Representasi Kurikulum Berbasis Cinta Pada Madrasah

oleh
oleh
Muhamad Asran Dirun
Oleh : H. Muhamad Asran Dirun, S.Ag, M.Pd

Perkataan Abu Bakar Ash Shiddiq “Siapa yang merasakan manisnya cinta Allah, maka ia tidak akan pernah berpaling kepada selain-Nya”. Cinta kepada Allah membuat hati tidak mudah tergoda oleh dunia. Rabi’ah Al-Adawiyah : “Aku mencintai-Mu bukan karena takut pada neraka-Mu, bukan pula karena mengharap surga-Mu, tetapi aku mencintai-Mu karena Engkau layak dicintai.”

Sedangkan Jalaluddin Rumi dalam qaulnya “Cinta adalah jembatan antara dirimu dan segala sesuatu.”, Imam Al-Ghazali “Puncak cinta kepada Allah adalah ridha dengan segala ketentuan-Nya.” Cinta tidak hanya berupa pujian, tetapi juga kesabaran dan penerimaan atas takdir.

Sejalan dengan konsep di atas, Carl Rogers dalam Teori Humanistiknya menekankan potensi setiap individu untuk mencapai aktualisasi diri melalui penerimaan tanpa syarat, empati, dan keaslian dalam hubungan interpersonal.

Ia percaya bahwa setiap individu memiliki dorongan bawaan untuk tumbuh dan mengembangkan potensi diri atau disebut dengan aktualisasi diri (self actualization). Dalam pengaktualisasian diri tersebut murid perlu memahami konsep diri, di mana persepsi dan keyakinan tentang diri sendiri, yaitu diri nyata apa adanya dan diri ideal, yaitu apa yang diinginkan.

Keinginan dari seseorang untuk mengaktualisasikan diri tersebut akan bersinggungan dengan di mana ia bersekolah dan bertempat tinggal. Upaya guru dalam hal ini harus memberikan penghargaan dan penerimaan penuh kepada murid tanpa menghakimi, merendahkan, menghina dan memvonis murid bodoh.