Tahun 2014 menjadi momen penting dalam dunia politik Indonesia karena negara ini menjalani serangkaian Pemilihan Umum (Pemilu), dimulai dengan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dan dilanjutkan dengan Pilkada serentak. Dalam konteks ini, muncul perhatian besar terkait praktik kampanye hitam, yang dikenal dengan istilah “black campaign.
” Black campaign adalah upaya yang seringkali dilakukan oleh salah satu kandidat atau tim kampanye mereka dengan tujuan menjatuhkan kandidat pesaing. Praktik ini dilarang karena cenderung menciptakan fitnah dan menyebarkan berita palsu tentang kandidat tertentu.
Istilah “black campaign” sendiri tidak memiliki definisi resmi dan digunakan di Indonesia untuk merujuk pada praktik kampanye negatif yang bertujuan merugikan lawan politik. Terdapat beberapa aspek yang dapat dianggap sebagai black campaign, termasuk pelanggaran etika pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, sengketa pemilu, dan pelanggaran hukum pemilu.
Perkembangan black campaign di Indonesia telah mengalami evolusi. Pada masa lalu, black campaign biasanya dilakukan melalui distribusi informasi negatif kepada masyarakat melalui media cetak, seperti pamflet dan artikel yang berisi informasi merugikan pihak lawan. Tim sukses kandidat dan simpatisan sering menjadi pelaku utama dalam penyebaran ini.
Saat ini, black campaign semakin canggih dengan memanfaatkan media sosial dan tetap melibatkan media cetak. Namun, peraturan yang mengatur black campaign belum sepenuhnya memadai, dan penegakan hukum terkait black campaign masih menghadapi tantangan. Salah satu kendala utama adalah batas waktu yang singkat untuk melaporkan pelanggaran pemilu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setelah pelanggaran terdeteksi. Hanya ada waktu 7 hari untuk melaporkan pelanggaran tersebut setelah diketahui atau terjadi, dan ini sering membuat pelaporan menjadi sulit.
Pengaduan yang masuk ke Bawaslu kemudian harus disaring dan dianalisis untuk menentukan apakah termasuk dalam pelanggaran administrasi pemilu yang menjadi kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau pelanggaran hukum umum yang menjadi wewenang penyidik kepolisian. Oleh karena itu, koordinasi antara lembaga pemilu dan penegak hukum menjadi penting.
Untuk mengatasi permasalahan black campaign dalam Pemilu, ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan. Pertama, perlu memasukkan dalam undang-undang bahwa pelanggaran pemilu tidak hanya merupakan pelanggaran pidana biasa. Selain itu, pengaduan terkait pelanggaran pemilu harus dapat diajukan oleh siapa saja kepada Bawaslu. Selanjutnya, edukasi kepada masyarakat tentang dampak negatif dari black campaign menjadi kunci penting, sehingga pemilih dapat membuat keputusan yang lebih cerdas dan tidak terpengaruh oleh fitnah dan hoaks. Hukuman terhadap pelaku kampanye hitam juga perlu diperkuat agar menjadi efektif dalam mencegah praktik ini, seiring dengan perubahan undang-undang yang relevan.
Hukuman terhadap pelaku negative campaign tergolong ringan, yaitu berdasarkan Pasal 527 (1) Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menyebarluaskan berita bohong, atau menyebarluaskan informasi yang dapat menimbulkan ketakutan atau hambatan terhadap penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Sumber: Jurnal Hukum Reformasi – FHUI (http://fh.ui.ac.id/entry/permasalahan-black-campaign-dalam-pemilihan-umum-wawancara-dengan-wirdyaningsih-s-h-m-h) Juditha, C. (2014). Interpretation Black Campaign in Short Message Services at Election of Mayor Makassar 2013. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Komunikasi Dan Informatika, 5(1).