Sengkarut SHM Harus Diusut

oleh
oleh
ilustrasi sertifikat

PALANGKA RAYA-Konflik pertanahan di Kota Cantik Palangka Raya terus bermunculan. Selama 2023 ini sengkarut pertanahan menjadi pusat perhatian khalayak hingga membuat Menteri ATR/ BPN Hadi Tjahjanto turun ke Kalteng pada akhir Maret lalu. Ketika itu kasus mafia tanah berhasil dibongkar oleh Polda Kalteng yang menjerat Madi Goening Sius sebagai terpidana. Terbaru kasus yang tidak kalah menarik dan harus diusut adalah terbitnya sertifikat hak milik (SHM) ganda atas kepemilikan tanah di Jalan Hiu Putih, Kelurahan Bukit Tunggal, Palangka Raya.

Konflik pertanahan di Kelurahan Bukit Tunggal itu setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya memutuskan mengabulkan gugatan Hj Musrifah sebagai pemegang sertifikat hak milik (SHM) di atas tanah yang masyarakat yang bermukim di Jalan Hitu Putih VIII A. Putusan perkara nomor 2/G /2023/PTUN.

PLK membuat warga termasuk BPN melakukan perlawanan hukum, yakni banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Banjarmasin.

Sengkarut atau tumpang- tindih SHM tanah di Palangka Raya mendapat sorotan dari Ombudsman RI Perwakilan Kalteng. Pihaknya menyoroti profesionalitas dan integritas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palangka Raya selaku lembaga berwenang karena telah menerbitkan dua SHM di satu bidang tanah.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalteng, Biroum Bernardianto mengungkapkan, dari sisi pelayanan publik, jika pun benar bahwa ada tumpang-tindih SHM di satu bidang tanah yang sama-sama legal, maka hal itu mengarah pada tindakan yang tidak profesional.

“Dalam pelayanan publik bisa disebut tindakan itu maladministrasi. Tapi kami tidak bisa mengatakan bahwa itu mal atau tidak, karena kami tidak mengkaji itu,” ujar Biroum kepada Kalteng Pos, Senin (31/7).

Biroum menjelaskan, jika memang terbukti di lembaga peradilan bahwa dua sertifikat tanah itu diterbitkan secara resmi oleh BPN, hal tersebut dapat mengindikasikan bahwasanya ada permasalahan dalam tata kelola dan prosedur penerbitan sertifikat sehingga mengarah kepada tindakan maladministrasi.

“Kalau dari pendataan tanah yang dilihat, banyak terjadi hal-hal yang semacam ini. Dari segi pelayanan publik kami menyoroti bahwa lembaga harus profesional, kami tidak paham kenapa SHM tumpangtindih bisa terjadi, tetapi kami hanya menilai dari sisi pelayanan publik,” ujarnya.

Biroum mengatakan, pihaknya menyatakan bahwa salah satu syarat utama bagi lembaga pelayanan publik, selain berkeadilan, tidak diskriminatif, dan cepat tanggap, adalah kompetensi penyelenggara di dalamnya.

“Misalnya suatu produk yang terbit tidak lepas dari kompetensi pelayan publik bersangkutan. Selain berkaitan dengan kompetensi, juga berkaitan dengan integritas mereka,” tuturnya.

Tidak hanya bagi BPN, lembaga lainnya juga harus berintegritas untuk memberikan pelayanan prima dan tidak menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemangku jabatan.

“Dari sini perlu berbenah, ke depannya BPN sebagai sebuah lembaga yang krusial perlu meningkatkan kualitas pelayanannya, baik dari kualitas individu, mental, kompetensi, dan perlu langkah-langkah sinkronisasi sehingga tidak terjadi masalah ke depan dari keputusan yang dikeluarkan,” tandasnya.

Warga Bisa Ajukan Gugatan Perdata Melihat sengkarut kasus pertanahan di Kota Palangka Raya, Praktisi hukum, Wikarya F Dirun SH MH berpendapat bila obyek dari lahan sengketa di Jalan Hiu Putih 8 memang sudah dinyatakan oleh pihak BPN Palangka Raya adalah obyek lahan yang sama baik yang ada di dalam sertifikat tanah milik Hj Musrifah maupun yang tertera didalam sertifikat milik para warga, maka memang sudah tepat bila Majelis hakim PTUN Palangka Raya menyatakan sertifikat tanah milik Hj Musrifah adalah sertifikat tanah yang sah.

“Kalau memang ada pengakuan di depan persidangan, lahan itu memang lahan yang sama, maka memang berdasarkan aturan, sertifikat yang terbit lebih lama (lebih dulu) yang harus dimenangkan,” kata Wikarya F Dirun kepada wartawan saat hadir menangani sebuah perkara di Pengadilan Agama, Palangka Raya, Kamis (3/8).

Wikarya menjelaskan bahwa dalam sidang kasus ini PTUN hanya memeriksa dan menguji prosedur atau proses administrasi dari penerbitan sertifikat kedua belah pihak.

“Sertifikat itu tadi sudah prosedural belum sebelum diajukan, apakah sudah diajukan permohonan, diajukan warkah, tata bidang dan diumumkan sebelum diterbitkan,” kata pengacara senior ini menyebutkan sejumlah prosedur penerbitan sertifikat tanah.

Bila seluruh langkah prosedur tersebut telah dilakukan maka menurut pendapat Wikarya, serifikat tersebut memang sudah sah.

“PTUN tidak melihat kebenaran materiil siapa pemilik tanah ini sebenarnya, hakim hanya melihat betul tidak prosedural administrasi penerbitan sertifikat itu,” terangnya.

Terkait adanya tumpang tindih sertifikat antara milik Hj Musrifah dengan milik para warga yang saat ini tinggal, Wikarya berpendapat bahwa kejadian tersebut murni tanggung jawab dari BPN Kota Palangka Raya sepenuhnya. Seharusnya kata Wikarya, jika memang ada terjadi erorr by sistem di dalam aplikasi administrasi pencatatan milik BPN, maka seharusnya BPN menangguhkan penerbitan sertifikat milik warga pada tahun 2013.

“Seharusnya BPN tangguhkan dulu kalau ada memang tahu ada error by sistem di tempat mereka bukan membiarkan,” kata Wikarya yang mengakui bahwa dalam kondisi ini posisi para warga Jalan Hiu Putih VIII sendiri menjadi lemah secara hukum.

Wikarya juga menyayangkan sikap BPN yang membiarkan saja persoalan ini hingga berlarut larut seperti ini. “Mereka (BPN) itu lalai kenapa mereka masih menerbitkan sertifikat waktu sistemnya error tadi, seharusnya itu ditangguhkan dulu,” katanya.

Menurutnya, para warga Jalan Hiu Putih yang merasa dirugikan akibat kesalahan dari BPN ini, bisa melakukan gugatan perdata terhadap pihak BPN Kota Palangka Raya untuk menuntut hak ganti rugi.

“Warga bisa menuntut ganti rugi lewat mengajukan gugatan PMH (Perbuatan Melawan Hukum ) terhadap BPN di Pengadilan Negeri,” ujarnya.

Wikarya juga memberikan usulan alternatif apabila warga merasa memilki kepemilikan yang kuat atas lahan yang mereka miliki tersebut, bisa mengajukan gugatan perdata terkait hak atas tanah tersebut ke PN Palangka Raya.

“Terkait hak kepemilikan lahan, itu memang wewenang dari pengadilan negeri,jadi warga bisa mengajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri,” jelasnya.

Apabila setelah diajukan gugatan perdata di pengadilan dan nanti posisi para warga hiu putih dinyatakan dimenangkan, maka isi putusan majelis hakim PN tersebut bisa digunakan sebagai bahan untuk mengajukan gugatan meminta pembatalan isi putusan PTUN Palangka Raya terkait keabsahan penerbitan sertifikat tanah pihak Hj Musrifah tersebut.

“Kalau memang waktu sidang perdata nanti warga bisa membuktikan bahwa penerbitan sertifikat tanah itu berdasarkan atas asalusul hak yang tidak sah, itu (putusan PTUN) bisa dibatalkan lagi,” ujarnya.

Wikarya mengatakan bahwa pembatalan terkait keabsahan sertifikat Hj Musrifah itu bisa diajukan oleh pihak warga dengan mengajukan kembali kasus tersebut lewat sidang gugatan di PTUN. “Warga harus mengajukan gugatan lagi ke PTUN, karena hakim perdata tidak berwenang untuk membatalkannya, hakim perdata hanya bisa menyatakan bahwa sertifikat itu tidak sah dengan segala akibat hukumnya,” tegasnya.

Sementara itu, sebelumnya Kepala Kantor ATR/ BPN Kota Yono Cahyono mengatakan, BPN mengharapkan, kedua belah pihak bisa menyelesaikan terlebih dahulu soal keperdataan terkait keabsahan kepemilikan tanah tersebut.

Apabila soal keabsahan kepemilikan lahan itu sudah lebih jelas lewat hasil putusan sidang perdata dan telah berkekuatan hukum tetap, maka persoalan terkait pembatalan keabsahan sertifikat lahan dari salah satu pihak seperti yang dikeluarkan oleh putusan PTUN dapat segera dilakukan BPN.

Dia juga menjelaskan bahwa di dalam fakta persidangan salah satu saksi yang diajukan pihak penggugat telah menjelaskan bahwa pada tahun 2013 memang terjadi kesalahan sistem tetkait penerbitan sertifikat tahun 2013. Dijelaskannya bahwa error by sytem itu terjadi karena adanya perpindahan (migrasi) penggunaan sistem data Komputerisasi Kegiatan Pertanahan (KKP) dari menggunakan sistem aplikasi KKP-deskop ke aplikasi KKP-web.

Yono memang sempat mengakui pula bahwa salah satu penyebab adanya permasalahan tumpang tindih penerbitan sertifikat itu disebabkan akibat adanya permasalahan kekeliruan pencatatan administrasi penerbitan sertifikat di BPN pada saat itu. Namun dia juga mengatakan bahwa sebenarnya permasalahan tersebut telah terjadi sejak pengajuan sertifikat tanah itu dibuat, karena diajukan di atas lahan yang diklaim kepemilikannya oleh kedua belah pihak. (ko)