“Mengapa harus ada pj dan kemudian pj itu ditetapkan tidak boleh mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan ikut menjadi kontestasi pilkada, karena salah satunya untuk menciptakan netralitas birokrasi. Namun dengan adanya fatwa itu, ternyata di beberapa daerah tertentu ada kepala daerah yang baru berakhir masa jabatannya setelah kepala daerah terpilih dilantik,” lanjutnya.
Melihat kasus di Kotim, sambung Jhon Retei, bisa jadi akan memunculkan perdebatan mengenai politik dinasti yang menciptakan arena kontestasi menjadi dipandang tidak netral. Meskipun dalam ranah MK memberikan ruang bagi kepala daerah untuk mengakhiri masa jabatan sesuai dengan periodesasi waktu, namun argumen gugatan tentu salah satunya agar bagaimana kepala daerah bisa menjalankan program secara penuh. Sehingga dengan sisa waktu itu mereka akan merealisasikan program kerja yang telah direncanakan.
“Saya kira pernyataan itu karena memang secara konstitusional sudah ada putusan dari MK kepada daerah-daerah tertentu. Suka tidak suka harus menerima keputusan itu. Seperti yang dilihat, Bupati Kotim mempunyai ruang untuk mencalonkan kembali. Ada satu produk MK dan ada satu produk UU Pilkada. Ada desain untuk melaksanakan pilkada serentak, dengan salah satunya menetapkan pj dan kemudian salah satunya menciptakan netralitas birokrasi,” tandasnya.
Ternyata, lanjut akademisi Fisip Universitas Palangka Raya itu, di tempat tertentu yang masa kerja kepala daerah belum berakhir, bisa menjadi persoalan. Itulah anomalinya Indonesia. Artinya ada satu semangat di bawah Undang-Undang Dasar yang kemudian mencoba untuk merancang pilkada serentak dan terstruktur, kemudian dipatahkan dengan adanya keputusan MK.
Semestinya ketika melakukan penataan sistem, lalu melahirkan UU, MK mempertimbangkan bagaimana filosofi lahirnya UU Pilkada sebagai upaya menata sistem politik yang menyangkut sistem pemilihan kepala daerah. Pasalnya, dengan adanya pj, dimaksudkan akan meminimalkan politisasi dan menjadikan birokrasi lebih netral. Namun kenyataannya, melalui putusan MK tersebut, jabatan kepala daerah diakhiri pada saat dilantiknya kepala daerah terpilih saat pilkada mendatang. Menurutnya itu menjadi persoalan.
“Semangat UU Nomor 10 Tahun 2016, dengan lahirnya konstitusi ini juga nantinya menjadi menarik untuk diperbincangkan. Rohnya keputusan MK tidak bertentangan dengan UUD 1945. MK menguji UU pada UUD. Akomodasi keputusan MK itu adalah mempertimbangkan hak-hak dasar individu, di mana pada saat mereka dipilih oleh rakyat pada saat periodesasi 5 tahun, maka mereka punya hak menjalankan tugas selama 5 tahun. Namun, lahirnya ketentuan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, malah dipatahkan dalam perjalanan,” katanya.
Menurut Jhon, seharusnya MK mempertimbangkan tentang bagaimana membangun sistem hukum dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, sehingga bisa tertata dengan baik. Padahal salah satu upaya yang telah dilakukan saat ini ialah melakukan pilkada serentak dan pelantikan serentak.
Jhon menilai hasil keputusan MK itu tentu berpengaruh bagi masyarakat, karena sebuah kepemimpinan juga berdampak terhadap masyarakat. Pada saat seorang pemimpin menjadi harapan masyarakat, tentunya masyarakat ingin mempertahankan pemimpin tersebut. Namun apabila pemimpin dinilai tidak amanah oleh masyarakat, maka ada kelompok masyarakat yang ingin jabatannya segera berakhir.
“Saat ini kita berpikir positif, yang dilakukan sudah baik. Tentunya publik berharap bahwa dengan masa jabatan yang telah diputuskan sesuai dengan ketentuan itu, bisa digunakan secara maksimal oleh kepala daerah untuk merealisasikan program-program. Kalau memang itu keputusannya, tidak ada yang perlu disalahkan, karena keputusan MK itu final dan mengikat. Apabila itu dianggap tidak pas, masyarakat harus menerima sebagai keputusan yang harus dijalankan,” tutupnya. (ovi/bah/ce/ala/ko)







