Cetak Penghafal Al-Qur’an, Tiap Subuh Santri Wajib Setor Hafalan

oleh
oleh
MENIMBA ILMU AGAMA: Para santri sedang mengikuti kegiatan di Pondok Pesantren Salafiyah Iqro Jalan Karanggan, Kelurahan Tanjung Pinang, belum lama ini.

Pondok Pesantren Salafiyah Iqro memiliki 14 guru atau pengajar. Tiga di antaranya pernah menempuh pendidikan di Turki. Sementara untuk mata pelajaran umum, ada tujuh guru dari luar pesantren yang membantu.

Usai kegiatan kelas, para santri makan siang, lalu salat Asar. Selepasnya itu dilanjutkan dengan kelas tahfiz hingga pukul 16.30 WIB. Usai kegiatan kelas, para santri bisa memanfaatkan waktu untuk berolahraga, mengangkat jemuran, dan kegiatan bermanfaat lainnya.

Menjelang salat Magrib, para santri mempersiapkan diri untuk berangkat ke masjid. Setelah salat dilanjutkan amalan dari pimpinan terdahulu. “Kemudian setelah salat Isya, kalau santri putra terkadang membaca wirdul latif, kadang baca burdah, kadang juga baca habsyi. Kalau yang perempuan, tiap malamnya belajar menulis khot,” terangnya.

Aktivitas tersebut berlangsung hingga pukul 20.15 WIB. Kemudian pada pukul 21.00 WIB para santri diharuskan tidur.

Umar Mukhtar menuturkan, apabila benar-benar menekuni semua rutinitas di ponpes, tentu akan merasakan keasyikan yang luar biasa. Para santri bias belajar hidup mandiri. Segala sesuatu dikerjakan sendiri.

“Walaupun terkadang dengan sedikit paksaan dan ancaman, tapi para santri di sini akan terbiasa dengan hal-hal yang dilakukan di ponpes, mulai dari salat ngaji dan yang lainnya,” ucapnya.

Dikatakan Umar, dipaksa, terpaksa, bisa, terbiasa memang adanya di pesantren. Untuk membiasakan hal bermanfaat, perlu adanya sedikit paksaan dari luar sehingga menjadi kebiasaan pada diri sendiri. “Inilah yang selalu didapatkan para santri yang memutuskan untuk masuk ponpes, mulai dari mengikuti kemauan orang tua hingga akhirnya menjadi kemauan sendiri,” katanya.

Pondok Pesantren Salafiyah Iqro sendiri menampung 150 santri. Para santri tak hanya dari Palangka Raya, tapi juga dari luar kota, bahkan dari daerah-daerah di luar Kalteng. Santrinya berasal dari Murung Raya, Kotawaringin Barat, Barito Utara, Seruyan. Ada pula yang dating dari Provinsi Kalsel, tepatnya Marabahan.

Ayah dua orang anak ini menjelaskan, pesantren mengajarkan bagaimana para santri terjun ke tengah masyarakat, seperti menjadi imam salat.

“Kami juga melihat dari penilaian seperti tajwidnya, apabila mencapai nilai bagus, kami bisa calonkan menjadi imam salat,” kata Mukhtar. 

Para santri juga sering mengikuti lomba, khususnya perlombaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Bahkan ada diutus hingga ke kancah nasional. Ini menjadi kebanggan bagi Mukhtar dan para pengasuh ponpes.

Mukhtar memaknai Hari Santri sebagai bentuk perhatian dari pemerintah. Pria kelahiran Banjarmasin itu menganggap peringatan Hari Santri menjadi momen paling berharga. Tiap 22 Oktober biasanya Pondok Pesantren Salafiyah Iqro melaksanakan hataman dan doa bersama untuk mengenang para pendahulu serta pejuang.

“Adanya Hari Santri menjadi wujud perhatian pemerintah kepada para satri, saya berharap setelah lulus mondok nanti, para santri tidak berlagak seperti ahlinya agama, lalu memusuhi atau memerangi pemerintah, jangan sampai terjadi seperti itu,” pungkasnya. (*/ce/ala/ko)