Bisa Menular lewat Kontak Fisik dan Udara
“Kalau yang tipe kumannya sedikit, harus minum obat tiap hari, 6-9 bulan baru bisa sembuh, sedangkan untuk yang tipe kumannya banyak baru bisa sembuh selama 12-18 bulan,”
dr Nyoman Yudha Santosa SpKK
Spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin (SPKK) RSUD dr Doris Sylvanus
PALANGKA RAYA-Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) ternyata belum merdeka dari penderita kusta, penyakit menahun yang menyerang kulit dan syaraf manusia. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalteng mencatat ada puluhan jiwa usia produktif yang menderita penyakit kusta selama 2022. Dua tahun terakhir, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menjadi daerah dengan penderita kusta terbanyak (data lengkap lihat tabel).
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng Riza Syahputra melalui Kepala Seksi (Kasi) Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Rainer Danny Poluan Mamahit mengatakan, sampai saat ini penderita kusta masih tersebar di kabupaten/kota se-Kalteng.
Secara umum penderita kusta di Kalteng masih terbilang tinggi. Membandingkan data penderita kusta tahun 2021 dengan 2022, Danny menyebut, pada 2021 total ada 97 kasus kusta, sementara pada 2022 mengalami penurunan hingga 60 kasus. Kendati menunjukkan penurunan, sebaran kasus di beberapa kabupaten masih menjadi tanda tanya, sehingga data tersebut masih menyimpan keraguan besar.
Keraguan itu tercipta karena pertanyaan apakah upaya surveilans (penemuan kasus) di kabupaten/kota memang betul-betul dilakukan untuk mendeteksi kasus kusta atau tidak. Maka dari itu, data penurunan kasus masih diragukan, karena upaya penemuan kasus di beberapa daerah masih belum optimal.
“Makanya masih jadi pertanyaan apakah teman-teman di daerah ini surveilans penempuan penderita kustanya memang aktif atau tidak,” tutur Danny kepada Kalteng Pos via sambungan telepon WhatsApp, Selasa (24/1).
Danny menjelaskan, selain karena mandeknya pencarian kasus, kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini cenderung masih rendah. Paradigma yang dianut masyarakat bahwa penyakit kusta hanyalah penyakit kulit biasa, padahal tidak sesepele itu.
“Kusta itu kan nanti ada bercak-bercak kulit putih, lalu gejala merah, lalu saat lokasi yang bercak-bercak itu mati rasa ketika ditekan, itu kemungkinan kena kusta,” jelasnya.
Perihal penyakit yang menyerang kulit dan syaraf ini, dijelaskan lebih lanjut oleh Dokter Spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin (SPKK) dari RSUD dr Doris Sylvanus dr Nyoman Yudha Santosa SpKK. Menurutnya, penyakit kusta atau yang juga disebut lepra disebabkan oleh bakteri bernama Mycobacterium leprae. Penyakit itu menular lewat udara dan kontak fisik langsung dengan penderita dalam waktu yang lama.
“Kusta bisa tertular melalui kontak yang lama dan erat dengan penderita selama bertahun-tahun, tapi bisa juga melalui droplet atau percikan di udara, tapi penyakit ini menularnya lambat sekali, tidak seperti penyakit lainnya seperti Covid-19,” jelas Nyoman saat ditemui Kalteng Pos di ruang kerjanya, Selasa (24/1).
Penyakit kusta pada seseorang ditandai dengan mucnulnya bercak-bercak berbentuk bulat berwarna putih kadang kemerahan pada beberapa area tubuh seperti kaki dan lengan. Ketika bercak itu disentuh, tidak ada rasa sama sekali alias mati rasa. “Jadi kadang-kadang ketika dicubit di bagian itu, dia tidak merasa sakit karena sudah mati rasa,” ucapnya.
Mati rasa terjadi karena bakteri Mycobacterium leprae telah menyerang saraf-saraf gerak penderita. Nyoman menyebut, seringkali penderita kusta pada awalnya tidak sadar telah tertular. Kebanyakan enggan langsung memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan karena menganggapnya sebagai penyakit biasa.
“Awalnya tidak terasa, tapi kelamaan mereka akan merasa tangan dan kakinya kebas dan mati rasa, seringkali yang mati rasa itu di pergelangan tangan dan pergelangan kaki ke bawah, paling parah akan tidak merasa apa-apa lagi, contohnya ada pasien kusta yang menyetrika pahanya, tapi tidak merasa sakit sama sekali, padahal kulitnya sudah melepuh,” bebernya.
Nyoman mengatakan, mati rasa pada area tubuh yang muncul bercak itulah yang menjadi penanda utama seseorang menderita kusta atau lepra.
Apabila tidak ditangani secara cepat, akan terjadi penularan ke sekujur tubuh, bahkan sampai menyebabkan hilangnya beberapa bagian tubuh. Awalnya akan muncul borok atau luka di daerah kaki, tapi tidak terasa sakit sama sekali. “Kalau tidak cepat ditangani, bakteri itu akan makin menggerogoti bagian tubuh yang luka, dari yang awalnya lubang-lubang biasa hingga menghilangkan bagian tubuh itu,” tuturnya.
Jika seseorang sudah terdiagnosis menderita kusta, lanjut Nyoman, pihaknya akan melakukan pengobatan dengan rutin memberikan obat yang harus dikonsumsi penderita. “Obat ini tidak dibeli, hanya tersedia di puskesmas-puskesmas, karena itu merupakan program pemerintah untuk membantu penderita kusta,” ucapnya.
Lantas apakah penyakit ini bisa disembuhkan? Menurut Nyoman penyakit kusta bisa disembuhkan, tergantung tingkat keparahan yang diukur dari banyak tidaknya kuman lepra dalam tubuh penderita.
“Kalau yang tipe kumannya sedikit, harus minum obat tiap hari selama 6-9 bulan, barulah bisa sembuh. Sedangkan untuk yang tipe kumannya banyak, waktu untuk penyembuhan dua kali dari yang sedikit kumannya, sekitar 12-18 bulan,” ujarnya.
Tidak terdampak kelompok umur yang rentan dalam penyakit ini. Namun data yang pihaknya himpun menunjukkan bahwa penyakit ini banyak menyerang orang dewasa berusia produktif. “Penyakit ini kan menular ya, karena usia produktif banyak beraktivitas dengan ragam orang, bisa saja tertular dari aktivitas yang intens itu,” jelasnya.
Mengingat penyakit ini bersifat menular, sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa penderita penyakit ini sebaiknya tidak didekati. Itulah yang kemudian memunculkan pengucilan sosial terhadap penderita kusta. Menanggapi hal itu, Nyoman mengingatkan bahwa para penderita kusta bisa menularkan penyakit jika ada kontak langsung dalam waktu lama dan intens.
“Penyakit ini bisa 10 tahun lagi baru muncul pada orang lain yang tertular, karena penularannya lambat sekali,” tuturnya.
Seperti apa upaya pencegahan agar tidak tertular penyakit ini? Nyoman menyebut, masyarakat perlu menjaga jarak aman dengan para penderita kusta sambil terus memakai masker demi mencegah terjadinya penularan melalui udara.
B (30) merupakan salah seorang penderita kusta atau lepra di Kota Palangka Raya. Pada 2019 lalu ia didiagnosis tertular penyakit ini. B mengaku kontak fisik cukup intens dengan penderita kusta sudah cukup lama terjadi, saat ia bekerja sebagai petugas survei analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang turun ke daerah-daerah untuk mendata warga penderita kusta pada 2016 lalu. Namun B tidak menyebutkan di mana lokasi survei itu.
“Saat itu kami melakukan survei, mendata warga yang menderita kusta oleh perusahaan, waktu itu masih kuliah semester akhir,” beber B saat ditemui Kalteng Pos di rumahnya, Selasa (24/1).
Survei terhadap penderita kusta ia lakukan dalam jangka waktu cukup lama. Namun gejala kusta baru dirasakan tiga tahun setelah itu. Pada 2019, B merasakan ruam-ruam di sekujur tubuh. Mati rasa. Namun tak digubrisnya. Mengira penyakit biasa seperti liman. Setahun berselang, ia harus menjalani pengobatan intens karena didiagnosis menderita kusta. Sejak itulah sarjana pertanian itu harus rutin berobat ke RSUD dr Doris Sylvanus.
“Pengobatan sejak 2020, awalnya memang kaki ngerasa bengkak, tapi mati rasa, awalnya saya kira penyakit biasa seperti liman, tapi setelah periksa ke dokter, rupanya kusta, sejak tahun itulah saya rutin berobat,” tuturnya.
Setelah menjalani pengobatan sejak 2020 hingga Agustus 2022, B merasa ada perubahan. Ia sempat merasa hampir sembuh dari penyakit yang dideritanya itu. Namun sejak Agustus 2022 sampai Desember, ia harus bolak-balik lagi ke rumah sakit.
Kini B harus menerima cobaan hidup cukup berat. Kaki dan tangannya tidak bisa digerakkan secara sempurna. Tidak bisa melakukan aktivitas berat. Kondisi tangan kebas, mati rasa. Ketika menggenggam sesuatu, tidak terasa apa-apa. Bahkan ia tidak merasakan sakit saat jarinya terluka.
“Jangankan aktivitas berat, mau jalan saja sulit, mau berdiri juga harus dibantu, mau salat juga dibantu,” ungkapnya.
Meski demikian, B tidak mau menyerah. Dibantu istrinya, ia mengisi hari-harinya dengan bekerja sebagai petugas survei di salah satu perusahaan swasta di Kalteng. Awalnya B merasa berat menerima semua ini. Ia yang sebelumnya terbiasa bekerja berat, harus rela menahan egonya untuk bekerja karena kesehatan tubuh yang tidak memungkinkan. “Tapi saya tidak mengharapkan bantuan penuh dari orang, saya harus bekerja sendiri, mengerahkan segenap kemampuan saya,” tuturnya.
B juga merasakan perubahan sikap beberapa anggota keluarganya yang mulai menjauhinya. Namun itu tidak menyurutkannya untuk tetap menjalani kehidupan. Ia pun berpesan kepada penderita kusta agar tidak mudah menyerah. Tetap mensyukuri kondisi yang ada dan terus mencoba berobat agar bisa sehat kembali seperti sedia kala. B juga berharap ada perhatian lebih dari pemerintah daerah kepada para penderita kusta di Kalteng ini.
“Saya kira memang perlu bantuan dari pemerintah, apalagi kalau penderita merupakan kepala keluarga yang harus mencari nafkah untuk keluarga, kalau bisa ada perhatian dari pemerintah seperti pemberian bantuan untuk menghidupi keluarga,” tandasnya. (dan/ce/ala/kpfm)