kaltengonline.com – PT Multi Tambang Jaya Utama (Mutu) terbukti melakukan penyerobotan lahan milik Kelompok Tani (Poktan) Harapan Jaya 4, Desa Bintang Ara, Kecamatan Gunung Bintang Awai, Kabupaten Barito Selatan (Barsel). Penyerobotan lahan seluas 20 hektare (ha) oleh perusahaan tersebut mendapat perhatian serius dari para pegiat lingkungan. Sanksi serta evaluasi perizinan perlu dilakukan terhadap perusahaan tambang batu bara itu.
Persoalan tersebut mendapat respons dari sejumlah pimpinan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kalimantan Tengah (Kalteng). Pihaknya menilai izin PT Mutu perlu dievaluasi. Tanah yang diduga diserobot itu harus dikembalikan kepada warga yang berhak. Di samping itu, pemerintah perlu lebih hati-hati dalam mengeluarkan izin dan mengedepankan partisipasi bermakna pada tiap pengambilan kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pendirian suatu perusahaan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho Waluyo berpendapat, izin PT Mutu harus dievaluasi. Jika memang terbukti menyerobot lahan warga, maka perusahaan harus diberi sanksi. Usai dievaluasi, menurut Aryo, tanah yang diserobot juga harus dipulihkan dan dikembalikan kepada warga pemilik.
“Mirisnya, dalam kasus-kasus seperti ini pasti warga yang menjadi korban. Keberpihakan pemerintah daerah harus jelas. Jangan sampai hal seperti ini menjadi pemicu konflik antara masyarakat dan perusahaan,” ujarnya saat dihubungi Kalteng Pos, Rabu (6/3).
Apalagi, ujarnya, lahan tersebut merupakan milik kelompok tani. Maka seharusnya lahan tersebut dikelola untuk ketahanan pangan warga, bukan dijadikan areal pertambangan. Disinggung apakah masalah tersebut bisa diselesaikan secara perdata, Aryo menyebut tidak semua hal bisa diselesaikan di pengadilan.
“Tidak semua ya harus diselesaikan di pengadilan. Pemerintah harus turun langsung untuk mengevaluasi izin perusahaan bersangkutan,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi menilai, konflik agraria antara perusahaan tambang dan masyarakat di Kalteng memang sering terjadi. Menurutnya persoalan seperti ini sangat kompleks. Tidak hanya melibatkan perusahaan dan masyarakat, tetapi juga pemerintah.
“Persoalan ini tidak hanya melibatkan peran pemerintah daerah, tetapi juga pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kalau berada di kawasan hutan, maka melibatkan KLHK,” jelas Habibi kepada Kalteng Pos, kemarin.
Pada beberapa kasus juga tak jarang masyarakat hidup dan tinggal di sekitar kawasan perusahaan. Kebanyakan mereka tidak tahu bahwa perusahaan mengantongi izin dari pemerintah atau tidak, lalu ada tidak izin pertambangan atau izin pinjam pakai kawasan hutan yang dikeluarkan.
“Masyarakat kan tidak tahu itu semua. Sementara di sisi lain, karena merasa sudah punya izin dari pemerintah, perusahaan merasa sudah memiliki hak memanfaatkan lahan itu untuk aktivitas pertambangan,” jelasnya.
Dari fenomena itu, Habibi menyebut sudah seharusnya perizinan diberikan melalui beberapa tahapan yang melibatkan partisipasi masyarakat. Misalnya, pengadaan lahan. Harus ada partisipasi masyarakat. Bisa dalam bentuk sosialisasi yang dilakukan secara intens. Tidak sekadar pertemuan di gedung, tetapi juga ada sosialisasi dan pengecekan silang di lapangan.
“Kalau dari pengecekan itu diketahui ada tanah warga yang digarap perusahaan, maka artinya ada hak orang lain yang terganggu akibat adanya izin yang dikeluarkan itu,” tambahnya.
Sayangnya, partisipasi bermakna dari masyarakat untuk pengambilan keputusan itu masih jauh panggang daripada api. Habibi menilai, selama ini masyarakat tidak dipandang atau tidak dianggap sama sekali dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah maupun perusahaan pertambangan.
“Ketika masyarakat dianggap tidak berhak, lalu pendekatan yang diambil mungkin bisa persuasif, bahkan sampai dengan intimidatif, bisa saja dengan mengerahkan aparat atau keamanan internal perusahaan, itu kan menjadi situasi yang mengintimidasi masyarakat,” terangnya.
Di sisi lain, karena masyarakat merasa ruang hidupnya penting untuk dipertahankan atau merasa dirugikan dengan kehadiran perusahaan, mereka akan menuntut dengan cara-cara yang bisa mereka lakukan.
“Proses awal dalam tahap pemberian izin, partisipasi masyarakat itu penting, makanya ada istilah dalam konteks pembangunan, yakni persetujuan tanpa paksaan, di bagian itu yang kadang-kadang dilupakan,” tuturnya.
Ketika bagian penting itu dilupakan, maka pada proses berikutnya akan memicu konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Seharusnya, jika sudah ada kesepakatan awal kedua belah pihak, tidak akan ada persoalan di kemudian hari.
“Di awal itu ada banyak proses, perusahaan harus mengajukan proposal, lalu melakukan sosialisasi, kemudian menyusun Amdal. Amdal itu tidak sekadar dokumen formal yang kemudian menjadi syarat administrasi, tetapi di dalamnya ada substansi yang berkaitan dengan lingkungan dan masyarakat,” tandas Habibi.
Seperti diketahui, perseteruan antara Poktan Harapan Jaya 4 dan PT (Mutu) sudah menemui titik terang. Hasil cek lapangan membuktikan perusahaan telah melakukan penyerobotan lahan. Total seluas 20 hektare (ha) lahan warga tergarap oleh perusahaan pertambangan tersebut. Penyerobotan lahan oleh PT Mutu itu dipastikan setelah dilakukan uji lapangan pada Kamis (29/2). Hasil pengecekan lapangan, ditemukan titik koordinat yang menjadi areal klaim oleh Kelompok Tani Harapan Jaya 4 telah diambil atau diklaim PT Mutu dengan jumlah 7 titik koordinat.
“Dari pengecekan bersama, sudah jelas dan terbukti positif lahan Kelompok Tani Harapan Jaya 4 sudah tergarap seluas 20 hektare yang terdata di lapangan, jelas itu sangat merugikan, lahan itulah yang kami perjuangkan sampai memortal jalan, bukan tanpa sebab, semua itu demi mempertahankan hak-hak kami yang sudah diserobot oleh pihak perusahaan,” ungkap koordinator aksi Setiano S Wigin saat dikonfirmasi Kalteng Pos, Selasa (5/3).
Apabila tidak ada jalan keluar dan tidak terpenuhi hak-hak kelompok tani yang merasa dirugikan, maka akan selalu ada penolakan aktivitas pengoperasian PT Mutu di atas tanah sengketa itu. Pihaknya juga meminta pemerintah untuk mencabut IUP perusahaan dan diganti IUP perusahaan lain yang bisa menaati Undang-Undang (UU) Minerba terkait Pasal 39 huruf i UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020.
“Termasuk menghargai hak-hak adat Kalimantan Tengah khususnya adat Dayak di Barito Selatan. Apa yang mereka (PT Mutu, red) lakukan sangat merugikan kelompok tani. Perusahaan harus membayar kerusakan alam dan ganti kerugian potensi alam yang sudah diambil dari lahan masyarakat,” tegasnya. (dan/ena/ce/ala/ko)