek dmokrasi dan penguatan otonomi daerah. Sehingga legitimasi pj kepala daerah di mata publik tetap kuat,” tandasnya. (dan/ram/ko)