Petugas TPA Bukit Tunggal memaksimalkan apa yang bisa dimanfaatkan. Selain sampah organik yang dijadikan pupuk kompos, mereka juga memanfaatkan gas metana dari tumpukan sampah untuk dijadikan bahan bakar yang bisa digunakan oleh warga sekitar.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
SEBAGAIMANA rutinitasnya, pagi itu Jumirah menjalani aktivitas di dapur. Menyiapkan sarapan suami dan anaknya. Di dapur berkonstruksi kayu itu, ia sibuk menggoreng lauk. Menu yang akan disuguhkan ke meja makan pagi itu adalah bakwan jagung.
Dia pun mulai menyalakan kompor gas. Dibantu sang suami, Gun Harianto. Bahan bakar kompor itu bukan dari gas elpiji, melainkan gas metana yang dihasilkan dari tumpukan sampah. Gas itu disalurkan melalui pipa. Jaraknya sekitar 300 meter.
“Saya memakai gas metana ini sejak akhir Desember 2021 lalu,” ucap Jumirah seraya memantik api menggunakan korek.
Dengan adanya gas metana ini, Jumirah merasa sangat terbantu. Modal awal hanya membeli kompor khusus gas metana dan pipa. Selanjutnya tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli gas. Sebelum beralih ke gas metana, tiap tiga minggu Jumirah harus mengeluarkan Rp35 ribu hingga Rp40 ribu untuk membeli gas elpiji berukuran 5 kilogram.
Ibu satu anak itu mengungkapkan, kompor berbasis gas metana ini memiliki segelintir kelebihan yang tidak dimiliki oleh kompor gas elpiji yang sering digunakannya sebelum. Salah satunya, nyala api yang berwarna biru membuat masakan lebih cepat matang.
“Apinya biru, enggak ada merah-merahnya,” katanya kepada Kalteng Pos.
Di tempat yang sama, Gun Harianto mengaku senang dengan adanya inovasi dari TPA Bukit Tunggal. Selain memudahkan mereka memasak sehari-hari, juga membuat mereka ikut berkontribusi meminimalkan perubahan iklim yang saat ini tengah terjadi. “Kami senang sekali bisa berkontribusi melalui peran kami memanfaatkan gas metana yang berbahaya itu,” beber pria berusia 45 tahun ini.
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bukit Tunggal menyadari bahwa di lokasi TPA ini memiliki gunungan sampah yang mengeluarkan banyak gas metana ke udara yang cukup berbahaya untuk atmosfer bumi.
Kemudian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palangka Raya mengendus permasalahan ini. Lantas menawarkan salah satu solusi yang tidak hanya bermanfaat untuk meminimalisasi gas penyumbang perubahan iklim, tetapi juga berguna bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi TPA. Yakni memanfaatkan gas metana yang memiliki sifat mudah terbakar, untuk dijadikan sebagai sumber bahan bakar yang bisa digunakan masyarakat. Selain dilatarbelakangi oleh pemanfaatan gas metana yang mudah terbakar dan menyumbang dampak negatif bagi lingkungan, program ini juga dimaksudkan untuk membantu memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar lokasi TPA dengan memanfaatkan sumber daya sampah.
Program ini berjalan satu tahun. “Sudah berjalan sejak itu, kami menjadikan gas metana dengan menyalurkannya ke rumah-rumah warga sekitar, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar untuk aktivitas memasak,” tutur Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bukit Tunggal Cebyanto.
Ia pun menjelaskan secara detail proses pemanfaatan gas metana menjadi sumber api. Dikatakannya, setiap hari gas metana selalu keluar dari gunungan sampah. Gas ini akan naik ke udara dan berdampak negatif terhadap atmosfer bumi. Agar gas metana dari gunungan sampah tidak naik ke udara, pihaknya menyiapkan terpal besar untuk menutupi gunungan sampah. “Jadi harus ditutupi pakai terpal agar gas metana dari gunungan sampah tidak naik ke atas,” ucap pria kelahiran 1977 itu.
Setelah tumpukan sampah tertutup terpal, gas metana yang tertandak dalam terpal itu akan tersedot ke pipa berukuran sedang yang berfungsi sebagai saringan penangkap gas metana. Pipa tersebut tersambung dengan pipa berukuran lebih kecil yang mengarah ke rumah-rumah warga sekitar lokasi TPA.
Pada saluran pipa yang mengarah ke rumah-rumah warga, dipasang filter yang berfungsi untuk menghilangkan bau sampah dan memisahkan air yang bercampur dengan gas metana. Dengan begitu gas yang digunakan masyarakat tidak sampai menimbulkan bau tak sedap dan berair.
“Jadi masyarakat tinggal membuka saluran yang terhubung itu pakai keran, lalu gas akan terhubung otomatis ke kompor, selanjutnya tinggal memasak saja,” bebernya dengan logat Dayak Ngaju yang cukup kental.
Pipa gas metana memang sudah terhubung ke hampir semua rumah warga di sekitar lokasi TPA. Namun sejauh ini baru satu warga yang memanfaatkan gas metana ini sebagai bahan bakar. “Sebenarnya sudah tersalurkan ke semua rumah, ada tiga rumah tangga yang siap menggunakan, tetapi dua dari tiga belum bisa karena kompornya belum dibeli, sedangkan rumah yang satu lagi sudah memanfaatkan,” tutur Ceby.
Pihaknya berharap ke depan seluruh rumah di sekitar TPA Bukit Tunggal memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan, sehingga sampah yang selama ini telah menggunung dan menghasilkan banyak gas metana bisa diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk keseharian masyarakat. “Jadi bisa dibilang nantinya sampah mereka kembali ke mereka juga, tapi lebih bermanfaat,” tutupnya. (ce/ram/ko)