PALANGKA RAYA-Perkara dugaan penggunaan surat keterangan tanah atau verklaring palsu terus bergulir di pengadilan. Sidang yang menjerat terdakwa Madi Goening Sius ini beragendakan mendengar keterangan dari saksi ahli. Sidang berlangsung memanas setelah jaksa dan saksi ahli adu argumen di Ruang Tirta, Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya, Rabu (30/5).
Sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Agung Sulistyono, SH MHum hari itu beragenda mendengar keterangan saksi ahli. Penasihat hukum terdakwa, Mahdianoor SH MH, dalam persidangan ini menghadirkan satu orang saksi ahli, Bernadus Letlora SH, yang merupakan ahli hukum pidana.
Dalam keterangannya, Bernardus mengatakan untuk bisa membuktikan terdakwa memang melakukan perbuatan pidana memalsukan surat verklaring dan mempergunakannya sebagaimana dakwaan primer yang diajukan jaksa penuntut, yaitu pasal 263 ayat 1 dan ayat KUHPidana, maka jaksa harus bisa menunjukkan bukti verklaring yang asli.
“Jaksa penuntut harus membuktikan apakah ini (verklaring) benar-benar palsu, Anda bisa mengajukan yang mana asli dan yang mana yang palsu,” kata pria yang akrab disapa Berty ini.
Bernadus mengatakan, unsur-unsur dalam pasal 263 KUHPidana harus bisa dibuktikan, baik sifat delik formil maupun materil.
Saksi juga menyebut sependapat dengan yang disampaikan Prof Moeljatno, bahwa verklaring tersebut bisa dikatakan palsu karena telah ada surat lain yang isinya berlainan dari surat tersebut.
“Surat palsu patut dikatakan ada pemalsuan apabila jika ada surat lain yang bunyinya lain dari mula- mulanya,” kata ahli yang diketahui pernah menjadi dosen ilmu hukum di STIH Tambun Bungai Palangka Raya ini mengutip keterangan Prof Moeljatno.
Menurut Bernadus, jika ada surat verklaring palsu, maka seharusnya ada surat verklaring asli.
Jaksa penuntut dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalteng yang bertugas dalam persidangan ini, Sutrisno Tabeas SH, sempat bertanya kepada saksi ahli terkait surat verklaring milik terdakwa Madi. “Apakah saudara pernah melihat verklaring yang aslinya,” tanya jaksa kepada saksi.
“Belum, belum pernah,” jawab Bernadus.
Mendengar jawaban itu, jaksa kemudian bertanya lagi terkait keterangan dari ahli sebelumnya yang menerangkan bahwa verklaring merupakan surat yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, tetapi setelah Indonesia merdeka, surat tersebut tidak dikeluarkan lagi oleh pemerintah Indonesia.
“Di dalam Republik Indonesia tidak dikenal adanya surat verklaring, jadi bagaimana membandingkan sesuatu yang memang tidak ada,” tanya jaksa kepada saksi.
Namun Bernadus tetap berpendapat bahwa untuk membuktikan surat tersebut palsu, maka jaksa harus bisa menunjukkan surat verklaring yang asli. Pernyataan dari saksi ahli ini langsung ditanggapi jaksa dengan menyebut bahwa permasalahan ini tidak sesederhana yang dikatakan saksi.
Di bagian akhir, jaksa penuntut sempat bertanya kepada saksi ahli terkait pendapatnya mengenai tindakan orang yang diketahui menjual tanah bersertifikat milik orang lain. “Saya punya tanah bersertifikat, lalu ada orang lain menjual tanpa sepengetahuan saya, apakah itu termasuk perbuatan melawan hukum?” tanya jaksa kepada ahli.
“Silakan bapak menilai, saya tidak menilai itu,” jawab saksi.
Dalam persidangan sempat terjadi beberapa kali adu argumen antara jaksa dan saksi ahli. Suasana cukup panas. Namun situasi itu bisa dikendalikan oleh Agung Sulistyono selaku ketua majelis hakim yang memimpin sidang.
Setelah mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak terdakwa, persidangan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan terhadap terdakwa Madi. Dalam keterangannya, Madi mengaku memperoleh surat Verklaring Nomor 23 Tahun 1960 tersebut dari orang tuanya, Goening Sius.
Diakuinya bahwa penyerahan surat verklaring tersebut didasarkan pada surat wasiat yang dibuat orang tuanya dan kemudian ditandatanganinya tanggal 14 April 1978. Surat wasiat itu ditandatanganinya saat didatangi langsung oleh sang ayah. Kala itu saat ia sedang berada di kampung istrinya di wilayah Tewah, Kabupaten Gunung Mas (Gumas).
Madi juga mengaku tidak mengetahui nama-nama pejabat kepala adat dan kepala kampung Pahandut yang tertera dalam surat wasiat tersebut.
“Surat itu sudah dibikin oleh orang tua saya dan diminta tanda tangan saya, belum ada tanda tangan kepala kampung, belum ada tanda tangan camat, semua belum ada,” ujarnya kepada majelis hakim. Kemudian surat itu dibawa kembali oleh orang tuanya. Diterangkan terdakwa, saat itu ayahnya memang tinggal di kampung Pahandut, Palangka Raya.
Sebulan kemudian barulah surat wasiat itu diserahkan kepadanya, saat ia dan anak istri menyusul ke Palangka Raya.
Madi juga membenarkan saat ketua majelis hakim membacakan keterangannya dalam BAP yang menerangkan bahwa kala itu orang tuanya menggarap lahan di wilayah Hiu Putih.
“Ayah saya menyadap jalutung, sejenis (tanaman) karet,” kata Madi kepada ketua majelis hakim.
Madi juga membenarkan ketika ketua majelis hakim menyebutkan keterangannya dalam BAP, bahwa dirinya pertama kali datang ke lokasi tanah di Hiu Putih tahun 1982.
Madi juga mengaku ayahnya pula yang menunjukkan adanya surat verklaring nomor 23 tahun 1960 tersebut. “Sebelumnya tidak pernah menunjukkan?” tanya hakim kepada terdakwa.
“Tidak tahu,” jawab Madi. (sja/ce/ala/ko)