kaltengonline.com – Kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah (Kalteng) disinyalir banyak menimbulkan konἀik sosial di masyarakat. Konἀik sosial yang muncul tak jarang terjadi karena perkebunan kelapa sawit beroperasi di atas tanah adat masyarakat. Tak ayal, masyarakat adat pun merasa terasing dari tanahnya sendiri, hal ini karena ruang-ruang hidupnya sudah beralih fungsi menjadi kebun.
Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibie mengatakan, masuknya industri skala besar seperti perusahaan besar swasta (PBS) kelapa sawit di Kalteng kebanyakan datang tiba-tiba tanpa melihat konteks kehidupan masyarakat yang tinggal berada atau di sekitar kawasan kebun.
“Bahkan izin-izin yang diberikan kepada perusahaan sawit kebanyakan masyarakat tidak mengetahuinya, berapa luasan izinnya, batasnya di mana, berlakunya sampai kapan, itu masyarakat tidak tahu,” kata Habibie saat dihubungi Kalteng Pos, Selasa (26/12).
Menurut Habibie, pada umumnya pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang atas sumber daya alam (SDA), tak jarang sertamerta memberikan izin kepada perusahaan tertentu. Izin ini diberikan kebanyakan minim pelibatan masyarakat. Masyarakat tahu-tahu wilayah mereka dibebani izin.
“Situasi ini yang kemudian menyebabkan konflik menjadi berkepanjangan, karena sejak awal masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” tuturnya.
Proses pelibatan masyarakat secara tanpa paksaan dan natural tidak berjalan dengan baik selama ini. Akhirnya, ketika dijanjikan kebun plasma, masyarakat menghitung secara kasar pembagian plasma itu berdasarkan 20 persen dari luasan kebun perusahaan. Hal ini yang kemudian menjadi momok persoalan konflik agraria di Kalteng hingga kini.
Menurut Habibie, industri kelapa sawit mulai masuk ke Kalteng di akhir tahun 1990-an. Masuk dalam fase tahun 2000-an, khusus untuk di Bangkal, Seruyan, perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat dalam hal ini PT HMBP I, sudah melakukan aktivitas pembukaan lahan dalam kurun waktu 2005-2007. Namun, praktik-praktik penggunaan lahan dengan skema izin ini masih minim pelibatan masyarakat.
“Praktik-praktik pengadaan lahan yang menggunakan skema izin yang notabene minim pelibatan masyarakat itu, pada awal-awal masyarakat protes kenapa lahan mereka digunakan jadi kebun kelapa sawit,” ujarnya.
Menurut Habibie, kehadiran perusahaan sawit di Kalteng sampai saat ini masih menjadi momok bagi masyarakat, khususnya masyarakat adat yang wilayahnya dijadikan kebun sawit. Dari tahun ke tahunnya ruang-ruang hidup masyarakat adat semakin terganggu bahkan semakin terancam.
“Hal ini diperparah oleh pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat yang dinilai belum terlalu serius. Kenapa masyarakat adat harus diakui dan dilindungi? Agar memproteksi kehidupan dan ruang hidup mereka itu dari ancaman ekspansi industri skala besar, baik itu kelapa sawit, pertambangan, dan lain sebagainya,” tuturnya.
Menurut Habibie, sudah banyak kehidupan masyarakat adat yang terganggu akibat ekspansi industri skala besar. Hampir seluruh konflik perkebunan yang terjadi saat ini didominasi oleh konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan yang didasari oleh pencaplokan tanah adat masyarakat.
Pihaknya mencatat terdapat sembilan konflik agraria yang terjadi di Kalteng sejauh ini. Sembilan konflik itu adalah antara warga Kinipan vs PT SML di Lamandau, warga Kinjil vs PT BGA di Kobar, warga Babual Baboti vs PT UAI di Kobar, warga Seruyan Tengah vs PT BJAP, warga Bangkal vs PT HMBP I, warga Sembuluh vs PT.SLM di Seruyan, warga Penyang vs PT HMBP 2, PT SKD, dan PT MAP di Kotim, warga Bagendang Tengah/Ramban vs PT MJSP di Kotim, dan warga Ramang dan Lawang Uru vs PT AGL di Pulpis.
“Kalau kita tanya orang-orang di Penyang, Bangkal, dan lain-lain, orang adat atau tidak, pasti mereka jawab orang adat dayak. Kenapa? Karena dalam kehidupan sehari-hari mereka mempraktikkan adat istiadat mereka,” ujarnya.
Habibie menjelaskan, secara historis mereka semua adalah masyarakat adat. Tetapi persoalannya adalah apakah secara hukum mereka itu diakui dan dilindungi, sepertinya tidak. “Bahkan seperti yang dialami oleh masyarakat adat Kinipan, untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari pemerintah, sampai hari ini mereka belum dapat pengakuan,” tambahnya.
Direktur LBH Palangka Raya, Aryo Nugroho Waluyo menambahkan, hingga kini, masyarakat hukum Adat Laman Kinipan belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan begitu pula dengan Masyarakat hukum adat lainnya secara umum di Provinsi Kalimantan Tengah.
“Masyarakat Adat Kalteng dipaksa oleh negara untuk menjadi masyarakat bukan adat lagi,” ujarnya. (dan/ala/ko)