kaltengonline.com – Pembangunan jaringan listrik masuk ke Kabupaten Seruyan tersendat. Pemicunya adalah belum ada titik temu kesepakatan antara sekelompok warga dengan pihak PLN terkait nilai ganti rugi lahan. Alhasil, megaproyek saluran udara tegangan tinggi (SUTT) 150 kV itu belum bisa dilanjutkan. Sekelompok warga enggan membebaskan lahannya untuk kelancaran proyek mendirikan SUTT.
Belum tuntasnya permasalahan ini membuat Bupati Seruyan Yulhaidir turun tangan memediasi warga dan pihak PLN. Namun mediasi tersebut tetap tak kunjung menemui kesepakatan. Warga enggan melepaskan lahan karena menganggap nilai kompensasi yang diberikan masih kurang.
Dikatakan Yulhaidir, dari sekian ratus warga yang berhak menerima ganti rugi tanam tumbuhnya lahan yang menjadi bagian dari proyek SUTT itu, ada ganti rugi 20 orang yang belum selesai. Mereka itulah yang mendesak pihak PLN untuk memberikan kompensasi yang lebih tinggi daripada yang sudah ditetapkan sebelumnya.
“Sedangkan PLN punya standar sendiri (kompensasi, red). Nah, beberapa waktu yang lalu kami sudah mediasi, lalu kami serahkan kepada pihak kecamatan dan desa untuk sosialisasi lagi ke warganya, supaya diberi pengertian tentang nilai ganti rugi itu,” tutur Yulhaidir kepada Kalteng Pos, Senin (14/11).
Bupati mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih terus melakukan sosialisasi dan pendekatan yang lebih intens kepada masyarakat dan keluarga yang enggan membebaskan lahan. Tercatat 15 orang yang masih enggan membebaskan lahan. Namun bupati optimistis masalahan pembebasan lahan ini dapat selesai melalui cara damai dan memuaskan kedua belah pihak.
“Akan selesai, ini kan sudah dibangun juga, ada sekitar 15 orang yang belum menerima itu, tapi insyaallah dalam waktu dekat, bahkan mulai hari ini dilakukan pemasangan terus, keluarga yang menerima langsung dipasangin, sosialisasi terus dilakukan oleh camat dan perangkat desa,” tuturnya.
“Pembangunan SUTT ini kan merupakan program nasional yang harus didukung oleh semua pihak,” tambahnya.
Sebelumnya, Manajer Bagian Perizinan UPP Kalimantan Bagian Barat (Kalbagbar) Asriadi Adri menyebut bahwa mediasi yang dilaksanakan belum bisa mengubah pendirian masyarakat, yang tidak sepakat dengan nilai kompensasi yang diajukan, sehingga belum meninggalkan tempat yang menjadi jalur pembangunan RoW.
Asriadi mengungkapkan, mediasi sebelumnya dilaksanakan di Desa Pematang Panjang, Kecamatan Seruyan Hilir Timur yang termasuk dalam wilayah pembangunan jalur RoW.
“Dalam audiensi itu sebagian besar masyarakat Desa Pematang Panjang yang hadir tidak sepakat, karena nilai kompensasi yang diberikan oleh PLN jalur RoW tidak sesuai keinginan, jadi belum ada kesepakatan,” beber Adri kepada Kalteng Pos melalui sambungan telepon, Minggu (13/11).
Hingga sekarang ini rencana pembangunan belum terealisasi, lantaran belum ada kesepakatan dengan masyarakat setempat. Terkait luas lahan yang harus diganti PLN di daerah pembangunan SUTT, Adri tidak mengingat pasti. Namun pihaknya memiliki data rincian yang detail.
Adri menjelaskan, pembangunan RoW atau jalur kabel SUTT tersebut melintasi kebun-kebun warga di daerah setempat. Otomatis tanaman-tanaman yang tumbuh di jalur itu harus dipotong untuk memudahkan pemasangan kabel. Tanaman-tanaman itulah yang diberi ganti rugi berupa kompensasi kepada pemilik lahan. Salah satunya adalah pohon kelapa yang menjulang tinggi. Mengenai nominal ganti rugi, Adri menyebut disesuaikan dengan jumlah pohon atau tanaman yang ditebang.
Lebih lanjut dikatakannya, pihaknya tidak dapat membuat perubahan pada nominal kompensasi, karena sudah ditentukan dari lembaga penilai. Karena itu, ke depan pihaknya hanya bisa melakukan pendekatan persuasif dengan masyarakat dan pihak-pihak terkait.
“Dibantu oleh camat dan kades untuk pendekatan kepada pemilik lahan dan masyarakat desa Pematang Panjang umumnya, kami dari PLN juga akan menyiapkan ganti rugi dan kompensasi,” tandasnya. (dan/ce/ala/ko)