Potret Kemiskinan Badut Jalanan

by
by
FENOMENA BADUT JALANAN: Seorang badut jalanan dengan mengenakan kostum karakter kartun Doraemon duduk di tepi Jalan A Yani, Palangka Raya, Jumat (20/1).

Selain itu, nilai-nilai ramah anak yang dilanggar badut yang membawa anak di antaranya ada pada poin-poin nilai 31 hak anak. Di antaranya adalah hak anak untuk hidup, bermain, sekolah, mempunyai KIA, dan memperoleh kesejahteraan.

“Jadi ada 31 hak anak, seperti hak untuk hidup, bermain, sekolah, dan mempunyai KIA, mereka kan kadang-kadang pendatang, itu kadang tidak didapatkan oleh anak mereka,” tuturnya.

Terkait upaya penertiban, Ulfah menjelaskan, tugas pihaknya terbatas pada upaya persuasif seperti melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para badut. Koridor tugas terbatas pada pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Berkenaan dengan pemberdayaan ekonomi dan pemberian bantuan, pihaknya harus bekerja sama dengan dinas terkait, seperti dinas sosial (dinsos).

Terkait tindakan yang dilakukan oleh badut yang membawa serta anak-anak saat bekerja, Ulfah mengakui bahwa para badut memang memanfaatkan anak-anak untuk mencari nafkah dengan menguras rasa belas kasih orang. “Itu tindakan memanfaatkan anak, harusnya enggak boleh ada, seharusnya anak berada di rumah, melakukan aktivitas yang sesuai dengan usianya,” tandasnya.

Sementara itu, dosen Prodi Bimbingan Konseling Islam IAIN Palangka Raya sekaligus praktisi psikologi Gerry Olvina Faz mengatakan, badut yang membawa serta anak termasuk kategori eksploitasi anak, jika ada unsur kesengajaan untuk mendapat belas kasihan orang lain dengan membawa serta anak. Akan tetapi, lanjut Gerry, jika disebabkan karena ketiadaan pilihan, maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan tempat aman bagi anak-anak tersebut agar bisa belajar dan bermain selama orang tua mereka bekerja.

Dikatakan Gerry, orang tua yang membawa serta anak saat bekerja tentu sangat tidak ramah anak. Pada usia yang masih sangat belia, sang anak terpaksa berhadapan dengan pekerjaan orang tua. Tidak sesuai dengan umurnya yang seharusnya difasilitasi untuk diberi pengajaran awal kehidupan.

“Usia 4-5 tahun adalah waktu untuk mereka mendapatkan pendidikan anak usia dini. Usia satu tahun, anak perlu ruang untuk eksplorasi dalam mengembangkan motoriknya. Ketika ikut orang tuanya bekerja, maka hal ini enggak bisa terfasilitasi secara baik,” jelas wanita yang menjabat wakil ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Kalteng itu kepada Kalteng Pos, Jumat (20/1).

Usia empat sampai tujuh tahun, ujar Gerry, masih masuk kategori masa belajar dan bermain. Anak perlu mendapatkan stimulus yang sesuai. Berada di jalanan sepanjang hari, selain berisiko terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa, juga ada risiko terhadap perkembangan mereka karena kurang stimulasi.

“Kemampuan berpikir, keterampilan gerak, kemampuan bahasa, hingga kemampuan sosial bisa saja bermasalah,” tuturnya.

Dalam empat tahun usia anak ia sudah harus mendapatkan pendidikan usia dini. Sementara tujuh tahun sudah masuk usia sekolah dasar. Mereka butuh lingkungan untuk mengembangkan keterampilan sosialnya seperti di sekolah atau saat main dengan anak-anak seumuran di sekitar rumah.

 “Di usia itu mereka harusnya mendapatkan pendidikan sehingga memperbesar peluang mendapatkan kehidupan yang lebih baik ke depan, mendapatkan penanaman moral sehingga dapat menjadi individu yang bisa menyesuaikan diri dengan aturan masyarakat,” jelas alumnus Pendidikan Profesi Psikologi Anak Universitas Indonesia itu.

Untuk menangani hal itu, Gerry menyebut perlu ada asesmen terkait persoalan utamanya, lalu merencanakan intervensi dan mengevaluasi penanganan. “Selain itu carilah support system sehingga bisa ikut menjaga anak-anak saat mereka bekerja. Cari akses bantuan pemerintah yang bisa memfasilitasi anak-anak saat orang tua mereka bekerja,” tandasnya.

Dihubungi terpisah, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMPR) Farid Zaky Yopiannor SSos MSi mengatakan, fenomena badut jalanan merupakan salah satu ciri kemiskinan perkotaan. Adapun sifat kemiskinan perkotaan yang melekat dalam identitas badut itu bersifat kultural, budaya. Karena kebanyakan orang menjadi badut jalanan karena merupakan pilihan terakhir.

 “Menjadi badut jalanan itu merupakan pilihan terakhir, alasan pertama karena enggak mampu bersaing dengan SDM di perkotaan, mau bekerja di sektor informal tapi skill terbatas, ini semua dipicu karena tekanan ekonomi,” jelas Zaky kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, Jumat (20/1).

Menurutnya masalah ini perlu mendapat perhatian pemerintah selalu pemangku kebijakan. Kebijakan yang diterapkan untuk menanggulangi fenomena sosial badut jalanan itu tidak cukup hanya sebatas melalui penertiban, tapi juga ada kebijakan komprehensif yang betul-betul menyentuh dasar permasalahan.

Dasar permasalahan yang dimaksud Zaky adalah karena berdasarkan analisis sosial, munculnya badut jalanan disebabkan minimnya keterampilan kerja. Maka dari itu, perlu ada kebijakan berkelanjutan dari pemerintah. Salah satunya membekali para badut jalanan dengan keterampilan.

 “Perlu ada kebijakan komprehensif, bukan hanya bersifat temporer seperti razia Satpol-PP. Semestinya ada kebijakan berkelanjutan terkait pelatihan untuk mereka. Tentunya harus berbasis data sehingga tepat sasaran,” jelas alumnus Universitas Lambung Mangkurat Jurusan Ilmu Administrasi Negara tahun 2013 itu.

Untuk menyelesaikan persoaan ini, lanjut Zaky, dalam hal solusi memang perlu porsi pemerintah yang paling banyak karena mereka punya sumber daya secara politik untuk membuat kebijakan.

“Kalau untuk jangka pendek, berikan orang tuanya keterampilan melalui pelatihan. Sementara untuk solusi jangka panjang, pemerintah bisa menggandeng dinas tenaga kerja maupun pihak swasta untuk mengakomodasi mereka setelah memiliki keterampilan,” jelas pria yang tengah mengambil studi S-3 di Universitas Brawijaya itu.

Zaky menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan untuk menggandeng pihak swasta, komunitas kepemudaan, dan lainnya dalam menyosialisasikan kebijakan tersebut.

Leave a Reply