Seni pertunjukkan di Bumi Tambun Bungai dinilai belum populer bagi anak-anak. Apalagi teater objek alias seni peran yang dilakoni benda-benda mati. Padahal, imajinasi anak dapat dibangkitkan lewat stimulus seni. Karena itu teater objek perlu diakrabkan kepada anak-anak sebagai sarana edukasi untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
TEATER objek menyimpan keunikan tersendiri. Lewat sentuhan tangan seorang berjiwa seni, benda mati dapat menjadi benda hidup. Seni pertunjukan ini pada prinsipnya menggunakan benda mati sebagai aktor utama sebuah lakon teater. Benda mati yang digunakan dapat berupa gayung, wajan, botol, boneka, dan benda lainnya yang dibuat seakan-akan hidup.
Benda mati itu akan “dihidupkan” dalam rangkaian dialog intens pada tiap adegan pertunjukan teater objek. Berbeda dengan teater pada umumnya yang pelakonnya adalah manusia. Teater objek masih kalah populer dengan teater pertunjukan yang dilakoni manusia. Apalagi bagi anak-anak. Karena itu, komunitas Borneo Art Play memiliki misi untuk membumikan teater objek, khususnya kepada anak-anak.
“Kami sedang memperjuangkan suatu isu tentang bagaimana agar pertunjukan teater, khususnya teater objek, dapat layak dan populer bagi anak-anak,” ucap Art Director Borneo Art Play Abdul Khafidz kepada wartawan di sela-sela kegiatan workshop teater bertajuk Mengenal Teater Objek dan Pertunjukan Teater untuk Anak di UPT Taman Budaya Kalteng, Senin (31/7).
Menurutnya penting agar anak-anak mendapatkan pertunjukan teater yang layak. Sejauh ini kebanyakan pertunjukan teater di Kalteng hanya ditujukan untuk orang dewasa.
“Kalaupun ada, kebanyakan pertunjukan seni teater untuk anak hanya disiapkan alakadar. Jadi, kami ingin pertunjukan teater yang ditonton anak-anak bisa sebaik pertunjukan untuk orang dewasa,” tutur pria yang sudah berkecimpung di dunia teater sejak 2008 lalu.
Pria berusia 33 tahun itu menyebut ada beberapa contoh karya teater objek yang diciptakan lomunitasnya, yang diupayakan agar layak bagi anak-anak. Di antaranya karya teater berjudul Ou Ou Owa, yang bercerita tentang Owa Kalimantan yang kehilangan suara karena kabut asap. Teater ini dibawakan secara online pada event teater Gulali Festival tahun lalu.
“Yang terbaru adalah teater berjudul Himba. Seni pertunjukan berbasis objek ini sudah kami tampilkan dua kali di Jakarta, sekali di Bekasi, dan sekali di Yogyakarta. Target audiens adalah anak-anak. Kami menggunakan objek boneka,” terangnya.
Khafidz menjelaskan, teater Himba mengangkat cerita bertemakan lingkungan, terinspirasi dari budaya Pukung Pahewan. Teater itu bercerita tentang seorang anak bernama Himba yang sangat penasaran dengan alam dan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya.
“Waktu itu kami bawakan tema yang cukup berat yakni lingkungan, tetapi kami bungkus dengan instrumen musik yang menarik untuk anak-anak, ada banyak pesan moral dalam cerita itu sehingga relevan bagi anak-anak,” tutur pria kelahiran 1990 itu.
Menurutnya, teater objek dapat menjadi sarana bagi guru dan orang tua dalam memberikan cerita-cerita edukatif kepada anak-anak. Bagi Khafidz, teater objek menyimpan kelebihan dari kesederhanaannya, karena tidak menuntut aktor untuk tampil sempurna.
“Teater objek tidak menuntut si aktor untuk bisa berperan secara baik, yang penting punya modal imajinasi, apa pun bisa, bahkan bisa dilakukan dalam keluarga, antara anak dan orang tua, teater objek dapat menjadi media untuk merekatkan hubungan keluarga,” ungkapnya. (ko)